Oleh: Ir Effendi Sianipar MM MSi
LEMBAGA Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), yang dibentuk melalui Peraturan Menteri PUPR Nomor 9/2020, memikul tanggungjawab besar dalam membenahi sektor jasa konstruksi nasional. Namun di tengah tuntutan kemajuan industri, LPJK justru dinilai belum sepenuhnya menjawab kebutuhan pelaku usaha konstruksi, terutama dalam aspek pengembangan sistem permodalan, rantai pasok, serta pembiayaan sertifikasi kompetensi kerja.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 2/2017 tentang Jasa Konstruksi, LPJK diamanatkan menjalankan enam fungsi utama: mengembangkan, menyelenggarakan, memberikan, mengumpulkan, menjamin, dan membuat. Namun, implementasi dari fungsi-fungsi tersebut masih belum maksimal. Di lapangan, kegiatan LPJK kerap terfokus pada sosialisasi aturan, pelatihan, dan penerbitan Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK), serta Sertifikat Keterampilan (SKT)—sementara aspek pengembangan sistem keuangan dan pembiayaan cenderung terabaikan.
Hal ini diperparah dengan pasal multitafsir dalam UU Nomor 2/2017, khususnya Pasal 5 Ayat 7, yang menyebut bahwa pembiayaan sertifikasi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Konsekuensinya, program strategis seperti subsidi sertifikasi bisa mandek, bahkan sempat berujung pada keterlambatan pembayaran gaji pengurus LPJK.
Dalam hal pelaksanaan kewenangan daerah, UU Jasa Konstruksi sejatinya telah mengatur peran penting pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pelatihan tenaga ahli dan terampil, serta pengelolaan sistem informasi jasa konstruksi. Namun, implementasi Permen PUPR Nomor 9/2020 justru dinilai kurang memberikan ruang kepada daerah untuk berperan secara aktif. Akibatnya, potensi otonomi daerah dalam mendorong pengembangan konstruksi lokal kurang dimanfaatkan secara optimal.
Situasi ini berdampak langsung pada banyak asosiasi jasa konstruksi yang kini kehilangan daya hidup. Padahal, keberadaan LPJK sendiri tidak lepas dari peran dan kontribusi asosiasi tersebut.
Ketimpangan dalam pelaksanaan tugas LPJK pun menjadi sorotan, terutama ketika terjadi gangguan proyek akibat tidak validnya SBU atau SKK. Proyek-proyek konstruksi sempat tertunda atau bahkan batal dilaksanakan, menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga yang sejatinya hadir untuk memberikan kepastian hukum dan teknis dalam pembangunan.
Meski demikian, LPJK tetap mencatat sejumlah langkah positif, seperti penertiban tenaga kerja konstruksi. Namun, banyak persoalan mendasar yang belum tersentuh: sistem permodalan yang tidak efektif, rantai pasok material yang tak terorganisir, serta proses administrasi yang lamban.
Kisah ironi dalam proyek-proyek besar seperti pembangunan Jalan Tol MBZ menjadi simbol kegagalan pengawasan dan pengendalian. Korupsi senilai Rp 550 miliar yang menyeret sejumlah pelaksana, meski telah menandatangani fakta integritas, menunjukkan bahwa penegakan integritas masih lemah. Hal ini diperparah dengan narasi klasik “hanya oknum”, yang kerap digunakan untuk meredam kegaduhan, alih-alih menyelesaikan akar persoalan.
Realitas ini menunjukkan bahwa sektor jasa konstruksi Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya teknokratis, tetapi juga visioner dan konsisten terhadap prinsip tata kelola yang baik. LPJK harus menjadi lembaga yang mampu membaca realitas lapangan, memahami otonomi daerah, serta membangun sinergi nyata dengan asosiasi jasa konstruksi yang kini terpinggirkan.
Tanpa langkah berani untuk mengakhiri inkonsistensi kebijakan dan ketegasan dalam menindak pelanggaran, LPJK berisiko kehilangan legitimasi di mata pelaku usaha. Reformasi internal, penguatan peran daerah, serta kemitraan sejajar dengan asosiasi adalah langkah krusial untuk mengembalikan kejayaan dunia konstruksi nasional—sektor yang menyerap jutaan tenaga kerja dan menjadi pilar utama pembangunan bangsa. ***
*) Penulis adalah mantan anggota DPR RI periode 2014-2019 dan 2019-2024