Tentang Ahli Ibadah

Pemuda

DALAM beberapa teks, baik Firman Allah maupun Sabda Nabi Muhammad, menjelaskan bahwa menghidupkan atau menciptakan suasana yang damai dan bahagia dalam masyarakat, menegakkan hukum serta berlaku adil, memiliki kualitas ibadah yang lebih baik dan mulia daripada ibadah individual. Jikalau mau disebut, misalnya Nabi saw pernah menyampaikan : “Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang lebih utama nilainya daripada nilai shalat puasa dan sedekah (zakat)?.Yaitu mendamaikan antar manusia, karena kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik antar mereka adalah kebinasaan agama”. (Al Munawi, Syarh Al Jami’ al Shaghir, I/197).

Terdapat juga dalam beberapa kisah yang sepertinya “diinspirasi” oleh ayat-ayat atau hadits Nabi tersebut. Misalnya kisah yang diceritakan oleh Imam Al Ghazali dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub. Dalam kitab itu menceritakan tentang sosok Abu bin Hisyam, sosok ulama’ yang yang rajin bangun malam untuk sholat tahajud. Suatu malam, saat hendak mengambil wudhu untuk sholat tahajud, Abu bin Hisyam dikagetkan oleh kedatangan sesosok makhluk. Makhluk itu berada di bibir sumur. “Wahai hamba Allah, siapakah engkau?” tanya Abu bin Hisyam. “Aku adalah malaikat utusan Allah SWT,” jawab makhluk itu. Jawaban itu membuat Abu bin Hisyam semakin kaget sekaligus bangga, karena dikunjungi oleh Malaikat Allah. Dia lalu bertanya, “Apa yang kamu lakukan di sini?”. Malaikat kemudian menjelaskan tujuannya bahwa “Aku diperintahkan untuk mencari hamba pecinta Allah SWT”. Jelas Malaikat itu sembari memegang sebuah buku besar.

Abu bin Hisyam pun tertarik dengan buku itu, sembari bertanya “Wahai malaikat, buku apakah yang engkau bawa?” tanya Abu bin Hisyam. “Ini adalah kumpulan nama-nama para hamba pencinta Allah SWT,” Jawab Malaikat.

Sebagai hamba yang sangat rajin beribadah kepada Allah; tahajjud malam tidak bernah tertinggal, puasa sunnah selalu ditunaikan, dan ibadah-ibadah lainnya, maka wajarlah jika kemudian Abu bin Hisyam sangat berharap agar namanya ada dalam buku tersebut. Untuk mendapatkan kepastian, dia bertanya apakah namanya tercantum di daftar dalam itu kepada malaikat.

Sayangnya, malaikat tidak menemukan nama Abu bin Hisyam dalam buku catatan tersebut. Abu bin Hisyam meminta malaikat memeriksa kembali buku tersebut. Barangkali namanya terlewat dari daftar. “Betul, namamu tidak ada dalam buku ini,” kata malaikat.

Seketika Abu bin Hisyam tersungkur, sembari menangis tersedu. Dengan suara gemetar ia berkata “Betapa ruginya aku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan bermunajat, tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah SWT,” kata Abu bin Hisyam dalam tangisnya. Dan ia juga bertanya “Apa gerangan yang menjadi penyebabnya?” kata Abu bin Hisyam.

“Engkau memang bermunajat kepada Allah SWT, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga hal tersebut ke mana-mana dan asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Di kanan kirimu ada orang sakit dan lapar, tidak engkau jenguk dan beri makan. Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah SWT dan dicintai oleh-Nya, kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allah SWT?” kata Sang malaikat.

Abu bin Hisyam pun kaget bukan main. Dia tersadar bahwa ibadahnya yang selama ini ia jalani, ternyata tidak diinginkan Tuhan. Bahwa ibadah bukan semata urusan antara makhluk dengan Khalik semata, namun juga sesama manusia dan alam.

Di Indonesia, kisah yang hampir sama, ditulis dengan apik oleh A. A. Navis dalam Cerpenya “Robohnya Surau Kami”. Dalam Cerpen itu, Navis dengan piawai menjelaskan tentang nasib Haji Soleh dan yang lainnya ketika di yaumul hisab. Di hari itu, Tuhan hanya bertanya “Apa kerjamu di dunia?”

Sebagaimana Abu bin Hisyam di atas, tidak terlalu sulit bagi Haji Saleh untuk menjawab pertanyaan itu. Karena memang, selama hidupnya Haji Soleh selalu mengabdikan dirinya hanya untuk Allah. Di hadapan Allah, Haji Soleh pun menjelaskan secara rinci amalan-amalan yang pernah ia lakukan selama hidup di dunia. Namun, setiap Haji Soleh selesai menyebut amal ibadahnya, Allah selalu bertanya, “Lain lagi?” Hingga Haji Soleh kehabisan kata. Akhirnya ia dimasukkan kepada golongan orang-orang yang masuk neraka.

Ketika di neraka, Haji Soleh tidak saja bertemu dengan “Raja Fir’aun” (Sosok rakus dan buas seperti yang sedang viral sekarang), melainkan juga orang-orang yang menurut Haji Soleh adalah para sahabatnya yang sama-sama ahli ibadah, bahkan ada yang lebih shaleh dari dirinya. Situasi ini, membuat mereka (Haji Soleh dan yang lainnya) merasa ada yang salah dalam “Dakwaan” yang diberikan Allah kepada mereka.

Lalu proteslah Haji Saleh dan orang-orang itu kepada Allah. Mereka merasa telah melakukan segala perintah dan menjauhi larangan Allah sehingga semestinya surgalah tempat mereka. Atas protes makhluk-makhluk-Nya itu, Tuhan balik bertanya, “Kalian tinggal di mana di dunia?” Mereka menjawab: Indonesia, suatu negeri kaya sumber daya tetapi melarat penduduknya. Negeri yang lama dijajah dan kacau oleh konflik sesama warganya, sehingga anak-cucu mereka ikut melarat.

Kepada para pendemonya, Tuhan berkata, “kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. […] Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang […] Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja.” Pada akhirnya mereka semua tetap masuk neraka.

Meski begitu, sebelum masuk neraka, Haji Soleh sempat bertanya kepada Tuhan, “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?”

“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya […] Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun,” jawab Tuhan.

Lalu kita saat ini, masih adakah waktu luang kita untuk menelantarkan dan menyia-nyiakan saudara kita, bawahan kita, tetangga kita, dan …. entahlah. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Menjadi Guru Besar

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews