Puasa dan Kerinduan

Pemuda

SEBAGAIMANA hadits yang saya sebut pada tulisan sebelumnya, bahwa “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (muttafaq ‘alaihi), selain berbuka ada kebahagian yang luarbiasa adalah ketika bertemu dengan Allah.

Secara imaginer, gambaran kerinduan kepada Allah itu digambarkan pada suasana mudik hari Raya Idul Fitri. Pada hari itu, siapa saja yang berada di luar kampung halamannya, pasti akan merasa rindu yang menyentak dada setiap muslim. Mudik ini, merupakan symbol dari kerinduan setiap manusia pada “kampung halaman” yang sesungguhnya, yaitu berjumpa dengan Rabb-nya.

Secara psikologis, setiap insan akan merindukan akan romantika masa lalunya. Ia akan berusaha “mengenang” masa lalunya dengan melakukan muhasabah (intropeksi diri) atas ragam laku yang pernah ia lakukan. Dari proses ini, terkadang ia akan susah tidur, waktu seakan sangat berharga, dan ada kekhawatiran yang sangat kuat jika ia tidak akan berjumpa kembali pada peristiwa-peristiwa “indah” itu.

Karenanya, Ummar bin Khattab RA pernah berkata, “Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisap, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkan amal”. Perkataan Umar selaras dengan perkataan Nabi Muhammad SAW., “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisap Allah SWT kelak. Bersiaplah menghadapi hari perhitungan yang amat dahsyat. Sesungguhnya, hisab pada hari kiamat akan terasa ringan bagi orang yang selalu mnghisab dirinya di dunia”. (HR. Turmudzi).

Pada bulan puasa ini, Allah juga menjamin melalui Kekasih-Nya, “Barangsiapa yang berpuasa dengan Iman dan bermuhasabah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa pada masa lalunya”. Berpuasa dengan begitu akan membuat diri kita lebih banyak meluangkan waktu bersama Sang Kekasih, dengan sibuk mengoreksi diri, mengikis jelaga yang menyelubung hati, dan menimbang betapa banyak dosa yang telah dilakukan di masa lalu. Sehingga dengan demikian, tidak ada lagi waktu untuk melihat kesalahan orang lain, apalagi mencari-cari kelemahan dan kesalahan orang lain.

Puncak dari ekspresi bermuhasabah itu adalah adanya perasaan rindu yang kuat akan Sang Kekasih, yaitu Allah. Ada beberapa indikasi bagi seseorang yang merindu; Pertama, orang yang rindu biasanya akan selalu mengucap nama orang-orang yang dirindukan. Misalnya, seorang pemuda yang merindu dengan kekasihnya yang jauh, biasanya ia akan selalu menyebut-nyebut namanya. Dengan menyebutnya, rasa rindunya akan sedikit berkurang. Begitu pula, bagi seseorang yang merindu dengan Tuhannya, maka ia akan selalu menyebut asma-Nya. Dengan begitu, hatinya menjadi tenang dan bahagia.

Kedua, orang yang rindu biasanya akan sangat senang atau bergetar jika melihat atau disebut tentang hal-hal atau symbol-simbol yang berkaitan atau berhubungan dengan orang yang kita rindukan. Misalnya, saya dulu ketika belajar di Yogyakarta, melihat plat motor BM atau ada yang memakai baju teluk belanga, akan merasa senang. Hati saya akan mengatakan “Oh ada saudara satu kampung di sini”. Ada perasaan senang, ada getaran-getaran yang tidak bisa dijelaskan, namun yang jelas imajinasi saya kemudian melayang akan suasana kampung halaman.

Begitu juga bagi kita yang rindu akan Tuhan. Hati kita akan bergetar atau batin kita akan senang ketika ada yang menyebut hal-hal yang berkaitan dengan Allah. Kita akan bergetar mendengar bacaan Alquran misalnya. Sebagaimana kata Allah “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfaal:2)

Ketiga, orang yang rindu sudah pasti memiliki hasrat yang sangat kuat untuk berjumpa. Misalnya anda yang rindu dengan bapak atau ibu anda, pasti sebisa mungkin ingin berjumpa dengan mereka. Begitu juga, bagi kita umat Islam, yang oleh Allah disebut dalam hadits diawal tulisan ini, akan merasa sangat bahagia ketika akan berjumpa dengan Tuhannya.

Namun demikian, mungkin boleh jadi bagi orang-orang yang beriman, yang menjalankan puasa saat ini, berada pada point pertama atau kedua di atas. Akan tetapi, sulit berada pada point ketiga. Sebab ia akan melalui satu fase, yang seringkali orang takut akan hal itu, yaitu kematian. Dalam Mizan al-Amal, Imam Al-Ghazali menjelaskan dengan sangat baik terkait dengan kondisi ini. Beliau menyebutkan dalam buku tersebut bahwa ada empat hal, kenapa manusia itu takut akan kematian; Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi; Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah; Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa; dan Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang selama ini ia lakukan.

Di ujung Surah Al-Kahfi, Allah telah memberikan syarat bagi mereka yang ingin berjumpa (liqa’) dengan Allah; “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS al-Kahfi:110). Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Puasa dan Cinta

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews