HAM dan Syariah

Pemuda

DI antara tujuan dari syariah Islam adalah tercapaianya kemashlahatan bagi manusia. ‘Allal al-Fasiy (1919-1974 M), seorang Ulama besar dari Maroko, menyebutkan bahwa tujuan umum dari kehadiran syariat Islam adalah memakmurkan (membangun) dunia dan memelihara system kehidupan di persadanya (Jagad Raya), kesinambungan kebaikan umat manusia dan kebangkitan mereka melaksanakan tugas-tugas taklif dengan jujur, adil, dan konsisten (istiqomah).

Makna tersebut, menggiring kita pada sebuah pemahaman bahwa syariah yang diturunkan Allah kepada umat manusia, pada hakikatnya untuk kebaikan, kedamaian, kemakmuran, dan keselamatan umat manusia.

Bahkan menurut Prof. Amin Abdullah (2020;184 – 188), pemahaman atas tujuan atau maksud utama beragama (maqasyid al-Syariah), yang selama ini dipahami hanya dikhususkan untuk umat Islam saja, maka perlu diperluas maknanya agar lebih universal, yakni mencakup keseluruhan umat manusia (kemanusiaan universal). Lebih lanjut, Prof. Amin menulis.

“Konsep maqasid yang dulu difokuskan hanya pada pentingnya perlindungan terhadap kepentingan umat Islam saja, harus bergeser menjadi perlindungan terhadap kemanusiaan universal. Perlindungan atau penjagaan yang dulunya hanya focus pada keturunan (hifz al-nasl), harus bergeser keperlindungan terhadap keutujam [ada kesejahteraan kehidupan keluarga (‘ailah). Artinya, hak-hak perempuan dan hak-hak anak perlu dan harus dilindungi tanpa syarat (unconditional; categorical imperative)”.

Syariah Islam dengan begitu memiliki visi kemanusian tiada batas. Tidak terbungkus dalam pemahaman fiqih yang kaku. Namun uniknya, penerpan syariah Islam atau munculnya perda-perda berbasis syariah, justru terjebak pada penerapan Fiqh.

Penerapan syariah Islam sesungguhnya menabur maqasid al-Syariah. Yakni memberikan “Perlindungan bagi martabat manusia tanpa pandang bulu, latarbelakang agama, ras, suku, etnisitas, golongan, dan organisasi, partai politik apalagi mazhab, aliran, pendapat atau pandangan keagamaannya dan seterusnya” tegas Prof. Amin.

Adalah Jasser Auda, Intelektual Muslim kelahiran Mesir, sekarang tinggal di Ingris, secara sistematis melakukan pemaknaan ulang atas tujuan syariah dalam Islam; yaitu dari Menjaga agama (hifz al-din) menjadi menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama atau berkepercayaan; dari Menjaga keturunan (hifz al-nasl) menjadi teori yang berorientasi kepada perlindungan keluarga; kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga; dari menjaga akal (hifz al- aql) menjadi upaya melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah; mengutamakan perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan; menekan pola pikir yang mendahulukan kriminalitas kerumunan gerombolan; menghindari upaya-upaya untuk meremehkan kerja otak; dari Menjaga kehormatan; menjaga jiwa (hifz al-‘irdh) menajdi menjaga dan melindungi harkat dan martabat kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia; dari menjaga harta (hifz al-mal) menjadi mengutamakan kepedulian sosial; menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi; mendorong kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang antara miskin dan kaya.

Dengan begitu, melalui syariah Islam, maka hak-hak dasar manusia atau Hak Asasi Manusia, menjadi perhatian utama dalam penegakkan syariah itu sendiri.

Dalam perspektif syariah, Islam menempatkan manusia pada posisi yang sama, tidak membedakan warna kulit, ras, keturunan, geografis dan sebagainya.

Alkisah, disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, suatu saat Abu Dzar Al-Ghifari bersama-sama dengan orang hitam seraya menghinanya dan memarahinya. Ia hardik orang itu dengan berkata, “wahai anak orang hitam!”. Rasulullah mendengar kata-kata yang tajam itu, beliau murka dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau menghinanya karena ibunya berkulit hitam? Sesungguhnya engkau orang jahiliyah. Semuanya itu sama tanpa perbedaan. Anak kulit putih tidak lebih baik dari pada anak kulit hitam, melainkan yang membedakan adalah ketaqwaan dan amal shaleh”. Mendengat hentakan marah sang Nabi, dengan penuh penyesalan, lalu Abu Dzar tundukkan mukanya dan ditempelkan pipinya dengan tanah, kemudian berkata kepada anak orang hitam tadi, “Injaklah pipiku ini!”.

Sungguh Islam sangat menghormati persamaan hak. Perbedaan antara si kaya dan si miskin serta perbedaan garis kekeluargaan, tidak mempengaruhi proses keadilan di masyarakat. Sebagaimana firman Allah: “wahai orang–orang yag beriman. Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu, bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya.” (QS. An-Nisa: 135). Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Meneguhkan Etika Publik

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews