Guru/Dosen yang Inspiratif

Pemuda

ADA sebuah adagium arab yang cukup terkenal yaitu “al-maddatu muhimmah, al-thariqatu ahammu min al-maddah”, maknanya kira-kira adalah bahwa materi pembelajaran (content) itu penting, namun demikian metode itu lebih penting dari pada materi. Jadi, dalam konteks pendidikan, apa yang akan diberikan dan dibiasakan kepada peserta didik harus didesain secara komprehensif khususnya melalui kurikulum. Namun, materi yang sudah didesain dalam kurikulum saja tidaklah cukup. Karena itu, metode lebih penting daripada materi. Sehebat apa pun materi yang telah didesain dalam kurikulum jika tidak disampaikan dengan cara (pendekatan dan strategi) yang tepat, maka materi tersebut tidak akan dipahami dan dikuasai oleh peserta didik atau mahasiswa.

Di lingkungan sekolah atau kampus, figur seorang guru menjadi sangat menentukan proses penciptaan lingkaran kebajikan. Dalam ruang kelas misalnya, proses transformasi nilai hanya dibatasi oleh tembok kelas yang terbatas. Interaksi guru atau dosen dalam ruang kelas, sedemikian sempit dan terbatas. Di tambah dengan relasi kuasa yang tidak seimbang, dimana otoritas guru atau dosen lebih kuat ketimbang peserta didik. Maka akan terjadi interaksi yang tidak seimbang pula. Tingginya “modal sosial” yang dimiliki guru atau Dosen sebagai pemberi nilai, menyebabkan guru atau dosen bisa “berbuat apa saja”.

Dari ruang inilah muncul dominasi simbolik. Kharisma pendidik mendorong siswa atau mahasiswa untuk tidak memiliki pilihan. Ketika seseorang tidak memiliki pilihan, maka telah terjadi dominasi dan ia sesungguhnya sedang mengalami “kekerasan” simbolik juga. Kondisi ini akan terus berlanjut ketika seorang pendidik menjadi “sosok” yang maha tahu, menentukan segala proses dalam pembelajaran, sehingga siswa atau mahasiswa nyaris tidak memiliki daya tawar sama sekali.

Oleh sebab itu, sekali lagi, muncul adagium lagi bahwa “al-mudarris ahammu min al-thariqah”, bahwa pendidik lebih penting daripada pendekatan dan metode. Hal ini menegaskan pentingnya pelaku utama pendidikan adalah pendidik. Hanya saja, dalam praktiknya, hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidik itu sendiri. Figur seorang pendidik menjadi kunci bagi keberhasilan proses pembelajaran.

Karena dalam proses itu memerlukan figur, membutuhkan karakter yang mampu memompa semangat dan gairah belajar, maka adagium lain yang perlu dicermati bersama, yaitu “ruh al-mudarris ahammu min kulli syai’”, spirit pendidik lebih penting dari semua komponen lain dalam pendidikan.

Ada “etos” di sini. Ada spirit, ada sentuhan kelembutan dari para pendidik untuk menjadi seorang yang inspiratif bagi para peserta didik-nya. Kemauan yang kuat seorang pendidik yang tetap menjadikan peserta didiknya sebagai “mitra”, sehingga proses pembelajaran menjadi menyenangkan dan menggembirakan, merupakan pengejawantahan dari perilaku yang inspiratif.

Sayangnya, kita “kekeringan” guru atau dosen yang inspiratif ini. Dalam pemetaan Rhenald Kasali, pendidik seperti ini tidak lebih 5% di Indonesia. Di antara ciri guru inspiratif adalah guru yang mendidik dan menyentuh, bukan mengajar; guru yang melakukan proses pembelajaran sebagai sebuah panggilan, bukan karena tuntutan formalitas-administratif, apalagi terpaksa menjadi guru karena tidak diterima di dunia kerja yang lebih menjanjikan. Guru inspiratif lebih fokus pada memberi (giving), melayani (serving), dan peduli (caring).

Sementara yang “besepah” saat ini, adalah model pendidik yang dalam pemetaan Muqowwim, adalah mereka yang memiliki tipe sebagai guru kurikulum. Tipe pendidik seperti ini lebih sibuk dengan urusan administratif, hanya fokus pada mendapatkan (getting), lebih banyak digerakkan oleh tuntutan di luar dirinya seperti karena sertifikat, karena jadwal, karena tata tertib, dan karena peraturan. Guru tipe ini ketika menghadapi masalah lebih banyak mengeluh, mencari kambing hitam (scapegoating) di luar dirinya, menyalahkan pihak lain (blaming others), dan tidak punya visi pengembangan ke depan sehingga mudah terombang-ambing realitas di sekitarnya. Sementara itu, guru inspiratif lebih berorientasi mencari solusi ketika menghadapi masalah, melakukan koreksi diri, dan visioner.

Anda sebagai pendidik hari ini, telah berapa peserta didik kita yang telah menjadikan diri anda sendiri sebagai figur yang inspiratif? Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Islam sebagai Ilmu Pengetahuan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews