Membangun Resiprokalitas dalam Beragama

Pemuda

SEBAGAIMANA kita maklumi bersama, bahwa Indonesia adalah “rumah” yang di huni oleh aneka ragam suku, ras, dan agama. Dalam sebuah relasi sosial, hubungan antara berbagai entitas yang beragam itu, tidak bisa kita lakukan atas dasar mayoritas dan minoritas. Penggunaan kedua istilah ini, mungkin hanya bisa dilakukan pada kondisi penyebutan kuantitas suatu umat beragama, namun tidak untuk hal lainnya. Meskipun, ada ujaran yang kedengarannya cukup menghibur dan tampak sangat baik, yaitu “mayoritas melindungi dan minoritas menghargai”. Akan tetapi, ungkapan itu jelas sekali tidak merefleksikan akan penghargaan hak dalam beragama.

Ada selipan diskriminasi dalam ungkapan itu. Misalnya saja, dalam sebuah daerah yang terdapat mayoritas kelompok agama tertentu, maka anggaran yang diperuntukkan untuk kelompok agama itu akan lebih besar tinimbang yang diperoleh kelompok agama lainnya atau bahkan tidak memperoleh anggaran sama sekali. Padahal anggaran Negara yang diperoleh dari pajak warganya atau pendapatan daerah lainnya, diperuntukkan bagi seluruh warga daerah itu sendiri, tanpa terkecuali. Tidak boleh Negara menggunakannya dengan memilih-milih berdasarkan kepentingan suku, ras, dan agama.

Oleh karena itu, jelas sekali terlihat bahwa ungkapan tersebut, menyiratkan akan konsepsi negatif dan juga adanya relasi kuasa yang tidak seimbang di antara keduanya. Semua warga Negara dituntut untuk saling menjaga; melindungi dan menghargai, baik kelompok itu banyak maupun sedikit. Mereka juga dituntut untuk hidup secara bersama-sama, pada wilayah yang sama, saling berbagi, saling asah, asih, dan asuh tanpa memandang latarbelakang suku, ras, dan agama.

Saling asah, merupakan repsresentasi dari upaya untuk terus belajar, saling mempelajari akan “kondisi” orang lain yang berbeda dengan kita. Dari proses mempelajari dan mengenal ini, maka akan muncul sikap saling asih, sikap peduli antar sesama yang berbeda dengan kita. Di sini, seseorang akan memiliki empati atas nama kemanusiaan. Perbedaan dan keragaman akan berjalan dengan saling “mengisi” kekurangan antar satu dengan lainya. Ini lah sikap peduli, sikap saling asuh, saling menyayangi antar sesama manusia.

Dalam konsep kerukunan umat beragama, sikap di atas disebut dengan istilah resiprokalitas dalam beragama. Istilah ini, bisanya muncul ketika menjelaskan relasi antara Negara dan warga Negara, yaitu memiliki hubungan timbal balik (resiprokal) dalam menggunakan Hak dan Kewajibannya. Kondisi ini muncul, karena sebagai seorang warga Negara, maka ia harus mendukung negara dan juga harus memiliki arti penting bagi negara. Namun Negara juga harus memberikan jaminan atas kesejahteraan warganya. Sebagai anggota dari negara maka warga negara memiliki hubungan atau ikatan dengan negara. Hubungan antara warga negara dengan negara terwujud dalam identitas, partisipasi, dan aneka bentuk hak dan kewajiban antara keduanya. Warga negara memiliki hak dan kewajiban terhadap negara dan begitu juga sebaliknya.

Dalam Buku Saku FKUB “Menggapai Kerukunan Umat Beragama”, disebutkan bahwa yang dimaksud resiprokalitas adalah lakukan pada orang lain apa yang ingin orang lain lakukan pada mu. Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu tidak ingin orang lain melakukan kepada mu (2018:9). Konsep ini, menghendaki akan adanya upaya untuk “menjadi” orang lain atau menempatkan diri pada posisi orang lain yang berbeda dengan kita.

Di sini, kita dituntut untuk selalu terbuka atas kemungkinan adanya yang berbeda di luar kita. Kita diajak untuk mengenal (ta’aruf) dan berdialog kepada orang-orang yang berbeda dengan kita. Dari proses resiprokalitas ini, kita akan banyak belajar akan adanya “orang berbeda” di luar kita. Kita tidak lagi menganggap bahwa orang yang berbeda dengan kita adalah “orang asing” yang akan “mengganggu” kehidupan kita. Ini lah konsep kerukunan yang sejati, yaitu sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap memaknai kebersamaan.

Dengan saling mengenal dan saling “menghampiri” antara satu dengan lainnya, maka akan menghilangkan prasangka-prasangka yang muncul dalam interaksi social di antara mereka yang berbeda. Sebab, prasangka-prasangka ini seringkali menjadi sebab penting munculnya intoleransi, tertutup, dan kekerasan. Prasangka muncul biasanya diawali oleh adanya streotip, yaitu penilaian yang tidak seimbang terhadap kelompok yang berbeda. Ujung dari penilaian itu adalah adanya proses generalisasi atau pengambilan kesimpulan yang tanpa pembedaan.

Semoga, di tengah keragaman bangsa ini, kita mampu melakukan resiprokalitas terhadap yang berbeda dengan kita. Semakin banyak “warna” yang berbeda kita kenali, fahami, dan pelajari, maka akan semakin mendalam juga rasa asah, asuh, dan asih terhadap yang berbeda. Wallahu A’lam bi al-Shawab.***

Baca : Kosmopolitanisme Islam

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *