Puasa dan Cinta

Pemuda

PUASA merupakan ekspresi cinta hamba kepada Tuhannya. Begitu juga Tuhan, sangat mencintai hamba-Nya yang berpuasa. Gambaran simbolik dari kecintaan Tuhan kepada hamba yang berpuasa adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah “Demi Zat yang berkuasa atas nyawaku, sungguhbau mulut orang puasa itu lebih wangi menurut Allah daripada bau misik.” (H. R. Imam Bukhari).

Tentu saja, hadits ini, jangan pula dimaknai bahwa “semakin busuk bau nafas orang yang berpuasa, maka semakin baik di hadapan Allah”, melainkan sebagai symbol kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang berpuasa. Sebagaimana lagu Gombloh di era tahun 80-an, “Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing rasa coklat”.

Begitu juga, Allah mengekspresikan kecintaan-Nya kepada orang yang berpuasa dengan menyatakan “Seluruh amalan anak Adam untuk mereka sendiri, kecuali puasa. Sungguh, ibadah puasa itu untuk-Ku. Akulah yang langsung akan memberikan imbalannya. Puasa adalah perisai.” (Shahïh al-Bukhâri: 1904).

Ketika menjelaskan hadits ini, Al-Imâm Ibnul ‘Utsaimïn rahimahullâh (wafat: 1421-H) menjelaskan: “Puasa adalah rahasia antara seorang insan dengan Rabb-nya. Seorang insan yang berpuasa, tidak diketahui apakah dia benar-benar berpuasa ataukah tidak, isi hatinya juga tidak diketahui (sangat gampang bagi dia untuk membatalkan puasa tanpa harus kehilangan anggapan di mata orang lain bahwa dia masih berpuasa-pent). Sehingga orang yang benar-benar berpuasa sudah pasti orang yang paling besar keikhlasan dan ketulusannya. Maka Allâh pun mengistimewakannya dibanding ibadah-ibadah yang lain.” (Syarh Riyâdh ash-Shâlihïn: 5/266-267).

Totalitas keikhlasan dan ketulusan ini lah yang menjadi motif terbesar bagi seseorang dalam mencintai. Tidak ada cinta jika tidak ada keikhlasan dan ketulusan. Ungkapan “cinta adalah pengorbanan” merupakan bagian penting secara konsekuensial dari ikhlas dan tulus itu sendiri.

Pengorbanan bisa saja dilakukan oleh seseorang dalam mewujudkan rasa cintanya. Misalnya, salah satu wujud kecintaannya kepada atasanya, maka ia mau melakukan apa saja yang diperintah oleh atasanya. Namun bisa saja itu dilakukan secara lahiriah saja. Sebab Sang Atasan tidak akan tahu, apakah orang itu ikhlas apa tidak? Tulus apa tidak?

Sementara dalam puasa, kita dilatih oleh Allah bahwa “pengorbanan” seorang hamba untuk tidak makan dan minum serta menahan seks di siang hari, dilakukan dengan ikhlas dan tulus. Siapa yang melihat atau menyaksikan keikhlasn dan ketulusan itu? Tentu saja Allah langsung, Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.

Karena kentalnya hubungan hamba dan Tuhan dalam ibadah ini, saya jadi teringat kisah Nabi Musa ketika melihat dan mendengar seorang penggembala Kambing yang sedang “bercengkarama”, dengan Tuhannya. “Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.”

Lalu sambil mendongak ke atas, ia menyapa Tuhan, “Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?”

Mendengar itu, Nabi Musa marah, dan setengah membentak Musa bersabda; “Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!”

Karena Sang gembala sadar, yang sedang marah di depannya adalah seorang Nabi, sesaat ia diam dan lalu pelan-pelan air mata membasahi pipinya.

Sementara itu, Musa terus mengatakan; “Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!”

Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa nabi yang mulia itu, telah memanggilnya sebagai seorang musuh, tetapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengetahui daripada siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya.

Ia berkata kepada Musa, “Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.

Dengan perasaan bahagia, karena merasa telah berbuat baik dengan meluruskan jiwa yang tersesat, lalu Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Namun, tiba-tiba, Allah Yang Mahakuasa menegurnya, “Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai-nya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya.”

Mendengar teguran keras itu, Musa pun tunduk dengan penuh kerendahan dan rasa takut.

Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah, bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.”

Suara dari langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.” Tuhan kemudian mengajarinya rahasia cinta.

Setelah memperoleh pelajaran itu, Nabi Musa mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui pengggembala yang dicarinya.

Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tetapi akhirnya Allah SWT mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.

Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat Nabi Musa.

Musa berkata, “Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.”

Sang Gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku takdapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku,” kemudian ia bangkit dan meninggalkan Nabi Musa.

Utusan Allah ini menatap sang Gembala sampai ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.

Begitulah cinta, yang telah menghantarkan hamba-Nya kepada Sang Maha Cinta. Dan Puasa sedang mengajarkan kita itu semua. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Puasa dan Perempuan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews