Lelang Suak Sungai

Lelang Suak Sungai

SETIAP masyarakat, mulai bercorak tradisional hingga modern yang memiliki peradaban memiliki cara tersendiri untuk melestarikan, membangun, dan mempertahankan kelangsungan kehidupan kaum atau kelompoknya. Hal itu dilakukan mereka di antaranya melalui pegelolaan hasil alam, baik hutan, tanah, sungai, laut dan lain sebagainya.

Pengelolaan kekayaan itu demi kemakmuran masyarakatnya. Demi kelangsungan masa depan puak atau suku bangsanya.

Alam bagi mereka bukan saja sebagai sarana untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan masyarakat akan tetapi juga sebagai kebanggaan kebudayaan.

Menurut Tenas Effendy, orang Melayu tradisional yang hakikatnya hidup sebagai nelayan dan petani amat bersebati dengan alam lingkungannya. Alam bukan saja dijadikan alat mencari nafkah, tetapi juga berkaitan dengan kebudayaan dan kepercayaannya.

Dalam ungkapan dikatakan, kalau tak ada laut, hampalah perut/ Kalau tak ada hutan, binasalah badan. Dalam ungkapan lain: kalau binasa hutan yang lebar/ rusak lembaga hilanglah adat.

Menyadari eratnya kaitan antara kehidupan manusia dengan alam, menyebabkan orang Melayu berupaya memelihara serta menjaga kelestarian dan keseimbangan alam lingkungannya. Dalam adat istiadat ditetapkan “pantang larang” yang berkaitan dengan pemeliharaan serta pemanfaatan alam, mulai dari hutan, tanah, laut dan selat, tokong dan pulau, suak dan sungai, tasik dan danau, sampai kepada kawasan yang menjadi kampung halaman, dusun ladang, kebun, dan sebagainya.

Menurut Tenas Effendy, orang tua-tua masa silam amat menyadari pentingnya pemeliharaan dan pemanfaatan alam sekitar secara seimbang. Ketentuan adat yang mereka pakai memiliki sanksi hukum yang berat terhadap perusak alam. Sebab, perusak alam bukan saja merusak sumber ekonomi, tetapi juga membinasakan sumber berbagai kegiatan budaya, pengobatan, dan lain-lain, yang amat diperlukan oleh masyarakat. (Tenas Effendy, 2004: 663)

***

Pemaparan di atas masih maujud pada masyarakat adat dalam kawasan Datuk Sati Diraja/ Batin Sibokol-Bokol Rantaubaru dalam bentuk lelang suak, sungai dan danau.

Tradisi ini merupakan tradisi unik pada masyarakat adat Desa Rantaubaru Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau di bawah naungan Datuk Sati Diraja/ Batin Sibokol-Bokol. Tradisi tersebut berupa pelelangan suak,sungai dan danau dalam wilayat Datuk Sati Diraja Rantaubaru. Budaya yang unik ini telah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Pelelangan ini maksudnya adalah suak, sungai, danau serta parit dan alu yang terdapat dalam wilayat Datuk Sati Diraja/ Batin Sibokol-Bokol setiap tahunnya disewakan atau dikontrakkan kepada masyarakat desa Rantaubaru melalui proses lelang.

Pada saat upacara ini berlangsung, semua perangkat adat, mulai pucuk jala pumpunan ikan, yaitu Datuk Sati Diraja, hingga ketiapan-ketiapan, serta perangkat pelengkap adat di bawahnya hadir dengan memakai pakaian kebesaran adat. Selain mereka juga dihadiri seluruh masyarakat yang ingin mengelola, suak, sungai, danau, parit dan alur yang ada dalam wilayat tersebut.

Setelah acara selesai, semua yang hadir makan bersama di balai-balai tersebut penuh dengan keakraban dan canda tawa yang menyenangkan.

Uang hasil pelelangan tersebut nantinya akan diperuntukkan bagi kelancaran pembangunan kegiatan kemasyarakatan, seperti untuk anak yatim, rumah ibadah dan kegiatan amal sosial lainnya serta menjadi kas adat.

Sebagaimana diketahui dalam ketentuan adat yang berlaku, bahwa wilayat desa, termasuk suak, sungai, parit dan alur yang berisi ikan merupakan hak milik adat. Ikan yang berada di suak, sungai, danau, tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat. Namun pemanfaatannya diatur oleh nenek mamak dan pemerintahan desa. Aturan pelelangan tetap mengacu kepada peraturan pelelangan suak, sungai dan danau dalam wilayah Desa Rantaubaru yang sebelumnya.

Pada tahun ini, setiap pemenang lelang mesti menandatangani surat penyataan yang berisi akan mematuhi seluruh ketentuan dan peraturan pelelangan suak, sungai dan danau sebagaimana tertuang pada peraturan yang telah dibuat dan disepakati lembaga adat dan pemerintah desa Rantaubaru, seperti tidak boleh meracuni, dan hal-hal yang merusak lainnya. Selain itu juga, si pemenang lelang juga menyatakan bersedia menerima hukuman atau sanksi jika melanggar ketentuan dari peraturan tersebut dan hukum positif yang berlaku.

Peristiwa lelang suak, sungai, danau, parit dan alur pada masyarakat adat Rantaubaru menjadi cermin bahwa masyarakat masih memiliki rasa hormat, peduli dan perhatian besar kepada lembaga adat yang telah dibentuk nenek moyang mereka sejak dahulu kala. Ya, adat yang tak lapuk dek hujan, tak lekang oleh panas.

Tradisi ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat adat lainnya di Provinsi Riau maupun di Indonesia pada umumnya. Selain itu, peristiwa ini dapat pula dijadikan sebagai objek pariwisata di kabupaten Pelalawan. Ini pun menjadi bukti bahwa tanah Melayu adalah tanah bertuan, tanah yang dikelola penuh dengan aturan sehingga tak dapat dieksploitasi oleh pihak manapun sesuka hati.

Tunjuk Ajar Melayu Tenas Effendy mengungkapkan: Adat hidup orang beriman/ tahu menjaga laut dan hutan/ tahu menjaga kayu dan kayan/ tahu menjaga binatang hutan// tebasnya tidak menghabiskan/ tebangnya tidak memusnahkan/bakarnya tidak membinasakan// adat hidup memegang adat/ tahu menjaga laut dan selat/ tahu menjaga rimba yang lebat/ tahu menjaga tanah wilayat/ tahu menjaga semut dan ulat/ tahu menjaga togok dan belat// tahu menebas memegang adat/ tahu menebang memegang amanat/ tahu berladang menurut undang/ tahu berkebun menurut kanun//.. Adat hidup memegang amanah/ tahu menjaga hutan dan tanah/ tahu menjaga bukit dan lembah// berladang tidak merusak tanah/ berkebun tidak merusak rimba. ***

Baca: Riau Pelopor Kaligrafi Digital

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews