Jasman dan Ramadan dalam Kehilangan Tuhan

Bang Long

Bismillah.

[dalam kenangan]

Saya pertama kali tiba di Bandul pada Maret 1997. Ketika itu, Desa Bandul masih dalam wilayah Kecamatan Merbau, Kabupaten Bengkalis. Kedatangan saya ke desa ini dalam rangka melaksanakan tugas sebagai pendidik. Saya ditugaskan menjadi pendidik di SMPN 1 Bandul. Bandul mengingatkan saya pada kampung halaman. Suasananya masih asri. Hanya masalah rumah yang menjadi masalah. Belum ada rumah jabatan di sekolah. Tidak ada rumah untuk di sewa. Juga belum ada pasokan listrik PLN. Akhirnya, saya menempati bekas rumah jabatan Bea Cukai. Rumah lama yang sebenarnya tak layak dihuni. Itu pun saya tak bisa memilih karena hanya tertinggal satu unit. Yang lain sudah ditempati kawan-kawan pendidik yang sudah mengabdi beberapa tahun di situ.

Ah, mengapa saya harus berkisah tentang kenangan itu? Di sinilah, saya mulai mengenali Jasman. Dia adalah siswa pertama saya ketika itu. Jasman saya ajak berpidato. Dia saya ajak berpuisi. Dia juga saya ajak berdrama. Ternyata, dia menyenangi dan mengalami sastra di sekolah itu. Namun, saya tidak tahu pasti apakah karena ajakan tersebut lantas dia bertekad menggeluti dunia sastra. Mungkin saja roh sastra merasukinya karena ajakan itu? Jasman selalu menerima tantangan saya itu dengan ikhlas. Di kompleks bekas rumah jabatan Bea Cukai itulah kami berlatih bermain sastra selain di sekolah. Mereka saja ajak juga mentas pada malam kemerdekaan dengan judul Cermin Diri. Sayang, naskah ini tiada arsip.

Jasman lulus dari SMPN 1 Merbau. Saya berpindah tugas. Komunikasi putus begitu saja. Tidak ada kabar sedikit pun tentang Jasman. Saya tidak pernah mencari kabar tentang dia. Mungkin dia pun tidak bertanya kabar tentang saya. Maklumlah, waktu itu komunikasi masih payah. Alih-alih, Jasman muncul sebagai pendidik sekaligus sebagai penyair (sastrawan). Ternyata, dia menamatkan sarjana di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Riau (sama seperti saya). Dia mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia (sama seperti saya) di SMAN 1 Kudap. Dia menulis puisi, cerpen, esai (juga sama seperti saya). Namun, dia berbeda gaya (style) dengan saya. Selain berprofesi sebagai pendidik, penyair/sastrawan, dia juga pendiri dan pengasuh Komunitas Gemar Menulis. Tentu saja saya bangga! Setakad ini, puisi menjadi idola Jasman. Entah dengan pertimbangan apa, karyanya dalam bentuk puisi lebih banyak daripada genre sastra lain. Puisi-puisinya pernah dimuat di berbagai media massa dengan nama Jasman Bandul. Konon kabarnya, kata Bandul itu merupakan tambahan yang disematkan oleh penyair Marhalim Zaini ketika menggawangi laman Budaya Riau Pos. Cukuplah kenangan tentang Jasman. Biarkan saja kenangan itu berkeliling dalam ingatan.

[puisi dari peristiwa]

Tidak salah jika puisi selalu dikaitkan dengan perasaan. Puisi merupakan media penyair untuk mengekspresikan berbagai persoalan kehidupan. Namun hakikatnya, puisi juga berkaitan dengan gagasan (pikiran). Dalam ruang puisi, penyair mencatat berlaksa raung gagasan yang biasanya berkaitan dengan beragam peristiwa. Penyair melahirkan puisi bukan hanya dari ruang sunyi tak berisi. Sebelum penyair melahirkan puisi, beragam peristiwa itu diperam dalam perasaan dan pikiran. Lantas, menurut Ali Abdul Somad, puisi menjadi ungkapan kegelisahan terdalam penyair dalam menyikapi suatu peristiwa (2010:13). Ketika menyikapi suatu peristiwa itulah, perenungan berkeliaran di perasaan dan pikiran penyair sehingga melahirkan puisi. Dengan perenungan tersebut, keaslian pengungkapan para penyair akan berbeda-beda. Mereka akan menemukan gaya (style) tersendiri meskipun dibatasi dengan tema dan topik yang sama.

Ada yang beranggapan bahwa memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu untuk menulis puisi itu suatu kekeliruan. Justru anggapan seperti itu merupakan suatu kekeliruan berpikir. Beragam peristiwa bisa saja berupa pengetahuan, pengalaman, kejadian terkini, sejarah, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan bahan mentah bagi penyair. Bahan inilah yang diperam mendalam sebelum puisi ditulis. Karena itu, tidak ada suatu puisi pun yang nihil peristiwa setelah dilahirkan. Halimi Zuhdi menegaskan, puisi adalah kelahiran yang sempurna dari hati, pikiran, dan khayal. Meskipun selalu tampak keanehan-keanehan dan penyimpangan (distorting) dari bahasa yang lazim dipergunakan, tetapi dengan keanehan itulah, puisi dapat membebaskan dirinya dari keakraban dan kungkungan sehingga ia mampu menunjukkan realitas yang sebenarnya. Kelahirannya membuat rongsokan baru, suasana baru, penciptaan baru (creating), pencerahan, serta revolusi pikiran, batin, dan diri (2001:2). Semuanya berangkat dari suatu peristiwa yang menjadi fokus perhatian penyair. Puisi merupakan suatu cara untuk mengabadikan suatu peristiwa. Penyair termasuk sebagai pencatat dan orang yang mengabadikan peristiwa tersebut.

”Dalam situasi apa pun, penyair adalah saksi peristiwa pada zamannya. Peristiwa besar atau kecil, bagi penyair, tetaplah mendapat tempat. Ia boleh saja tampak seperti menanggapi satu atau serangkaian peristiwa remeh-temeh yang kecil atau tak penting dalam catatan puisinya,” begitu pandangan Maman S. Mahayana, kritikus sastra Indonesia dalam Berbisik pada Dunia.”Meskipun begitu, penyair tidak mengungkapkan peristiwa itu sebagaimana adanya. Lewat sudut pandang sendiri yang khas, unik, dan tak lazim, penyair mencari celah untuk menyampaikan perenungannya,” (2020:xii).

Peristiwa bagi penyair, kita bisa menganalogikannya sebagai tepung di tangan koki (tukang masak). Bahan dasarnya sama, tetapi hasilnya akan berbeda. Bentuk, tekstur, rasa, dan gaya mengolahnya pun akan berbeda. Karena itu, peristiwa yang sama di tangan penyair atau tepung yang sama di tangan koki, tidak akan sama dengan penyair atau koki lain ketika mereka menulisnya atau mengadonnya menjadi puisi atau penganan untuk disantap pembaca atau konsumen. Begitulah penyair, ia memiliki kekuatan tersendiri dalam mengolah kata-kata. Karena itu, tentu saja puisi yang dilahirkan penyair akan jauh berbeda dengan tulisan-tulisan seperti berita (news), laporan perjalanan (future), dan sebagainya meskipun beranjak dari suatu peristiwa yang sama: FAKTUAL!

Penyair selalu memberikan catatan penting terhadap suatu peristiwa melalui puisi-puisinya. Catatan penting terhadap suatu peristiwa itu muncul, baik secara sadar maupun tidak, dari perenungannya. Pikiran dan perasaan berbancuh mengolah peristiwa menjadi suatu sajian yang berbeda. Bancuhan melalui perenungan inilah yang akan menyentuh pikiran dan perasaan orang lain ketika membacanya. Di dalam bancuhan itu, terselip pesan-pesan, ada ideologi, terpampang keindahan (estetis), dan sentuhan-sentuhan perasaan. Begitulah cara penyair mengabarkan, menghibur, mengkritisi, menyindir, dan menyampaikan pesan-pesan kehidupan. Tujuannya untuk menjadikan manusia yang manusiawi sehingga mengamalkan kearifan dalam hidup.

Penyair memiliki tanggung jawab pada keadaan. Mereka akan terus gelisah pada keadaan apa pun. Kegelisahan itu merupakan bukti bahwa penyair sangat peduli dengan keadaan. Kurang etis bilamana penyair bersikap masa bodoh terhadap keadaan di sekitarnya. Kepekaan penyair menjadi unsur utama dalam menyikapi rasa tanggung jawab ini. Selain tanggung jawab sosial, kepekaan terhadap suatu keadaan pun merupakan tanggung jawab moral bagi penyair. Semua fenomena sosial pada suatu zaman atau temporal tidak menjadi kering bagi penyair. Mereka akan menanggapi dan menilai beragam fenomena tersebut secara arif melalui bahasa pengungkapannya yang merdeka. ”Penyair adalah manusia responsif atas peristiwa apa pun yang terjadi di hadapannya. Puisinya jadi suara zaman!” Begitu kata Maman S. Mahayana. Puisinya juga menjadi catatan zaman. ”Menulis sajak (puisi) bermakna mencatat tanda-tanda. Menulis sajak pada hakikatnya mencatat tanda-tanda yang telah ada di langit, bumi, dan di antara keduanya. Saya menulis sajak berarti saya mencatat tanda-tanda (ayat-ayat) yang telah disediakan oleh Pemilik Semesta. Saya meminjam semua yang sudah ada. Tidak ada tanda-tanda yang baru di langit dan bumi serta di antara keduanya. Cuma kita sebagai makhluk belum bisa menemukannya. Karena itu menurut saya, menulis sajak bukan sekedar menjalin keindahan kata. Menulis sajak bukan hanya mengaduk diksi. Menulis sajak bukan cuma memberdayakan kata-kata. Lebih dari itu semua, menulis sajak adalah menyampaikan kebutuhan hidup melalui pilihan kata yang sudah ada. Kebutuhan hidup itu adalah keindahan yang sebenarnya, yaitu keindahan Ilahi. Semua isi semesta ini merupakan tanda-tanda dari Allah Taala. Keberhasilan kita mencatat tanda-tanda itu menjadi sajak berdasarkan pemahaman kita ketika membaca tanda-tanda itu” (Musa Ismail dalam buku puisi Tak Malu Kita Jadi Melayu, 2019:ix-x).

[Ramadan dalam Puisi Jasman]

Jasman Bandul mencatat peristiwa-peristiwa yang dialami atau sedang terjadi. Sehimpun puisi karyanya ini mencatat, mengabadikan, dan menggabungkan dua peristiwa besar: Ramadan dan Korona (maaf, saya lebih suka menyebut Korona daripada Covid-19). Ramadan merupakan bulan kesembilan dalam perhitungan almanak Islam. Bulan ini dirayakan umat Islam dengan melaksanakan ibadah utama, yaitu saum. Ramadan berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu ramida atau ar-ramad yang berarti panas yang menghanguskan atau kering. Ramadan merupakan peristiwa besar dunia, khususnya umat Islam. Bulan ini senantiasa menjadi bulan yang agung, suci, mulia, pembersih dari dosa, dan lebih baik daripada seribu bulan.

Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, ”Telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah Taala mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya. Pada bulan ini, pintu-pintu surge dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan para setan diikat. Pada bulan ini, juga terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsia tidak memperoleh kebaikannya, maka dia tidak memperoleh apa-apa (HR Ahmad dan An-Nasai). Telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan keberkahan. Allah Taala mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa, dan mengabulkan doa-doa. Allah melihat kamu berlomba-lomba pada bulan ini dan membanggakanmu kepada para malaikat-Nya. Maka tunjukkanlah kepada Allah hal yang baik dari dirimu. Orang yang sengsara adalah yang tidak mendapatkan rahmat Allah di bulan ini (HR At-Tabrani). Karena itu, umat Islam berlomba-lomba menyambut kedatangan bulan mulia ini walaupun dengan cara sederhana seperti puisi Kusambut Kau dengan Sederhana (KKdS).

Aku sambut kau dengan sederhana, kali ini
Sebab Allah Mahakasih dan Mahatinggi
Aku sambut kau dengan sederhana, kali ini
di rumah membaca almanak waktu
Menulis selarik puisi diri
membuka pintu dan jendela hari
melebarkan ventilasi.

Aku sambut kau dengan sederhana, musim ini
Datanglah umpama angin menyejukkan
Umpama sinar menghangatkan
gemamu bernaung di diri
aku bersandar di bahumu
datanglah dengan merekah senyuman
dan semerbak wewangian.

Bait pertama KKdS menggambarkan bahwa Ramadan disambut dengan rasa gembira atau senang hati. Puisi ini mengarahkan kepada kita agar menyambut dan melaksanakan ibadah saum secara sederhana. Meskipun sederhana, kita tetap melaksanakan ibadah di bulan Ramadan dengan gembira. Kegembiraan itu terlukis pada larik kedua, yaitu memuji bahwa Allah itu Mahakasih dan Mahatinggi. Selanjutnya, gambaran kegembiraan itu dilakarkan pada larik 4, 5, 6, dan 7 dalam bentuk citraan gerak atau lakuan penyair. Bait kedua juga memberikan deskripsi suasana kepada kita tentang keistimewaan Ramadan, yaitu melalui bahasa simile umpama angin menyejukkan, umpama sinar menghangatkan. Juga digambarkan dengan bentuk lakuan bahwa sifat Ramadan itu adalah keramahan dan keharuman.
….
Kusambut kau dengan diam yang dalam
Ketika sedang disuguhkan ujian,
wabah menghimpit berbulan-bulan
lintang-pukang sungsang dipandang,
hadirmu berharap riang kan datang
Aku nantikan bintang Timur,
Pada pagi di pertengahan Mei musim ini.

Bait kelima ini merupakan gambaran lain yang terjadi pada bulan Ramadan, yaitu sesuatu yang menakutkan, hantu, tak kasat mata, teror. Peristiwa yang dicatat pada bait keempat dan kelima adalah wabah korona sebagai ujian dengan harapan tetap gembira seperti larik 5 dan 6. Puisi-puisi Jasman memberikan catatan terkhusus tentang Ramadan. Ramadan menjadikan umat semakin khusuk dalam beribadah. Dalam puisi tersebut, ada kisah anak-anak memalu beduk/gendang apa adanya, berbuka dengan secukupnya, dan semuanya dilakukan secara sederhana. Islam sangat menyanjung kesederhanaan. Bahkan, Rasulullah pun hidup dengan sederhana. Tuntunan ini sangat jelas dalam puisi-puisi Jasman ini.

Doa-doa berkumandang dalam himpunan puisi ini. Doa-doa Jasman melalui puisi begitu penuh harapan selama Ramadan. Dalam puisi Bakar Aku dengan Ramadan-Mu (BAdR), misalnya, Jasman meminta sesuatu kepada Maha Pencipta dengan cara berbeda. Melalui Ramadan, dia minta hanguskan keraguan, menghapus keegoan, keingkaran, dan berharap pertemuan dengan Allah Taala karena kerinduan. Ramadan menjadi terminal kerinduan untuk berinteraksi dengan Yang Maha Pengampun. Ketika seluruh tubuh terasa penuh dosa bagai diselimuti debu, Ramadan menjadi alternatif utama sebagai penghapus debu-debu tersebut. Ini juga sebagai gambaran kekerdilan manusia dihadapan Tuhan Semesta Alam yang selalu resah seperti tergambar dalam nukilan puisi ENTAH DENGAN APA KUUTARAKAN HENDAK INI.
….
Segenap debu ada di badan
menutup daging-dagingku
Dan belulang yang lapuk.

Sendi-sendi doaku tak sanggup
Merapal permintaan maaf
Pengakuan yang entah macam apa
Terhuyung bersama arah angin
Tak tetap abahnya.
….

Puisi-puisi Jasman dalam himpunan ini, paling tidak terbagi sebanyak tiga penggal Ramadan. Tiga penggalan itu adalah sepuluh malam pertama, sepuluh malam kedua, dan sepuluh malam ketiga. Sepuluh malam pertama merupakan fase rahmat dan kasih sayang Allah Taala. Sepuluh malam kedua merupakan fase pengampunan (maghfirah). Sepuluh malam ketiga merupakan fase terbebas dari azab neraka.

Sebagian besar puisi Jasman ini merupakan ekspresi kerinduan kepada Allah Taala. Sebagai manusia yang hina, kerinduan kepada Allah Taala tertumpahkan pada sebulan penuh Ramadan. Manusia mengadu. Manusia bersimpuh. Manusia bertasbih. Manusia berzikir. Meskipun Ramadan tahun ini dihantui oleh Korona, ibadah tetap terlaksana seperti biasa walaupun sebagaian besar #DiRumahAja. Selain itu, puisi-puisi ini merupakan bentuk pengalaman interaksi penyair, baik secara vertikal (hablumminallah) maupun horizontal (hablumminannas). Bentuk-bentuk pengalaman penyair ini tetap merupakan hasil perenungan panjang terhadap peristiwa yang dihadapinya selama melaksanakan saum Ramadan. Perenungan ini juga sebagai wujud kerinduan kepada Ramadan selanjutnya seperti SELAMAT JALAN RAMADAN.
….
selamat jalan Ramadan
ini akan menjadi pisah yang panjang
dan lengang
jarak yang paling dirindukan
dari segala rindu yang pernah datang
….
selamat jalan Ramadan
belum lunas segala hajat
yang kasad,
luruskanlah laras abahku

[Kehilangan Tuhan]

Sebagian dari kita mengakui tak ber-Tuhan. Atheis. Sebagian lagi mengakui ber-Tuhan dan takut kepada-Nya. Atheis tentu saja menjurus pada kehilangan Tuhan dalam dirinya. Sementara kita yang ber-Tuhan, terkadang masih saja kehilangan Tuhan dalam diri dan lingkungan sekitar. Raja Ali Haji menulis dalam Gurindam Duabelas, Pasal Pertama, bait 3 dan 4 tentang bagaimana manusia yang mengenal Allah dan bagaimana pula manusia yang mengenal diri. Ternyata, untuk mengenal Allah, manusia mesti mengenal diri. Dengan begitu, manusia tiada akan menyalah dalam segala sifat, sikap, dan perilaku. Itulah jatidiri utama Melayu.

Barangsiapa mengenal Allah
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

Barangsiapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan Tuhan yang Bahri

Manusia tiada ber-Tuhan tentu tiada merasa kehilangan Tuhan walaupun hakikatnya dia telah kehilangan. Manusia ber-Tuhan akan peka kehilangan Tuhan dalam kehidupannya meskipun tiada menyalah dalam kesehariannya. Kehilangan Tuhan bukan semata ketika berada dalam lokasi atau situasi maksiat. Manusia bisa saja kehilangan Tuhan tatkala sedang berupaya melaksanakan perintah Tuhan. Jasman mencatat peristiwa kehilangan Tuhan tersebut–mungkin dari peristiwa dirinya dan peristiwa sekitarnya–di saat sedang beribadah dengan Tuhan. Jasman ingin menyampaikan kepada kita bahwa betapa lalainya manusia ketika beribadah kepada Tuhannya. Peristiwa kehilangan Tuhan ini begitu jelas dalam puisinya Kehilangan Tuhan (h.66). Manusia bisa kehilangan Tuhan ketika malam dan di kasur semalaman. Di sepertiga malam pun, manusia bisa kehilangan Tuhan. Di bentangan sajadah, manusia juga ada yang kehilangan Tuhan. Manusia juga bisa kehilangan Tuhan dalam tasbih, takbir, tahmid, dan doa-doa. Bahkan, di masjid pun, manusia kehilangan Tuhan.
….
Kemana-mana Tuhan selalu hilang dalam
Dari badanmu.

Semoga kita tidak kehilangan Allah.

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 06 Ramadan 1444 / 28 Maret 2023

Baca: Roh Pekasih

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews