HAM dan Pendidikan

Pemuda

DALAM diskursus post-kolonial, sebuah aliran dalam teori sosial kritis, lembaga Pendidikan merupakan institusi yang sangat rentan dengan pelanggaran HAM, termasuk didalamnya adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini, berdasarkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara yang berkuasa dan yang dikuasai.

Dalam catatan Heiner Bielefeldt (2019) misalnya, menunjukkan demikian. Bahwa sekolah umum di beberapa Negara menjadikan kelompok minoritas agama atau keyakinan tertentu sebagai untuk mengikuti pelajaran agama yang berbeda dengan agama dan keyakinan mereka. Ketika mereka menolak, maka sekolah memberikan hukuman atau menjadi bahan ejekan dari guru mereka.

Sebagai sebuah sistem sosial, lembaga pendidikan tidak akan lepas dari persoalan kekuasaan ini. Bahkan dalam relasi sosial sekecil apapun, akan terjadi proses tarik-menarik, antara dikuasai dan menguasai. Ketika kontestasi ini muncul dilingkungan kita, maka akan ada problem kekuasaan; bisa di sekolah, di kantor, di keluarga, dan di mana saja.

Karena memang kekuasaan itu bersifat divergen atau menyebar. Kekuasaan akan dimiliki oleh siapa saja, baik tersembunyi maupun dalam bentuk yang nyata. Praktik-praktik kekuasaan di antaranya adalah pemaksaan, pelarangan, penekanan, penyaringan, dan dominasi yang seragam.

Nah, dalam pandangan Bourdieu, lembaga pendidikan telah melakukan praktik kekuasaan simbolik (Bourdieu & Passeron, 1977). Penciptaan budaya di lingkungan lembaga pendidian, seragam, aturan, kebiasaan, bahkan komunikasi merupakan bagian penting dari cara pendidikan untuk menciptakan habitus-habitus atau budaya kelas secara terus menerus.

Tanpa sadar, peserta didik akan dengan sendirinya dipaksa mengikuti habitus tersebut. Dalam teori ini, habitus dapat disemaikan kepada kelompok satu ke kelompok lainnya. Ketika terjadi proses interaksi terhadap kelompok yang dikuasai, dengan menggunakan instrumen bahasa tertentu, akan tanpa sadar melakukan proses imitatif atau meniru (Bourdieu, 1984).

Untuk itu, bagi Bourdieu bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan juga menjadi instrumen kekuasaan simbolik itu sendiri. Dengan bahasa yang agak berbeda, Karl Marx dan Gramsci menyebut proses itu sebagai proses hegemoni; dan Giddens menamakannya dengan kekuasaan struktur.

Sebagai sebuah Lembaga milik negara, semua sekolah yang dibawah naungan negara, akan menjadi area sensitive dari proses dominasi hagemoni tersebut. Apalagi jika itu terkait dengan hak mendasar dari setiap manusia, yaitu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini, dikarenakan bahwa sebagai institusi Negara, maka ia akan menjadi “medium” atau perwakilan negara dalam mengemban tugas pokok untuk selalu menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect), dan memenuhi (obligation to fulfil) hak asasi warga negaranya.

Secara hukum, jaminan ini, merupakan perintah Masyarakat Internasional dan juga UUD 1945. Masyarakat Internasional, mengamanahkan bahwa setiap Negara di dunia ini, harus memberikan jaminan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Misalnya dalam Komentar Umum yang dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB berkaitan dengan Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik, yaitu Komentar Umum Komite HAM No. 22. Sedangkan UUD 1945 mengamanahkannya pada Pasal 28 E dan 29 (2) serta Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999. Begitu juga pada pasal 28 ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua, menjelaskan hak beragama dan berkepercayaan adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi dalam kondisi apapun.

Berdasarkan hal itu, maka menjadi sebuah kewajiban negara yang mutlak untuk dilakukan, yaitu melindungi dan memenuhi hak atas KBB. Negara tidak mempunyai kewenangan untuk mencampuri urusan agama dan kepercayaan yang dipeluk oleh setiap warga negaranya. Namun sebaliknya, negara harus melakukan perlindungan terhadap setiap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan dan keyakinannya.

Adapun yang harus diberikan jaminan atas hak beragama dan berkeyakinan ini, adalah mereka yang menjadi warga Negara. Ini tidak hanya terbatas pada mereka yang memiliki kewarganegaraan saja, bahkan yang tidak memiliki pun di jamin oleh Negara. Seperti para pencari suaka, pengungsi, buruh migran, dan seterusnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Deklarasi Universal 1981 bahwa “(2) Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk menganut suatu agama atau kepercayaannya menurut pilihannya.” Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: HAM dan Syariah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews