Penyidik dan Jaksa yang Tangani Suap PAW Dimutasi, Suasana KPK Tak Sehat

LAMANRIAU.COM, JAKARTA – Kasus dugaan suap terkait proses PAW anggota DPR menimbulkan turbulensi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Beredar informasi di kalangan wartawan, seorang penyidik bernama Rosa dan seorang jaksa bernama Yadyn, dikembalikan ke instansinya masing-masing.

Rosa dikabarkan ditarik ke Polri, sementara Yadyn akan dikembalikan ke Kejaksaan Agung. Keduanya merupakan bagian dari tim Satgas KPK yang sedang menangani kasus suap terkait proses PAW anggota DPR dari PDIP.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyatakan, jika mutasi terhadap Rosa dan Yadyn didasarkan pada aturan kepegawaian KPK yang diatur dalam UU Nomor 30/2002 tentang KPK maka tidak pelanggaran aturan.

Namun, jika kontrak kerja keduanya masih panjang, Fickar menyatakan hal tersebut dapat dianggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan pimpinan KPK.

Menurutnya, kondisi tersebut tidak sehat bagi penegakan hukum. “Jika kontraknya masih panjang tetapi diputus atau dikembalikan pada instansi asal, maka ini dapat diklasifikasi sebagai kesewenang-wenangan. Ini suasana tidak sehat untuk” kata Fickar saat dikonfirmasi awak media, Senin (27/1/2020).

Fickar menegaskan, mutasi dan rotasi pegawai, termasuk penyidik dan penuntut KPK harus didasarkan pada aturan yang berlaku. “Ini suasana tidak sehat. Jika mutasi itu didasarkan pada aturan kepegawaian KPK, berdasar berakhirnya kontrak adalah hal biasa,” kata Fickar Hadjar.

Meski demikian, Fickar berharap KPK dapat tetap profesional mengusut kasus dugaan suap terkait proses PAW anggota DPR dari PDIP. Apalagi, terdapat penyidik lainnya yang dapat mendalami dan mengembangkan kasus tersebut dengan menjerat pihak lain yang terlibat. “Penyidikan diharapkan tetap jalan oleh (penyidik) yang lain,” tukas Fickar Hadjar.

Dikonfirmasi terpisah, Direktur Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai, jika benar informasi penarikan Rosa dan Yadyn terkait kasus suap PAW, maka dapat dikategorikan adanya upaya menghalang-halangi penyidikan atau obstruction of justice. “Saya pikir kalau penarikan (penyidik dan jaksa) itu ada kaitannya dengan proses penyidikan maka harus dianggap tindakan itu adalah tindakan menghalang-halangi penyidikan,” kata Feri Amsari.

Merintangi proses penyidikan atau penuntutan atau obstruction of justice tercantum dalam Pasal 21 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Pasal itu menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta”.

Feri menegaskan, ‘setiap orang’ yang tercantum dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi tidak hanya bisa diterapkan terhadap orang-orang di luar KPK. Pasal tersebut juga dapat diterapkan kepada internal KPK, termasuk pimpinan jika terbukti menghalangi proses penegakan hukum. “Kan dia setiap orang, termasuk pimpinan,” kata Feri Amsari.

Sementara itu, Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan, pengembalian pegawai yang dipekerjakan di KPK tergantung dari instansi asal. Hal tersebut, kata Firli tergantung dari kebijakan instansi asal. “Kalau pengembalian jaksa itu kan statusnya pegawai negeri yang dipekerjakan. Itu tergantung instansi asal yang mengirim. Saat saya deputi ada lima orang jaksa yang habis masa waktunya kembali karena ditugaskan oleh Kejagung. Itu kebijakan Jaksa Agung,” kata Firli usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (27/1/2020).

Tak hanya Rosa dan Yadyn yang kembali ke instansi asal, seorang Jaksa bernama Sugeng yang merupakan ketua tim yang memeriksa Firli Bahuri saat menjabat Deputi Penindakan KPK dikabarkan juga ditarik ke Kejaksaan Agung. Dikonfirmasi mengenai hal ini, Firli meminta awak media untuk mengonfirmasi kepada Kejaksaan Agung. Hal ini lantaran pengembalian Sugeng maupun Yadyn atas permintaan Kejaksaan Agung.

“Permintaan Jaksa Agung dong. Kan pegawai negeri yang dipekerjakan pembinaan SDM-nya karirnya ada di Jaksa Agung. Dia di KPK hanya dipekerjakan. Jadi, dalam PP nomor 63 tahun 2005 di situ disebutkan pegawai KPK adalah satu, pegawai tetap. Kedua, pegawai negeri yang dipekerjakan. Ketiga, adalah pegawai tidak tetap. Jadi, kalau ada informasi dikembalikan, itu karena permintaan Jaksa Agung,” kata Firli Bahuri.

Jaksa Yadyn sendiri membenarkan informasi mengenai penarikan dirinya dari KPK untuk kembali ke Kejaksaan Agung. “Saya mendengar informasi tersebut,” kata Yadyn.

Meski demikian, Yadyn mengaku belum menerima SK nya secara langsung. Lantaran belum menerima SK penarikannya ke Kejaksaan Agung, Yadyn menyatakan akan tetap bekerja seperti biasa. ”Saya masih tetap melaksanakan tugas-tugas saya di KPK,” katanya. (BSC)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *