Puisi Bebas, Politik, dan Jenaka: Banteng Bersayap Kupu-Kupu (Bagian Kedua)

Bang Long

Bismillah,
Menurut Fananie, karya sastra merupakan satu refleksi lingkungan budaya dan suatu teks dialektika antara pengarang dan situasi sosial yang membentuknya, atau merupakan penjelasan sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra (2001:3). Selanjutnya, Atmazaki menjelaskan bahwa karya sastra selalu terkait dan berhubungan langsung dengan kajian teks, maka usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk dapat mengerti, memahami, dan menilai teks sastra tidak hanya bergantung kepada teori sastra saja, tetapi persoalan-persoalan yang terdapat di luar teks, seperti persoalan politik, sosial, agama, dan sebagainya, yang seringkali mewarnai dasar bangunan karya sastra yang diciptakan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teks-teks sastra sebenarnya merupakan karya yang amat kompleks. Karena pada dasarnya, sastra merupakan refleksi dan fenomena kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang ada (2007:82).

Puisi bukan cuma hasil dari penghayatan jiwa. Puisi juga merupakan hasil dari penghayatan peristiwa. Komaruddin Hidayat mengatakan, puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra, ia merupakan karya seni yang menggambarkan ekspresi jiwa, pikiran, dan perasaan serta menyajikannya kepada pembaca dengan tujuan yang beragam. Tujuan puisi akan terlihat ketika menganalisa dan memahami isi puisi serta konteks sosial yang berlaku, baik kondisi tempat maupun waktu ketika puisi tersebut digubah, karena dalam memahami sebuah teks mensyaratkan untuk dapat memahami kondisi tempat teks tersebut lahir dan berkembang (1996:128).

Bagian kedua puisi-puisi kesaksian karya Mosthamir Thalib bertajuk Puisi Bebas. Bagian ini memuat 69 puisi dengan beragam tema yang bebas pula. Puisi yang terangkum dalam bagian ini didominasi oleh bau politik dan jenaka. Politik dan jenaka ini memang karakter Mosthamir Thalib dalam karya-karyanya. Beliau mengungkapkan kritikan sosial-politik melalui puisi sebagai media. Kritikan tersebut dipadupadankan dengan perencah jenaka yang menggoda, terkadang membingungkan. Diksi-diksi yang ditampilkan Mosthamir Thalib kekadang konyol dan mengerutkan kening, tetapi cadas.

Ada beberapa hal yang bisa Hamba beri catatan pada bagian ini. Pertama, pada puisi-puisi tertentu, kebingungan kita akan muncul karena adanya loncatan-loncatan diksi yang sebebas-bebasnya. Bahkan, loncatan-loncatan diksi itu terkesan manasuka (arbitrer). Tentu saja ini tidak menjadi persoalan karena bahasa (puisi) itu juga bersifat arbitrer. Simak saja puisi Kura-Kura Bakar berikut.
Kura-kura-kura-kura darat itu
tiba-tiba saja sudah mengudara di puncak-puncak
….
Sebangsa kelawar rupanya
Burung tikus bermuka hantu (h.78-79)
Antara frasa kura-kura-kura-kura darat itu dengan frasa mengudara di puncak-puncak, terjadi loncatan diksi yang paradoksal. Namun, loncatan diksi yang irasional itu tetap saja menghadirkan metafora. Bahkan, dia tetap juga memberikan makna. Kura-kura sebagai simbol makhluk yang lambat bisa mencapai kesuksesan (puncak). Ini suatu gambaran sindiran dari penyair. Tentu saja ada gambaran-gambaran tertentu dari kondisi elite politik negeri ini yang bisa kita padankan dengan simbolisasi tersebut. Begitu pula dengan makna yang terkandung dalam dua larik terakhir puisi. Larik Burung tikur bermuka hantu merupakan konklusi bahwa terjadi sesuatu yang menakutkan dalam setiap peristiwa politik seperti makar dalam larik berikut: Tuan-tuan telah merencanakan makar. Membakar sarang emas; Mahligai elang keluwit di puncak pohon. Hal serupa pun dapat kita pahami dari puisi bertajuk Setia Novyanti. Tentu saja judul ini merupakan plesetan suatu nama. Judul puisi ini mengingatkan kita pada kelihaian politikus tertentu yang tersandung hukum, tetapi tetap hancur: Ke langit mana mau menyuruk?/ Kecuali berderai. Berkecai/ Jadi abuk. (h.83). Diksi lain yang dapat kita temukan, yaitu tetikus tololis, virus tololis, tololis gadai mati, tololis mainan yang terkesan arbitrer. Diksi tololis tentu menimbulkan irama jenaka pada kata itu yang bisa kita maknai sebagai orang bodoh atau orang tolol.

Kedua, adanya permainan diksi seperti puisi bertajuk Politisi Tidur. Permainan diksi yang dimainkan penyair bisa berupa persamaan bunyi seperti berikut ini.

Polisi tidur melintang jalan
Politisi tidur di Senayan
Polusi tidur menggumpal awan
Puisi tidur di panggung zaman (h.77)

Penyair mempermainkan diksi polisi, politisi, polusi, dan puisi secara vertikal. Keempat diksi tersebut menjadi liar ketika digabungkan dengan diksi tidur. Tidur dalam puisi ini bisa kita maknai sebagai tidak melakukan perbuatan apa-apa atau pasif. Diksi tidur yang digabungkan pada diksi sebelumnya itu telah melahirkan gelombang makna. Pada akhirnya, perbuatan pasif itu tidak memberikan dampak positif untuk suatu perubahan yang sesuai tuntutan zaman. Permainan diksi yang dihidangkan penyair ini ada juga berupa repetisi vertikal dari awal hingga akhir seperti dalam puisi Bunga-Bunga Bintang. Judulnya pun menggunakan loncatan diksi yang berorientasi pada letak suatu benda: Bunga-bunga (bumi) dan Bintang (langit). Ini menggambarkan suatu kedudukan. Sasaran kedudukan yang digambarkan Mosthamir Thalib, yaitu bangsa Melayu: Bunga-bunga melati yang melayu/ satu dua ada juga menjadi bintang.

Ketiga, adanya diksi sejarah dan geografis sebagai penanda politis. Dalam bagian ini, kita akan menemukan puisi-puisi Mosthamir Thalib yang memberikan aksentuasi (penekanan) pada diksi-diksi tertentu yang merujuk ke arah politis. Dalam puisi Roman Tikam Anarko dan Corona, kita akan menemukan kata anarko, anarkis korupsi, coron, tiba di Wuhan. Puisi Negeri Ilham Pujangga menggunakan penanda dengan diksi Surakarta, Yasadipura, Kartasura, Cina, Yogyakarta, dan penanda tahun 1740, 1744, 1755, 2022. Pada puisi Hilangnya Penggalan Nusantara dan Terbunuh Tak Pernah Mati, penyair penyindir ini bicara tentang suku-suku yang terasing. Dia menggambarkan bagaimana bangsa asli menjadi hamba sahaya di negeri sendiri. Dia bicara kelenyapan atau kesengsaraan Champa, Singapura, Pulau Pinang, Jakarta, Aborijin di Australia, Negro Afrika, Palestina, Moro, Pattani, Rohingya, Uyghur, Gaza, Hindia-Selat Malaka. Dalam puisi Allepo Karlop, Beliau menyoroti politik luar negeri. Nama-nama besar negara dan benua seperti Ankara, Rusia, Iran, Amerika Serikat, China, Eropa, Asutralia, Asia, dan Afrika. Juga mengetengahkan nama tokoh dan organisasi dunia seperti Andrei Karlov, Assad, Obama, Putin, Donald Trump, Karl Marx. Tetap saja suasana jenaka menjadi perencah dalam puisinya.
….
Sesaat lagi. Tegaklah penguasa tunggal dunia ini.
Tunggal! Hajat Karl Marx segera mencapai puncaknya!
Rusia kaki kanannya dan China kaki kirinya!
Israel tukang dongengnya. Iran cuma tukang kipas-kipas (h.95).

Jenakanya penyair ini pun dapat kita lihat pada larik berikutnya: Ke manakah orang-orang pintar?/ Ke mana-mana saja/ Ke manakah manusia-manusia beragama?/ Mengelap-ngelipkan mata/ Ke manakah orang-orang di antara dua samudera?/ Jadi tuyul sesamanya/…. Semasa itu, nusantara cuma debu/ setelah tidak puas-puasnya jadi babu (h.96). Jenaka yang mengena.

Mosthamir Thalib menciptakan pelangi melalui puisi bebasnya. Beliau mengisahkan beragam corak tamsil kehidupan. Kisah-kisahnya itu–yang disebutnya sebagai artikeliris–terkadang menyerupai dongeng. Mantan wartawan yang pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro (1998) dari PWI Pusat ini sangat suka mengangkat tokoh binatang dalam karyanya ini. Kita akan menemukan kura-kura, kelelawar, elang, tikus, pelatuk, gagak, kucing, dan sebagainya. Binatang-binatang tersebut mewakili karakter manusia yang dia sindirkan. Sebenarnya, sifat binatang-binatang itu disandingkannya dengan sifat-sifat dan perilaku manusia.

Puisi Bebas dalam Banteng Bersayap Kupu-Kupu ini bukan sekedar mengkritik persoalan politik melalui simbol-simbol tertentu. Penyair ini membicarakan beragam corak kehidupan sosial dan kekejian dalam kehidupan. Bahkan, dalam puisi Duka Cita Menjelang Ajar (kepada republikku), Mosthamir Thalib sangat mengkhawatirkan negara ini. Penyair sebagai akulirik dalam puisi ini menganggap dirinya sebagai penumpang dalam perahu lapuk (sebagai simbol negara). Dalam puisi ini, kita akan menemukan gambaran negara (disimbolkan dengan perahu) yang sakit. Gambaran negatif ini disebabkan rakyat mabuk. Parahnya lagi, nakhoda (simbol pemimpin) yang kemaruk dalam segala sifat dan tindakan: aku menumpang/ perahu baru lapuk/ menunggu saat-saat pecah berkecai/ nakhoda kemaruk mengemudi bertali barut. Dua larik terakhir ini merupakan lukisan makna bahwa suatu negara akan berada dalam kondisi bahaya jika para pemimpinnya bersikap dan berbuat kemaruk (tamak; loba).
….
Sebagaimana angin menunggangi gelombang.
Keadilan juga bisa menumpang perahu kezaliman.
(Puisi Keadilan Menumpang Perahu Kezaliman, h. 102-103)
….
Walau alih-alih meletup, kejujuran
selalu juga datang dalam celaan.
(Puisi Hasrat Menumpang Puji, h. 104).
Penyair atau sastrawan tidak pernah lalai untuk mempertanyakan keadilan. Mereka anti-kezaliman. Selain mempertanyakan keadilan, penyair pun senantiasa mempertanyakan kejujuran. Mosthamir Thalib pun menggemakan suara-suara tentang keadilan dan ketidakadilan, kealiman dan kezaliman, serta kejujuran dan ketidakjujuran dalam karyanya ini. Penyair ini lebih banyak mengingatkan para penguasa untuk berbuat dan bertindak dengan naluri kebenaran dan kemanusiaan. Penyair yang mantan wartawan Harian Riau Pos ini, menurut Hamba, ingin menyentak jiwa para penguasa agar sisi kemanusiaan, keadilan, kejujuran, dan kealiman terbangun. Dalam puisi Menambat Gunung, bait terakhir, Mosthamir Thalib mengingatkan kepada kita, terutama penguasa untuk selalu menghadirkan Tuhan. Ia menulis: Tuhan t’lah mengingatkan kita/ Fir’aun sang maharaja perkasa pun/ Akhirnya, berakhir juga.***
(Bersambung….)

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 16 Rajab 1444 / 06 Januari 2023

Baca: Artikeliris: Banteng Bersayap Kupu-Kupu (Bagian Satu)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews