Angin

Bismillah,
Angin sepoi-sepoi menyelinap di balik pepohonan rhu. Ia menyapa cemara laut itu dengan kelembutan. Casuarina equisetifolia tersebut bagai melambai kedatangan Hamba di pantai Tanjung Ambat. Pikiran dan perasaanku mengembara ke masa lalu setiap kali bersantai di pantai ini. Ya, pantai ini merupakan bukti legenda pendurhakaan seorang anak kepada emaknya. Bukan cuma cemara laut hidup di pantai tersebut. Ada juga jenis perepat dan berembang serta pedada. Semuanya menarik tatkala angin berbisik di telinga mereka.
”Angin itu ikhlas. Ia melakukan sesuatu tanpa memerlihatkan dirinya. Namun, kita tahu akan kehadirannya,” Abah berbual dengan Hamba. Telunjuknya mengarah pepohonan yang menari dibelai angin.

”Tapi, ’kan, tidak semua angin itu ikhlas, Bah,” timpalku singkat. ”Angin bisa marah karena ulah kita. Ia akan menjelma badai. Kita jadi susah, ’kan?” Hamba melanjutkan.
”Meskipun menjelma badai, angin tetap ikhlas melaksanakan tugasnya. Angin ikhlas menegur kita,” tangkis Abah menyadarkan Hamba. Abah tak tahu ketika itu Hamba sedang buang angin dalam senyap karena tak tahan lagi. Kalau berbunyi, Hamba menjadi tidak sopan.

Hamba jadi teringat pelajaran sains. Angin bagai air. Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Angin berhembus dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Arah angin ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara. Juga sebab pengaruh rotasi bumi dan panas matahari. Angin punya kekuatan, bahkan luar biasa. Angin menikam ibrah dalam hati Hamba. Kelembutannya menjadi kekuataan tak terhingga. Kelembutannya memberikan ketenangan. Angin senantiasa merendah meskipun dalam amarah.
”Angin bisa berguna bagi pelaut, permainan layang-layang dan jong. Bahkan, angin bisa menjadi pembangkit listerik seperti di Belanda,” kata Abah. Aku agak heran juga sebab Abah tahu tentang pembangkit listerik tenaga angin di negeri yang pernah menjajah kita itu.

Kalau soal melaut, Hamba tak heran lagi. Melaut itu memang pekerjaan Abah. Menjaring, menjala, menggumbang/bubu, merawai, dan berlayar sudah menjadi makanan hari-harinya. Tentu saja Abah pernah memanfaatkan faedah angin untuk pelayarannya. Pernah suatu hari, Abah berkisah bagaimana ia dan kawan-kawannya bertarung di tengah laut karena amukan angin. Amukan angin melahirkan badai laut. Gelombang bergolong. Untung saja mereka masih dilindungi-Nya.
”Ketika itu, Abah dan kekawan seperti elang menyongsong angin,” ungkapnya. Hamba tahu bahwa terkadang kita mesti melawan arus untuk menyelamatkan diri dari badai.

”Lihat bendera itu,” suatu petang Emak menunjuk bendera yang sedang dibelai angin. Hamba memandang merah-putih itu berkibar. ”Bendera itu menjadi gagah karena hembusan angin. Penuh semangat bergelora. Membara. Membentang penuh kehidupan yang sebenarnya. Bagi Hamba, Abah dan Emak serta Nenek dan Kakek adalah angin. Hamba bagai bendera itu. Merekalah yang telah mengibarkan diri Hamba. Mereka telah menerbangkan Hamba. Semangat Hamba terus membara karena mereka terus mengibarkannya. Isteri dan anak-anak Hamba pun bagai angin itu. Merekalah yang menghidupkan jiwa raga Hamba. Hamba bagai langbuana yang berada di atas angin.

Angin bukan cuma memberikan kenyamanan. Angin juga penguji kekuatan. Dengan kelembutannya, angin menguji kekuatan. Jika angin adalah cobaan atau ujian, ia menerpa kehidupan untuk menguji kekuatan, keyakinan, keimanan, dan prinsip hidup kita. Kalau kita ibarat pohon, angin berhembus bukan untuk menggoyangkan tubuh kita. Namun, ia berhembus untuk menguji kekuatan kita menjalani kehidupan.
”Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya,” begitu Ali bin Abi Thalib berkata. Kuatkah kita menghadapi angin?
”Rumput kecil yang meliuk-liuk karena terpaan angin akan berdiri tegak kembali ketika badai telah usai,” sambung Aesopus, penyair Yunani. Begitulah jika angin ibarat badai. Terpaannya sebagai ujian kekuatan kita.
”Saya tidak mau menjadi pohon bambu. Saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin,” tegas Soe Hok Gie, aktivis Tionghoa Indonesia.
”Layang-layang terbang tinggi melawan angin, bukan mengikutinya,” timpal Winston Churchill, negarawan dan peraib Novel dari Inggris.
”Hidup ini ibarat berlayar. Engkau bisa memanfaatkan berbagai angin yang berhembus ke berbagai arah,” kata Robert Brault, penulis Amerika pula.

Hamba paham bahwa angin itu dinamis.
”Belajarlah memahami angin. Angin itu terus berubah,” pesan Emak. Hamba pun paham arah bicara Emak. Perempuan beraroma getah itu menginginkan Hamba untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan zaman. Tak perlu mengeluh dan stres dengan perubahan.
”Kaum pesimis mengeluhkan hembusan angin. Kaum optimis mengharapkan angin itu berubah. Kaum realis menyesuaikan dengan layar,” kata William Arthur Ward, penulis Amerika Serikat.
”Angin perubahan tak mungkin kita bendung. Namun, kita bisa menikmati sesuai keperluan dan ketentuan,” tambah Abah.

Angin bisa menjadi suatu subjek di mata penyair. Dalam puisinya bertajuk Angin Baru Saja Mengetuk Senja, Mohd. Adib Ab Rahman (penyair Malaka) menulis: Angin baru saja mengetuk senja/ antara cemas dan gelisah/ menyampaikan berita malam nanti/…. Angin menjadi begitu hidup dalam personifikasi yang indah. Ada juga puisi bertajuk Angin dari Tarempa karya Husnu Abadi (penyair Indonesia asal Riau) yang bernada kritis sosial:  ….Engkau masih saja terapung-apung/ Di laut cina selatan/ Yang kini bergemuruh/ Karena ada angin utara/ Yang merasa berkuasa/ Atas semua penjuru mata angin/…. Angin dari Tarempa/ Selalu menggoda/ Para laksamana. Puisi ini mengabarkan tentang sesuatu dari Tarempa, Natuna, yang saat ini menjadi godaan kekuasaan. Sesuatu yang dimiliki Tarempa telah menjadi bidikan bangsa-bangsa.

Oh, angin, teruslah berhembus. Biar Hamba bisa terbang tinggi! ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 12 Jumadil Awal 1444 / 06 Desember 2022

Baca: Hutan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *