Mata

Bang Long

Bismillah,
Ada cerpen berjudul Mata karya penulis Indonesia asal Riau, Azmi R. Fatwa. Cerpennya ini terangkum dalam buku 100 Tahun Cerpen Riau (Disbudpar Riau, 2014). Penulis balik kampung setelah 27 tahun merantau ke Praha. Keanehan terjadi karena semua penduduk di kampungnya buta. Emak dan Abahnya pun buta. Anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua semuanya buta. Mereka sengaja membutakan mata karena di kampung mereka telah dipenuhi oleh manusia yang tidak beradab, hilang sopan santun, dan jauh dari adat. Sampai akhirnya, Tajul sebagai tokoh utama pun membutakan matanya. Setelah membutakan matanya, semuanya menjadi lebih terang. Inti cerpen ini, yaitu secara fisik mata memang buta, tetapi mata hati mereka terang benderang sehingga selalu hidup bahagia.

Semua kita punya mata. Namun, tidak semua kita punya mata yang normal. Bahkan dalam kondisi normal sekalipun, kita terkadang tak mampu menggunakan mata sesuai hakikatnya. Terkadang pula, kita tak larat nak memelihara mata. Tak heran mata kita seperti binatang jalang, liar, dan melompat-lompat. Lalu, mata kita berubah menjadi mata keranjang.

”Ikat mata kalian,” Emak selalu berpesan. ”Jangan biarkan ia liar. Tundukkan mata kalian. Bukan kalian tunduk pada mata,” Emak berpesan berkali-kali. Agaknya Emak tahu kalau mataku selalu berkeliar.

Emak ingin anak-anaknya memelihara mata. Emak berujar bahwa mata mesti dimanfaatkan sesuai kodrat yang sebenarnya. Mata adalah penglihatan. Kodrat mata memang untuk melihat. Pada kodrat inilah, mata layaknya dipelihara. Jika tidak, mata akan melompat entah ke mana-mana. Bahkan, ia bisa terbang tak terkendali. Ketika itu, mata akan keluar dari hakikatnya.

”Kesulitan kita adalah mengendalikan mata,” Emak senantiasa mengingatkan sebab kita adalah buah hati cahaya mata bagi Emak.

Sebagian kita punya mata, tetapi sesungguhnya tak bermata. Sebagian lagi tak punya mata atau buta, tetapi sesungguhnya mereka bermata. Mata hati atau mata batin mereka lebih bergema daripada mata fisik. Ketika mata batin menggema, sesuatu yang tak mungkin menurut kita menjadi bukan mustahil. Tersingkaplah semua tabir. Tembuslah semua tembok penyekat cahaya. Terpampanglah sesuatu yang mustahil itu menjadi suatu kenyataan. ”Jika matamu tinggal di hati, maka suara hatimu akan menjadi panduan yang menyenangkan,” ungkap Sir Kristian Goldmund Aumann. ”Mereka sepertinya menatap kegelapan, tetapi mata mereka menatap Tuhan,” timpal Zera Neale Horston.

Jadilah mata telinga bagi orang yang memerlukan pertolongan,” Emak berpesan lagi. Tidak semua orang berada dalam kesejahteraan. Sebagian dari kita tersesat dalam lorong gelap. Sebagian lagi ada yang tersesat di jalan lurus. Orang-orang seperti itu perlu bantuan. Kita mesti jadi mata telinga mereka sebab mereka buta dan pekak.

Mata memberikan isyarat. Mata menyiratkan makna. Dari mata, seorang ahli mampu memberikan tamsil tentang seseorang. Mata bisa menjadi wadah untuk pengungkapan sesuatu ketika lisan diam seribu bahasa. ”Ketika kata-kata dibatasi, mata sering kali berbicara banyak,” kata Samuel Richardson. ”Saat seorang wanita berbicara denganmu, dengarkan apa yang dia katakan dengan matanya,” sambung Victor Hugo. Kata Arthur Conan Doyle pula, ”Ada cahaya di mata wanita yang berbicara lebih keras daripada kata-kata.”

”Buka lebar-lebar mata kalian,” suara Emak setengah memekau. Aku paham maksud Emak. Perempuan beraroma karet itu menginginkan kami berpandangan luas. Dia tak ingin kami hanya disekat oleh hawa nafsu: ikut hati mati, ikut mata buta. Emak tak nak keturunannya terpasung dalam kepicikan atau terkungkung di lembah tanpa cahaya. Emak tak mau kami buta dengan mata terbuka.

Hidup sehari-hari kita adalah perangai dan sikap. Perangai adalah perbuatan, sedangkan sikap adalah prinsip yang akan berwujud perbuatan. Bagaimana kita berperangai dan bagaimana kita bersikap. Perangai dan sikap inilah yang menjadi seukur mata dengan telinga. Berperangai dan bersikaplah yang adil. Adil untuk diri sendiri dan adil untuk orang lain. Kata Emak, jangan tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan, tiba di dada dibusungkan. Perangai dan sikap mestilah juga kita batasi dengan adab. ”Jangan pula bersultan di mata, beraja di hati,” Emak menegaskan.

Dalam kehidupan, kita senantiasa menginginkan kemujuran. Kita berdoa nak kaya. Kita berdoa nak sehat. Kita minta keberkahan. Kita minta apapun yang dapat menguntungkan. Tidak jarang pula kita lalai akan kemujuran itu gegara mata. Kita selalu bermata kurang atau tidak pernah puas ketika membandingkan dengan kemujuran orang lain yang lebih tinggi. Mata kita tergoda dengan keuntungan orang lain. Akhirnya, kita bisa celaka. Mujur sepanjang hari malang sekejap mata. Silap mata, pecah kepala. Ini karena kita tak mampu membela mata.

Hamba teringat dengan pesan Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas, Pasal Ketiga, Ayat Pertama: Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. Mata yang terpelihara akan membatasi keinginan, memasung nafsu, mengekang sesuatu yang berlebihan.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Senin, 10 Muharam 1444 / 08 Agustus 2022

Baca : Susu

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews