Ancaman Sistem Khilafah?

ADALAH Almarhum Kang Jalal, panggilan Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat, M.Sc, pernah bercerita dalam salah satu tulisannya di dalam buku Islam di Indonesia; Suatu Ikhtiar Mengaca Diri tahun 1986. Di dalam buku yang dieditori oleh Amin Rais ini, Kang Jalal menulis begini;

Dulu, di zaman Bung Karno, datanglah seorang Ulama kepada beliau sembari bertanya; “Mengapa hukum Islam tidak diberlakukan di Indonesia?” Bukannya menjawab, Bung Karno justru balik bertanya; “Apakah Tuan mewakili ummat Islam di Indonesia atau diri sendiri?” Dengan tegas, sang Ulama itu menjawab “Ya… Saya mewakili aspirasi ummat Islam di Indonesia”. “Begini Tuan” kata Bung Karno, “Tuan telah berkata tanpa bukti. Mengubah Undang-Undang bukanlah perkara kecil. Begitu pula menyebut diri wakil umat Islam Indonesia. Aku ingin bertanya kepada Tuan, berapa jumlah Ulama di Indonesia?” “Ribuan… Bahkan Puluhan Ribu”, jawab Sang Ulama. “Baiklah, dalam tempo sepuluh hari, kumpulkan sepuluh ulama Islam yang memiliki pendapat yang sama dengan Tuan. Bila berhasil, Insyaallah, aku akan menjadi yang kesebelas”.

Kemudian sang Ulama pun, mencari sepuluh ulama lain yang memiliki pandangan dan pendirian yang sama tentang penerapan ajaran agama Islam dalam kehidupan bernegara. Ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Setelah sepuluh hari berkeliling Indonesia, ia tidak menemukan ulama yang memiliki faham yang sama dengan dirinya.

Meskipun cerita di atas, hanyalah kabar burung, dalam pengakuan Kang Jalal sendiri, namun demikian hal ini menggambarkan bahwa betapa beragamnya pemikiran para ulama di Indonesia dan yang pasti adalah konsep negara Islam di Indonesia juga tidak semua ulama menerimanya. Hal ini, disebabkan oleh adanya kesepakatan bersama oleh para pendiri bangsa ini, dengan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. “Karena Demokrasi Pancasila sudah menjadi kesepakatan, maka sebagai warga bangsa dan warga negara, kita berkewajiban menjaga keutuhan bangsa, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia ini,” Demikian ungkap Prof. Mahfud ketika terjadi polemik tentang negara Islam pada bulan puasa yang lalu.

Belakangan, isu khilafah Islam kembali mencuat ketika ada pawai yang dilakukan oleh sejumlah pengendara motor yang beriringan menggunakan jaket berwarna hijau. Di antara pengendara motor itu ada yang memegang bendera berwarna putih, sedangkan beberapa lainnya memiliki papan di belakang yang berisi tulisan soal khilafah. Tulisan-tulisan tersebut seperti ‘Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah’ dan ‘Jadilah Pelopor Penegak Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah’.

Mereka meyakini bahwa situasi social-masyarakat dan politik yang ada pada Nabi Muhammad dan para shahabat (Khulafa al-Rasyidun) menjadi referensi utama dan tunggal untuk mewujudkan Negara yang Ideal. Bahkan mereka meyakini bahwa apa yang terjadi pada masa itu, merupakan produk baku yang sesuai dengan kehendak Allah dalam Alqur’an. Maka, menghidupkannya pada saat ini, menjadi sebuah kewajiban bagi mereka.

Namun anehnya, pada saat ideology khilafah ini tumbuh subur di Indonesia, yang memiliki system demokrasi, dengan memberikan ruang yang luas bagi kebebasan berfikir dan berkeyakinan, justru di beberapa negara yang mayoritas Muslim, dengan system yang tidak demokratis, menutup dan membubarkan ideologi khilafah ini.

Negara-negara Timur Tengah yang mayoritas berpenduduk Muslim, bahkan dengan Syari’ah Islam sebagai dasar hukumnya, justru menolak ideology khilafah ini.

Sistem demokrasi Pancasila yang menjamin kebebabasan beragama dan berkeyakinan ini, dianggap sebagai system yang bukan berasal dari Tuhan, maka dianggap tidak memberikan jaminan untuk diterima oleh Tuhan. Karena bagi mereka, system pemerintahan yang baik adalah kedaulatan Tuhan, bukan kedaulatan Rakyat.

Dalam konteks dunia Islam sendiri, atau negara-negara yang mengklaim sebagai negara Islam, mereka menganut sistem pemerintahan yang juga berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya. Hal ini, menjadi bukti nyata bahwa Islam tidak memiliki produk yang pasti soal negara.

Justru akan menjadi bahaya jika ideology ini terus dikumandangkan, diteruskan, atau diperjuangkan, sementara para pendiri bangsa ini sudah berkomitmen dengan demokrasi Pancasila. Akan ada dua arus yang akan Tarik-menarik, adu kekuatan. Dan potensi perpecahan akan semakin nyata. Yang terancam bukan saja bangsa Indonesia, tetapi juga dikalangan umat Islam sendiri, bahkan anak cucu generasi kita di masa yang akan datang. Wallahu a’lam bi Al-Shawab. ***

Baca: Kedewasaan dalam Beragama

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *