Cemas Corona

hijrah

SIRINE ambulans, denting bunyi lonceng whats app, status di facebook dan instagram, cuit twitter, pengumuman dari masjid dan mushalla tentang ada warga, kerabat, handai taulan yang meninggal dunia, hari ini tak seperti kira-kira sebulan atau dua bulan yang lalu.

Kemarin, ya, kira-kira sebulan dua bulan yang lalu, hampir saban jam, atau mungkin setiap menit pengabaran tentang kematian terus saja menggema, melaung, meraung di mana-mana. Rasa takut, khawatir, cemas terus saja datang menghantui tanpa jeda. Apalagi yang saat itu memang sedang menderita sakit atau yang positif terjangkit covid-19 menurut hasil rapid atau swab pcr. Jangan-jangan malaikat maut sudah dekat. Jangan-jangan semuanya akan berakhir, padahal segalanya baru hendak dimulai. Okh.

Syahdan, kini angka penyebaran covid-19 telah menurun, setidaknya itu yang dilaporkan pemerintah melalui sejumlah media.

Jawaban rakyat jelata? Tentulah bersyukur karena semua berharap pandemi segera berakhir, corona segera hilang. Hidup kembali nyaman dan tentram.

Ya, dengan berakhirnya pandemi, semua berharap dan berhajat; ekonomi kembali bangkit, semangat kembali naik, anak-anak kembali ke sekolah, masjid dan mushalla serta rumah ibadah umat lainnya kembali dibuka seperti sebelum pandemi tiba, semua aktivitas kehidupan kembali normal dan berdenyut. Langit kembali cerah. Matahari kembali terbit dengan senyuman baru. Rembulan timbul dengan pesona baru. Semua bergerak, bergiat, bersemangat dan berlari dengan serba baru menuju sesuatu yang baru yang mungkin juga biru.

Wah, pandemi melahirkan sejumlah ihwal. Untung-untung ada yang mengambil iktibar. Syukur-syukur ada yang memahami diri, bahwa ternyata begitu lemah dan tak berdayanya manusia. Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dibanggakan hanya sebagai alat pengobat rasa was-was semata. Kemajuan produk inteligensi manusia itu hanya seperti setakat setawar sedingin saja.

Manusia sungguh lemah dan tak berdaya. Mereka benar-benar tersadai dalam ketakmengertian, kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan. Hanya karena makhluk kecil bernama corona saja, hampir semua manusia panik dan runtuh kepercayaan diri. Ahli kesehatan makin bingung karena konon korban covid terbanyak di negeri ini adalah petugas kesehatan. Di samping karena sudah takdir Ilahi, barangkali itu juga menyiratkan bahwa Tuhan ingin menunjukkan kepada para ahli, terutama pakar kesehatan, bahwa betapa bukan siapa-siapanya  mereka menghadapi kuasa-Nya. Selain itu, maaf, barangkali juga, sejumlah regulasi penanganan covid-19 di negeri ini seolah memberatkan petugas kesehatan. Mereka seperti dipaksa untuk menantang maut saban waktu. Seolah tak ada waktu untuk beristirahat bagi tenaga kesehatan, seolah mereka robot yang tak punya keluarga dan orang-orang tercinta di rumah, yang sedang menanti mereka dengan sejumlah asa, sementara para pegawai atau pelayan pemerintah lainnya masih dapat rehat sejenak dengan kebijakan seperti WFH/WFO ganjil-genap.

Bagaimana kalau muncul ‘sesuatu lain’ yang lebih dahsyat daripada corona?

Ketika menghadapi hal demikian, inilah fungsinya iman di sanubari. Ketika otak manusia tak dapat lagi mengakali dan mencari solusi dari apa yang menimpa, ketika pikirannya buntu dan terbentur tembok ketidaktahuan, maka hatinya yang akan membantu dan membimbingnya untuk menerobos kegelapan pikiran. Barangkali, karena itulah maka ilmu tentang penyucian hati tak pernah hilang.

Hari ini, orang berduyun-duyun mencari pemuas batin, pelepas dahaga jiwa yang kerontang ke sejumlah tempat dan para guru spiritual.

Bagi orang beriman dan dianugerahkan ilmu oleh Tuhan, semua sudah selesai. Untung baik takkan buruk, nasib celaka takkan beruntung. Semua sudah final. Segala sudah selesai. Manusia tinggal berikhtiar, tinggal berusaha. Janji sudah dibuat dan dikebat, suatu ketika ‘kan ditepati. Itu pasti. Tak ‘kan berganjak walau setapak, tak ‘kan bergarit walau sejarak.

“…Allah akan mengangkat derajat orang beriman dan orang yang dianugerahkan ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Q.S: Al Mujadalah:11)

Ibnu ‘Athaillah al-Iskadari dalam Alhikam mengingatkan: “Orang mukmin disibukkan dengan memuji Allah sehingga lupa menyanjung diri sendiri. Ia juga disibukkan dengan menunaikan kewajiban kepada Allah sehingga tidak ingat kepada kepentingan dirinya.”

Hamzah Fansuri berpesan dalam Syair Perahu:

Ketahui olehmu hai anak dagang/ riaknya rencam ombaknya karang/ ikanpun banyak datang menyarang/hendak membawa ke tengah sawang// Muaranya itu terlalu sempit/ di manakan lalu sampan dan rakit/ jikalau ada pedoman dikapit/ sempurnalah jalan terlalu ba’id// Baiklah perahu engkau perteguh/ hasilkan pendapat dengan tali sauh/ anginnya keras ombaknya cabuh/ pulaunya jauh tempat berlabuh// Lengkapkan pendarat dan tali sauh/ derasmu banyak bertemu musuh/ selebu rencam ombaknya cabuh/ La ilaha illallahu akan tali yang teguh// Barang siapa bergantung di situ/ teduhlah selebu yang rencam itu/ pedoman betuli perahumu laju/ selamat engkau ke pulau itu// La ilaha illallahu jua yang engkau ikut/ di laut keras dan topan ribut// hiu dan paus di belakang menurut/ pertetaplah kemudi jangan terkejut.

Wallahu a’lam. ***

Baca : Penopang Hijrah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *