Ketor

Bang Long

Bismillah,

EMAK cukup lama terbaring di katil. Perempuan berhati mulia itu diserang batuk. Batuk bagai batu menghantamnya bertubi-tubi. Sembari batuk, dahak hijau kental keluar. Emak meludahkannya di dalam tempat yang sudah disediakan adik. Mencungap napas Emak gegara batuk berdahak yang tak lazim itu. Bertubi-tubi batuk, bertubi-tubi pula dahak kental itu keluar. Emak meludahkan ludah dan dahaknya ke dalam ketor.

”Kehidupan kalian jangan seperti ini,” Emak berpesan sembari mengacungkan dan menunjukkan ketor ke arah kami. Batuk tidak berhenti saat Emak bercakap-cakap. Batuk telah menjadi musabab percakapan Emak tersendat-sendat.

Tidak ada yang menginginkan sakit. Tak ada pula manusia yang sehat terus-menerus. Semua orang sudah pasti merasakan sakit. Sama halnya semua orang pasti merasakan mati. Cuma kadar sakit kita yang berbeda antarsatu sama lain. Meskipun tingkat sabar Emak tak setara dengan Nabi Ayub ketika menghadapi penyakit, tetapi Emak tetap berusaha bersabar. Kadar sabar yang berbeda ketika menghadapi penyakit itu memperlihatkan kualitas kesabaran seseorang. Semoga saja sakit itu menjadi pertanda bergugurannya dosa-dosa bagaikan dedaunan kering di musim kemarau. Kami berharap dosa-dosa Emak terbang melayang bersamaan batuk bertubi-tubi dan dahak yang bertakung di dalam ketor.

Jika dilihat sepintas, tugas ketor memang menjijikkan. Ketor menampung ludah atau dahak orang sakit. Tentu saja ketor ini seperti orang yang tidak dianggap. Namun, tentu pula tersimpan kemuliaan ketor di mata orang lain. Dia melakukan pekerjaan sebagai orang suruhan, orang rendahan. Dia mengerjakan dengan bersungguh-sungguh. Justru karena itu, suatu lembaga bisa menjadi besar. Perusahaan bisa berkembang kuat. Kantor memiliki suatu budaya dedikasi yang melangit.

Apa perasaan kita kalau seseorang mencemeeh dengan meludahi meskipun tidak mengenai tubuh kita? Kalau tak sabar, marah kita langsung meledak. Kita laksana manusia tidak dianggap di depan orang-orang sombong. Orang-orang sombong itu laksana iblis ketika diperintahkan Allah Taala untuk sujud kepada Nabi Adam. Ah, biarlah kesombongan itu menjadi api bagi orangnya.

”Apa kalian berani menjilat ludah sendiri?” Emak bertanya retoris. ”Seandainya benar-benar ludah/dahak, tak ’kan ada yang mau menjilatnya walaupun ludah/dahak sendiri. Tapi, apabila ludah itu adalah kata-kata yang sudah kita lafaskan, orang-orang mudah lupa. Hari ini kita melafaskan kata-kata, bisa jadi beberapa jam kemudian atau besok, kita lupa dengan perkataan itu laksana ludah yang sudah kita buang. Itu namanya menjilat ludah sendiri,” lanjut Emak.

Berkata-kata memang mudah. Berkata-kata dengan serius pun mudah apalagi lagi berseloroh. Di antara orang yang suka berkata-kata itu, ada pula yang lebih memilih diam. Berkata-kata semudah kita meludah. Berkata-kata bukan hanya lafas yang kita ucapkan dari mulut, tetapi tulisan-tulisan yang kita terbangkan melalui media sosial pun. Melalui media sosial justru lebih mudah. Namun, kalaulah kata-kata itu tidak sesuai kenyataan, bisa jadi kita telah menjilat ludah sendiri. Jika itu terjadi, kita menjadi ketor penampung kejelekan diri sendiri. Jangan sampai kita menelan ludah melihat kebahagiaan dan ketenangan orang lain.

Berkata-kata tidak dilarang. Berkata kotor itu mesti direm. Fitnah dan ghibah patut dikekang. Tanpa sadar dalam seloroh/canda, kita berkata-kata bebas. Muncullah kata-kata yang tidak sepatutnya diucapkan atau ditulis. Berkata kotor, fitnah, ghibah itu menjadikan kita seperti ketor. Pujangga Agung Melayu, Raja Ali Haji telah mengingatkan kita dalam Gurindam Duabelas, Pasal Keempat: Barangasiapa berkata kotor/Mulutnya itu umpama ketor. Berkata kotor bukan cuma carut-marut dan sumpah seranah. Berkata kotor juga termasuk fitnah, ghibah, mengumpat, dan perkataan sia-sia. Berbohong itu termasuk fitnah. Gurindam Duabelas, Pasal Keempat mengatakan Jika sedikitpun berbuat bohong/Boleh diumpamakan mulutnya pekung. Pekung adalah sejenis kudis yang sudah meruyak terinfeksi dan memberikan bau busuk menyengat. Tokak. Begitulah orang Melayu memisalkan kepada manusia yang pembohong dalam berkata-kata.

”Hati-hati pada lantai licin. Perkataan sia-sia itu adalah lantai yang licin, kita selalu tergelincir karenanya,” Emak mengingatkan.

Mulut dipadankan dengan ketor. Mulut dipadankan pula dengan pekung. Mulut dipadankan dengan air percung atau wewangian. Kalau ditanya mana yang akan kita pilih, kita tentu memilih padanan mulut dan wewangian. Mulut wangi tentu berkata-kata yang baik-baik. Mulut wangi tentu tidak memfitnah. Mulut harum tentu tidak me-ghibah. Mulut wangi tak akan berbohong. Mulut wangi, tangannya tidak akan menulis kata-kata laksana belati.

”Mulutmu harimaumu!”***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 19 Zulhijah 1443 / 19 Juli 2022

Baca : Majelis Udang

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *