Batu

Bang Long

Bismillah,
Di pantai Tanjung Ambat, Hamba memandang bukit berbatu. Konon, bukit berbatu di tanjung durhaka itu adalah perahu si Ambat anak durhaka. Kaki bukit berbatu tersebut dikelilingi batu-batu merah bata. Keras. Kaku. Tapi, lawa juga jika dijadikan latar untuk swafoto. Tak lengah lagi, Hamba mengabadikannya dengan gawai. Jepret sana-sini dengan beragam gaya. Memang lawa latar alamnya. Pepohonan perepat dan berembang serta bebatuan merah bata menerokai keindahan di tanjung durhaka itu. Air laut di sekitarnya pun jernih.
”Itu kisah anak durhaka seperti si Dedap, Malin Kundang, atau si Tanggang. Kebanyakan mereka menjadi batu,” jelas Emak sambil menganyam sampul cempedak. Kalau musim cempedak tiba, Emak pasti menganyam sampul buah seperti nangka itu dari daun nyiur. Hamba pun lihai membuat sampul itu sebab Emak menunjukajarkan. Jika tak segera disampul, habislah cempedak itu dihembat kawanan kera.

Langkah kaki terus menelusuri pantai di kampung kelahiran Hamba itu. Batu-batu yang Hamba temukan berbentuk kerikil. Umumnya putih. Tentu saja keras bedengkang. Tentu saja punya kekokohan atau kekuatan bertahan. Kesabaran. Ya, batu memang mengajarkan kesabaran. Untuk menjadi kuat, batu harus berproses dari butiran-butiran pasir pilihan. Proses alam yang cermat membentuk butiran-butiran pasir pilihan itu sehingga menjadi karakter lain, yaitu batu. Beragam bentuk dan kekuatan batu mendidik kita untuk menghargai perbedaan dalam ragam kehidupan.

”Jadilah batu,” sergah Emak, ”seperti batu karang yang tahan hempasan gelombang. Bukan menjadi batu karena durhaka. Tak perlu pula kita jadi kepala batu,” Kata Emak lagi, batu pun bisa menjadi senjata. Ingatlah kisah pasukan gajah Raja Abrahah yang tewas ketika hendak menghancurkan kakbah. Burung Ababil menghunjamkan batu dari neraka hingga pasukan kezaliman itu terkapar terbakar.

Presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) mengabadikan batu dalam sajaknya bertajuk Batu: batu mawar/ batu langit/ batu duka/ batu rindu/ batu jarum/ batu bisu/….batu risau/ batu pukau/ batu Kau-ku/ batu sepi/ batu ngilu/ batu bisu…. Penyair SCB memainkan diksi batu dengan padanan diksi yang tak biasa. Liar. Beliau menyandingkannya dengan kata abstrak seperti risau, pukau, sepi, ngilu, dan bisu. Diksi batu pun disandingkan dengan kata konkret seperti mawar, langit, dan jarum. Penyandingan diksi di luar dugaan ini justru memberikan kekuatan pada sajak tersebut.

Penyair lain, Sapardi Djoko Damono (SDD) pun menulis sajak berjudul Batu: Aku pun akhirnya berubah menjadi batu/ Kau pahatkan,/ ”Di sini istirah dengan tenteram sebongkah batu,/ yang pernah berlayar ke negeri-negeri jauh, berlabuh di bandar-bandar besar,/ dan dikenal di delapan penjuru angin;/ akhirnya ia pilih kutukan, ia pilih ketenteraman itu. Di sini.”…. (1991). Sajak ini seperti mengenang peristiwa anak yang merantau dan sukses. Lalu, anak tersebut mendurhaka dan menjadi batu. Bisa saja kutukan menjadi batu itu sebagai ketenteraman atau kedamaian.

Sastrawan Taufik Ikram Jamil (TIJ) memahat batu menjadi kumpulan cerpen bertajuk Hikayat Batu-Batu. Keberadaan batu-batu di mata TIJ merupakan dua hal yang sangat penting peranannya. Dari sisi sejarah-pengalaman (historis-empiris), pengarang ini mengangkat sisi religius eksistensi batu-batu. Ini terjadi ketika beliau menunaikan haji di awal 1997, di saat berdiri di depan Kabah dan Hajar Aswad. Selain itu, beliau pun terkenang kisah tragis yang menimpa Abrahah yang diserang burung-burung Ababil dengan bebatuan dari neraka. Lantas, kenyataan sejarah inilah yang diangkat dan dimodernisasikan oleh Taufik Ikram Jamil sehingga melahirkan lebih banyak bebatuan baru di dalam cerpen-cerpennya. Masih dalam konteks kesejarahan (sejarah Melayu), Taufik Ikram Jamil terkenang Raja Ahmad, Ayahanda Raja Ali Haji, membawa semangkok pasir (bebatuan halus) dari Mekah, setelah menunaikan haji pada abad ke-19. Secara kebudayaan, lantas pasir itu diletakkan di Masjid Sultan dan selalu dijadikan pijakan pertama bagi anak-anak dalam acara injak bumi paling awal. Taufik Ikram Jamil pun teringat sastra lisan orang tua tentang anak durhaka yang disumpah menjadi batu. Apsanti Djokosujatno berpendapat bahwa cerpen Taufik Ikram Jamil merupakan aktualisasi sebuah tema kuno yang universal (Horison, 2004: 76). Di sisi lain, batu-batu yang ’’dipermainkan’’ pengarang dalam cerpennya merupakan estetika perlambangan dramatik yang sangat mengesankan. Batu-batu itu menjadi hidup, bergerak, melawan, menyerang, dan bahkan mengeluh.

”Jika nak menebar kebaikan, kita tak perlu seperti ada udang di balik batu. Apatah lagi dengan keluarga sendiri. Persaudaraan patut kita bela. Jangan mengundang air besar batu bersibak. Tak usah pula hidup sebagai kepiting batu. Seandainya termakan budi, jangan pula mengira intan disangka batu kelikir. Kalau melakukan pekerjaan, bisa saja mengungkit batu di bencah, tapi tak usahlah mencari umbut dalam batu,” Emak berpesan penuh harapan.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 06 Rabiul Akhir 1444 / 01 November 2022

Baca : Tanah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews