Sekali Lagi Tentang Khilafah Islamiyah

BEBERAPA hari ini, di tengah-tengah hingar-bingar politik Nasional yang mulai memanas, sayup-sayup terdengar suara sebagian umat Islam yang mencoba menyuarakan kembali sistem Khalifah Islamiyah untuk ditegakkan di Indonesia. Begitu juga, ramai dikabarkan, diberbagai berita di media sosial, tentang al ummat turiidu khilafah, umat rindu khilafah.

Tidaklah heran jika kemudian, banyak orang atau kelompok umat Islam, yang mencoba memperjuangkan tegaknya khilafah. Atau setidaknya sebagian mereka bergumam “iya ya, jangan-jangan sistem khilafah Islamiyah ini akan menjadikan Islam kembali jaya, sebagaimana masa kekhalifahan Islam masa lalu”.

Di tengah sistem politik dan demokrasi di Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja ini, korupsi yang terus menggurita, kesejahteraan tidak tersebar merata, mereka diam-diam melirik opsi khilafah ini. Sebagian lagi menyebut ini “Demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin”, maka sistem khilafah menjadi penting untuk ditegakkan di bumi Indonesia ini.

Dalam skema sistem khilafah, mereka menawarkan struktur kekhalifahan sebagai berikut: a. Khalifah (Kepala Negara) b. Mu’awin Tafwid (Pembantu Khalifah Bidang Pemerintahan) c. Mu’awin Tanfiz (Pembantu Khalifah Bidang Administrasi) d. Amirul Jihad (Panglima Perang ) e. Wali (Pimpinan Daerah Tingkat 1) f. Qadi (Hakim) g. Majelis Daulah (Departemen Negara) h. Majelis Umat (Lembaga Wakil Rakyat) (Abdul Qadim Zallum, 2022).

Struktur itu, didasarkan pada struktur negara yang dibangun oleh Rasulullah saw. Untuk struktur mu’awin diqiyaskan pada diangkatnya para sahabat (Abu Bakar dan Umar bin Khatab) sebagai mu’awin Rasulullah.

Namun demikian, dalam penerapannya sepertinya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Misalnya, jika kita mau ganti sistem Negara Indonesia hari ini dengan Sistem khilafah Islamiyah. Pertanyaannya adalah siapa yang akan memulai menjadi Khalifah? Siapa yang mengangkat dan siapa yang paling layak menjadi Khalifah?

Dalam banyak diskusi, mereka yang berkeinginan menegakkan sistem Khilafah ini, juga merujuk pada kejayaan kesultanan atau kerajaan pada masa lalu. Misalnya pada masa Umayyah dan Abbasiyah. Kenapa kedua masa ini disebut dengan kerajaan? Sebab, pasca meninggalnya Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan “mengambil alih” kekuasan pada masa itu. Kemudian Mu’awiyah menetapkan putranya, Yazid, sebagai penggantinya. Praktis sejak saat itu sistem pemerintah berubah menjadi kerajaan. Di masa Abbasiyah, yang merebut kekuasaan secara paksa dari Bani Umayyah, sistem kerajaan berlanjut. Begitu seterusnya hingga khalifah-khalifah muncul silih berganti dan akhirnya runtuh sama sekali di masa Turki Utsmani.

Jika kita baca dalam sejarah, dalam periode-periode itu, yaitu Dinasti Bani Umayyah, Abbasiyyah, hingga Turki Utsmani, bukan berarti tidak ada kasus kekerasan yang melibatkan pembunuhan di dalamnya. Bahkan praktek-praktek ketidakadilan, atau penyimpangan atas penegakkan hukum syariat, penguasaan atas “tubuh” perempuan, hingga politisasi ayat-ayat suci demi memuluskan tujuan politis para penguasa saat itu, menjadi catatan “hitam” dalam sejarah.

Dalam catatan sejarah juga disebutkan bagaimana Cucu Rasulullah, yang sangat disayangi Nabi, Hasan bin Ali bin Abi Thalib dibunuh dengan cara diracun; dan adiknya, Husein bin Ali bin Abi Thalib dan keluarganya dibantai di Karbala.

Berakhirnya masa Umayyah, Bani Abbasiyah pun berdiri dengan Khalifahnya Abdullah ibn Muhammad. Gelarnya adalah Abu al-Abbas al-Saffah, Sang Penumpah Darah. Dari gelarnya saja, sudah mensiratkan akan kekejamannya. Di kisahkan oleh Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh; “Diundanglah Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik dan 90 orang Bani Muawiyyah untuk menghadiri jamuan makan bersama Abu al-Abbas. Dengan cara menarik Sulaiman bin Hisyam keluar dari meja makan, ia pun membunuhnya. 90 orang sisanya, dijamu makan, lantas dibantai habis. Bahkan tubuh mereka yang masih menggelepar ditutup dengan permadani, dan as-Saffah dan keluarganya melanjutkan makan malam di atas permadani itu”.

Dengan menyimak sejarah ini, sebagai sebuah sistem, Khilafah Islamiyah dan sistem pemerintahan lainnya, sudah tentu memiliki sisi baik dan buruk. Oleh karenanya, menawarkan sistem khilafah sebagai sebuah sistem sempurnah tanpa cacat dan memaksakannya sebagai satu-satunya solusi atas segala masalah bukanlah sikap yang tepat. Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Ancaman Sistem Khilafah?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *