Menjadi Guru Besar

MENJADI seorang Guru Besar, tentu menjadi harapan setiap insan pendidik yang sedang menjalankan Tri Darma Perguruan Tinggi. Selain “tunjangan”-nya yang cukup besar, juga adanya pengakuan atas kepakaran dan kecendikiaan dalam suatu disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, seni, ataupun humaniora tertentu kepadanya.

Dengan begitu, ketika seseorang memperoleh jabatan fungsional seperti itu, yaitu sebagai Guru Besar, maka ia sedang “memulai” langkah baru atau sedang mulai menegaskan kembali eksistensinya sebagai pendidik secara bertanggungjawab dan penuh dedikasi atas kepakaran dan kecendikiaan yang dimilikinya itu. Artinya, ia sedang mengawali “hidup baru” dalam dunia akademik.

Yang terjadi sebaliknya. Bahwa perolehan jabatan fungsional itu dianggap sebagai “hasil ahir” dari keringat yang selama ini diperjuangkannya dan didedikasikan sebagai seoang dosen atau pendidik. Akibatnya terjadi stagnasi pemikiran. Setelah memperoleh gelar Guru Besar, justru “mati”. Tidak ada lagi karya, tidak ada lagi pengabdian. Yang ada justru “Matinya kepakaran” istilah Tom Nichols.

Dalam situs Forum Guru Besar ITB misalnya, menyebutkan bahwa seorang Guru Besar menyandang tanggungjawab besar untuk memupuk dan mengembangkan kemampuannya, baik bagi disiplin ilmu yang menjadi kepakarannya, maupun dalam bidang nilai-nilai akademik. Bahkan disebutkan di sana, bahwa “seorang Guru Besar diharapkan mempunyai kapasitas dan tanggungjawab untuk mengembangkan konsep dan pemikiran tentang keilmuan masa depan, serta berperan dalam pengembangan peradaban dan penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan dunia”.

Beratnya tanggungjawab itu, konon, juga dibarengi dengan semakin sulitnya persyaratan menjadi Guru Besar. Sempat terjadi perdebatan panjang terkait dengan publikasi pada jurnal internasional bereputasi (JIB). Ada yang menganggap sebagai “Tuhan baru” dalam dunia akademik, sehingga ada guyonan “lebih mudah masuk surga dari pada menjadi professor”.

Namun demikian, tidak sedikit juga yang menganggap bahwa persyaratan itu sebenarnya sangat rasional. Sebab, sebagai upaya untuk mencapai world class university, maka diperlukan pengakuan dunia Internasional atas kepakaran yang dimiliki. Di antara bentuk upaya agar kepakaran kita di akui dunia adalah dengan menjamin akan terpublishnya artikel atau karya kita di JIB. Harapannya, siapa tahu Hadiah Nobel bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diperoleh dari Indonesia.

Terlepas dari persoalan itu, perlu juga menjadi perhatian bahwa dalam skema Tri Darma Perguruan tinggi, terdapat tiga pilar penting yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Pilar pengajaran, mungkin sudah melekat pada diri seorang pendidik, namun yang menjadi persoalan adalah pada minimnya aspek pengabdian dalam matra penilaian Guru Besar. Jika penelitian, impact-nya adalah JIB, maka pada aspek pengabdian tolak ukurnya adalah pada kepuasan masyarakat, perubahan pengetahuan dan skill masyarakat atas pengabdian yang dilakukan.

Orang-orang seperti Siti Sumiati, Bidan Apung di Kepulauan Seribu, jika ia seorang Dosen misalnya, adalah orang yang paling tepat menjadi professor di bidang pengabdian. Atau Kosim, mahasiswa UGM yang kembali ke kampusnya setelah 20 tahun menjalani “KKN”, dan sukses meningkatkan ekonomi warga di bidang pertanian. Cerita Kosim ini saya peroleh dari buku “Kang Tejo melihat Tuhan” karya Kang Sobari.

Yang lebih utama lagi adalah bahwa menjadi Guru Besar di sebuah Lembaga Pendidikan yang paling Tinggi di Indonesia ini, menuntut akan suatu pribadi kesarjanaan dan tradisi kecendekiawanan dengan adab, etos, dan karakter yang mulia. Adab, karena tugas seorang Guru Besar adalah mampu membangun peradaban. Etos, seorang guru Besar mestilah memiliki semangat untuk terus berkarya dan mengabdi, sehingga mampu menginspirasi bagi semua, dan karakter karena memang perolehan gelar itu merupakan sebuah kehormatan dan pengakuan atas capaian akademiknya yang orisinal. Bukan melalui proses “instan” dengan menggunakan “berbagai cara”.

Istilah “orang-orang terpelajar” saja, sebuah ungkapan atau sebutan bagi mereka yang mendidik di PT, menyiratkan akan tingginya komitmen mereka pada nilai-nilai etis, standar mutu dan integritas akademik. Lebih-lebih seorang Guru Besar yang berada di atas “orang-orang terpelajar”. Wallau a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Menulis Kembali

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *