Nasibmu Bahasa (3)

Nasibmu Bahasa. (3)

Nasibmu Bahasa.

Membahas bahasa yang digunakan media massa sebenarnya adalah salah satu yang paling menarik, dan bisa sangat meluas. Bahkan bisa jadi sebuah buku yang berjilid-jilid. Bagaimana pun media massa (termasuk dalam hal ini adalah dunia iklan/pariwara) adalah salah satu medium komunikasi yang paling banyak atau kuat pengaruhnya bagi masyarakat [awam] pengguna bahasa itu. Sejak zaman media massa, atau pesan, itu tampil dalam bentuk yang dapat dipegang dan dilihat (simbol-simbol yang diguratkan di permukaan benda-benda yang lazim digunakan seperti bebatuan, tulang-tulangan, perkamen dari berbagai jenis kulit hewan dan pohon; hingga ke berbagai lembaran yang lebih modern seperti mulai dari papirus, kain, hingga kertas), dapat didengar dan dilihat (mulai dari tradisi tukang cerita, pembawa berita, penyampai perintah kaisar), hingga ke penggunaan teknologi yang lebih modern seperti radio, televisi, hingga yang sangat mudah untuk diakses di tangan manusia masa kini berupa gawai seperti smartphone, perangkat yang memiliki kemampuan “semua serba ada”.

Namun di kolom kecil ini kita hanya akan memperbincangkan satu-dua hal saja perihal penggunaan bahasa di dalam media massa terkini, yaitu hal-hal atau gejala-gejala yang mungkin paling menonjol, yang mungkin menjadi “ciri-ciri” termutakhir media massa dalam menggunakan bahasa.

Pada media massa yang bersifat bacaan (koran, tabloid, majalah, jurnal, e-paper, e-mag, dll) judul dari sebuah berita/artikel adalah salah satu yang terpenting dan paling diperhatikan dalam penulisannya, baik dari segi gramatikal, isi, hingga ke bentuk, ukuran, dan susunan huruf. Apalagi kalau ia menjadi berita/artikel utama/andalan yang di suratkabar cetak biasanya berada di halaman 1. Judul bagai etalase bagi berita/artikel itu, dan bagi sebuah media massa dengan demikian ia dapat menjadi daya pikat dan daya tarik kepada [calon] pembacanya. Karena itu, untuk menghasilkan sebuah judul yang memikat memerlukan kreatifitas sekaligus ketrampilan tersendiri [karena bagi media kegiatan ini sudah bersifat kontinuiti]. Namun oleh karena tuntutan dan/atau tujuan tertentu kreatifitas itu tak jarang sampai “menyundul langitnya sendiri”.

Ingatkah ketika pada suatu masa yang belum terlalu lama berlalu, kita akan dengan mudah menemukan judul berita sebuah media yang dengan “lugas” menyebutkan bahwa seorang pemain sinetron bernama A yang dikenal cantik jelita dan genit akhirnya berhasil diperkosa oleh ayah angkatnya pada suatu malam berhujan di kamar kos-kosannya? Judul berita seperti itu tentu segera menarik perhatian banyak calon pembaca, terutama penggemar aktris tersebut. Mereka terkejut, menjadi bertanya-tanya apakah benar demikian, timbul rasa kasihan dan mungkin sekaligus geram, lalu akhirnya membeli media tersebut yang mungkin saja sebelumnya tak pernah ditatapnya. Tetapi setelah membaca berita itu sampai habis [atau kadang-kadang baru sebagian] …, mereka kemudian bernapas lega, tersenyum, mungkin juga tak kurang yang jengkel karena merasa telah “ditipu”. Perkosaan itu ternyata hanyalah sebuah adegan di dalam sinetron yang diperankan oleh sang aktris.

Apa yang jadi persoalan relasi antara judul dan isi berita yang demikian, sekurang-kurangnya menyangkut persoalan etis. Dengan judul yang demikian (katakanlah misalnya judulnya adalah, “Artis A Diperkosa oleh Ayah Angkatnya di Sebuah Kos-kosan”), [calon] pembaca tadinya sudah berharap akan mendapatkan isi berita yang bersifat fakta-realitas. Tetapi tidak, ternyata hanya fiksi, di dalam sebuah sinetron [dan dibandingkan dengan cerita yang ada di dalam sinetron itu, memang tidak ada yang salah dari judul itu]. Namun orang yang sudah membacanya, meski tak kurang yang merasa terhibur, sedikit-banyaknya pasti ada merasakan upaya tipu-daya di dalamnya, kalau bukan malah pembohongan [bagi yang jengkel full].

Tetapi dunia media memang seringkali mengalami dilema dalam memilih judul, dari soal kesesuaian judul dan isi, ruang yang tersedia, batasan-batasan sosio-politis, hingga kepada fungsinya sebagai etalase. Kalau dalam kasus di atas judul itu ditulis sebagaimana seharusnya seperti ini misalnya: “Dalam sinetron X, Artis A Akhirnya Diperkosa oleh Ayah Angkatnya”, dijamin [nyaris] tak ada yang akan tertarik untuk membacanya [kecuali mungkin penggemar berat sang aktris], karena tidak ada unsur pemikatnya (bombastis, misteri, dst). Seiring waktu berjalan, ketika judul-judul berita semacam ini semakin marak [terutama di masa tabloid booming], para pembaca kian mafhum dan hanya tersenyum sekaligus terhibur saja begitu “terbaca” berita semacam itu. Lama-lama menjadi maklum, kemudian bosan, lalu ditinggalkan ….

Tetapi ternyata tidak hilang sepenuhnya. Belakangan ketika media massa [mulai] beralih ke dunia digital, penjudulan yang demikian, muncul kembali meskipun bukan dengan kemiripan yang utuh, hanya pola-polanya saja yang sama dan sebangun. Pembaca sekarang melalui gawainya dalam memperoleh informasinya (berita, artikel, feature) banyak yang mengandalkan sumber yang berasal dari aplikasi pengumpul informasi. Aplikasi platform semacam ini bekerja dengan mengumpulkan informasi-informasi dari berbagai sumber (kanal, portal), yaitu media massa yang independen [dalam pengertian tidak terkait dengan aplikasi dimaksud], atau person-person yang bertindak sebagai jurnalis tunggal [semacam “wts” zaman dulu, wartawan tanpa suratkabar] atau kolumnis, yang bekerja secara algoritmatik. Menariknya bagi [calon] pembaca adalah dengan membuka sebuah aplikasi semacam itu, ia akan mendapatkan sekaligus banyak informasi dari banyak sumber, yang jelas berbeda bila ia hanya membuka sebuah portal berita misalnya. Bekerja secara algoritmatik artinya aplikasi tersebut akan “membaca” preferensi atau minat si pembaca perihal informasi seperti apa saja yang diminatinya, yang lalu saat membuka aplikasi itu berikutnya si pembaca akan disuguhi dengan informasi-informasi yang senada. Ini salah satu kelebihan platform demikian, tetapi sekaligus sebenarnya kelemahannya juga, karena sebenarnya calon pembaca “tanpa sadar” kian dijauhkan dari keberagaman informasi, yang sebenarnya itulah “tujuan awal” dibangunnya platform yang seperti itu. Dunia memang penuh paradoks.

Sebagaimana media konvensional, aplikasi penyedia informasi semacam itu tetap masih mengandalkan kekuatan judul. Maka pada serambi atau beranda aplikasi terpampanglah deretan judul informasi, biasanya berikut foto/gambar [kadang-kadang video] yang menyertainya, dalam berbagai pola/bentuk/susunan sesuai kebijakan aplikasi yang bersangkutan. Namun, bagaimana pun ruangan terbatas. Dalam sekali bentang layar smartphone setiap aplikasi jelas berharap dapat menampilkan sebanyak-banyaknya judul informasi yang ditawarkannya, tetapi pada saat yang sama jelas tidak bisa semena-mena karena akan berdampak pada tampilan dan daya visual. Akibatnya, “akrobat gaya lama” muncul kembali. Maka kita pun saat melihat di ruang beranda akan membaca judul-judul yang terkesan aneh. Pada umumnya malah mengalami pemenggalan karena tidak cukupnya ruang yang tersedia. Namun uniknya banyak di antaranya yang “berhasil” menyiasati pemenggalan itu dengan justru menimbulkan rasa penasaran apa sebetulnya isi/kalimat lengkap dari judul berita/informasi itu, bukannya isi dari berita/informasi itu sendiri. Sehingga tak heran banyak juga pembaca yang begitu mengetahui judul lengkapnya, berkomentar “oh …, ternyata hanya begitu”, dan tidak melanjutkan membaca isinya karena baginya tidak menarik. Namun, bagi aplikan/kanal/portal penyedia informasi itu mungkin sudah cukup berarti “satu klik”, tak masalah isi informasinya dibaca atau tidak.

Dunia media massa, atau dunia informasi secara keseluruhan, memang sedang berada dalam zaman peralihan yang mengejutkan, dan begitu singkat. Dari peradaban cetak dan elektronik ke peradaban digital. Banyak yang ternyata gagap menghadapi perubahan zaman ini, semacam cultural shock. Bahkan beberapa media, termasuk media kelas dunia yang sudah mapan pun, “bertumbangan” bila tak siap atau tak sudi atau minimal berbagi ke dunia maya. Dampak besar dari pesatnya perkembangan teknologi informasi ini salah satunya adalah dapat membuat setiap penggunanya “dengan mudah” beralih/bertindak menjadi seorang jurnalis, kolumnis, pakar, politisi, ustad, bahkan teroris, dan seterusnya. Nyaris tidak ada penyaring yang dapat menakar otoritas seseorang, selain warganet juga; meskipun hal itu juga tidak selamanya berarti buruk.

Kebebasan luar biasa yang terhidang di dunia maya dalam hal menerima dan mengirim informasi, nampak bagai air bah yang sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan. Orang-orang sekarang begitu mudahnya bila ingin memperoleh informasi – bahkan nyaris sespesifik apa pun informasi itu – di dunia digital. Kalau masa yang belum terlalu lama berlalu orang harus mengurut kartu katalog terlebih dahulu mungkin, atau membongkar tumpukan koran dan majalah, timbunan buku, atau berjilid-jilid ensiklopedia yang tebal, lalu menelusuri baris-baris huruf satu per satu [atau pakai indeks kalau ada], yang bisa memerlukan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan mungkin bulanan. Di internet, hanya perlu waktu beberapa detik, pilihan sumber/referensi yang tersedia bisa hingga hitungan jutaan. Bahkan kadang dengan gambar bergerak lagi. Tinggal kita sendiri lagi yang harus pandai-pandai memilih dan memilah, serta membandingkan dan menyidik-silang dengan sumber-sumber lainnya.

Kebebasan ini ujung-ujungnya juga nampaknya berimbas kepada bagaimana manusia menggunakan bahasanya. Mungkin tidak terlalu rumit seperti manakala peradaban manusia mulai beralih dari lisan ke tulisan, atau dari manuskrip ke cetak; tapi tetap saja ada dampaknya yang signifikan. Sekarang mungkin belum terlalu terlihat, tetapi gejala-gejalanya sudah mulai ada. Peradaban digital adalah peradaban yang bersifat individual sekaligus global. Paradoks lagi, kan? Peradaban yang bersifat komunal mungkin akan hilang, atau menjadi minimal. Ditambah faktor pandemi covid-19 yang tak disangka-sangka ini, kian “memperlancar” upaya teknologi digital untuk “menguasai” peradaban dunia. Pada suatu saat nanti mungkin apa yang sekarang dikenal sebagai media massa mungkin sekali tidak dibutuhkan lagi, ketika fungsi dasar media massa sebagai media/penyedia/perantara/penyampai informasi di masa teknologi informasi masih “primitif” dulu sekarang dengan teknologi digital setiap orang sudah dapat menjadi jurnalis sekaligus pembacanya.

Namun, sebelum itu terjadi, mungkin ada baiknya media-media massa yang masih setia melayani dengan baik pembacanya, tetap ingat dan melaksanakan tugasnya sebagai salah satu pilar dalam berbahasa. Mengutip Daniel Dhakidae dalam Bahasa dan Kekuasaan (“Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru”, h: 246) mengatakan: “Berbicara tentang bahasa Indonesia, di dalam jurnalisme Indonesia berarti berbicara mengenai institusi terpenting, yang berurusan dengan bahasa secara profesional. Dalam hal ini, ia tidak tertandingi oleh institusi mana pun, karena intensitas dan eksistensinya dalam menggunakan bahasa, dan dengan penggunaannya itu berarti mengembangkan bahasa, yang pada gilirannya turut memberikan karakteristik tertentu serta menentukan pada tahap mana peradaban suatu bangsa berada.”

(bersambung)

Baca : Nasibmu Bahasa (2)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *