Renungan Milad, Tiara dan Dermaga

Jalaluddin As-Suyuti

TANGGAL lahir bagi manusia merupakan sesuatu yang amat bersejarah karena di antaranya manusia sadar bahwa pada saat itulah ia eksis. Ya, memiliki permulaan yang hadir dalam berbagai penafsiran. Ia putih suci tanpa noda. Ia datang ke alam baharu dalam kondisi tak mempunyai sesuatu, termasuk statuta apa-apa kecuali putih dan kosong. Miskin dan papa. Saat itu beruntung. Ia menang karena dapat mengalahkan calon-calon bayi lain dalam rahim sang ibu. Ia bangga tapi tak boleh jumawa.

Banyak hal lain yang membuat tanggal lahir patut diperhatikan. Ya, banyak ihwal yang dilakukan manusia ketika memperingati yang bersangkut kait dengan kelahirannya. Ada yang merayakannya dengan kue dan tiupan lilin di rumah atau bahkan di hotel berbintang. Ada pula yang mengunjungi panti asuhan, anak yatim dan orang terlantar. Sekadar berbagi suka dan buah tangan. Ada juga yang bakar ayam sambil mabuk-mabukan (tapi ini agaknya hanya sedikit). Ada pula yang melakukan kontemplasi alias perenungan terhadap masa yang sudah dilaluinya.

Kira-kira dua pekan yang lalu, seorang lelaki dijemput umur 46 tahun. Ia tak merayakan ulang tahun karena memang tak pernah diajarkan dan dirayakan oleh ayah bundanya sejak kecil. Dan ia memang tak tertarik untuk merayakan tanggal lahirnya setiap tahun. Ia hanya kenkadang merayakan hari ulang tahun istri dan anak-anaknya untuk membahagiakan mereka.

Kemarin, saat 46 tahun itu, ia tak melakukan apapun karena memang tak pernah dan tak mau merayakannya, juga ia sedang disibukkan berbagai kegiatan yang mesti berkelana dari suatu negeri ke negeri lain di pantai timur Sumatera. Namun ia merasa tahun ini ada sesuatu yang lain dan perlu direnungkan pada tanggal ia lahir itu.

Sehari sebelumnya, saat petang hampir dipeluk senja, ia berangkat dari Bagansiapi-api setelah menunaikan panggilan tugas sebagai juri pada cabang Khat Alquran (Kaligrafi) sempena helat MTQ Provinsi Riau XL. Ia lupa hari itu merupakan hari lahir salah seorang anaknya. Daerah yang ditujunya adalah Bengkalis. Ia akan memperkenalkan dunia sastra pada anak-anak yang baru beranjak remaja. Saat itu ia amat gembira karena dapat bertemu untuk tahun kedua dengan generasi yang memikul semangat besar itu.

Seusai kegiatan barulah ia membuka hp, ia lihat video rekaman anaknya yang merayakan ulang tahun. Hatinya trenyuh. Ia termenung dalam. Saat-saat untuk membahagiakan si buah hati itu terlewatkan begitu saja. Tiada lama kemudian ia buka laman facebook. Ia terkejut, beberapa orang mengucapkan selamat ulang tahun padanya sambil mendoakannya. Ia tersenyum sendiri. Belum terpikir untuk membalas ucapan-ucapan itu.

Ia pun beranjak meninggalkan hotel tempatnya menginap. Ia ingin menikmati selat Bengkalis sejenak. Menjejakkan kaki pada pasir yang dielus ombak. Ia ingin menumpahkan segala yang menghimpitnya saat itu. Ia ingin menengadah ke langit, mencoba membuka dada selebar langit, membuka minda seluas langit. Ia ingin mengetuk langit. Menikmati langit dari bumi tempat berpijak. Ia ingin membuka dan mengangkat sesuatu yang membuat dirinya terhimpit. Ia ingin terbuka dan terbentang seperti langit.

Hari itu akhirnya ia merasa menjadi langit. Ya, merasa. Dia luas, dia biru, dia berawan, dia terbang, dia membentang, dia meninggi, dia mulai meluas seolah tak berbatas. Ia ingin memayungi alam. Ia yang menjadi kanvas bagi matahari saat hendak menyinari semesta. Ia yang menjadi backround bagi rembulan kala bersinar.

Dia segera meninggalkan kota itu. Dermaga roro (roll on roll of) Bengkalis Pakning tampak tak begitu ramai. Baru turun dari becak seorang lelaki 50-an tahun menyambutnya. Lelaki itu ingin membantunya untuk mengikat kantong plastik merah yang ia bawa. Namun cepat ia tarik. Ia tak mau dilayani seperti itu. Lelaki lebih separuh abad itu tersenyum padanya. Dia pun tersenyum. Lalu mereka pun berbincang banyak hal sebelum ia menaiki roro. Mereka seperti sahabat lama yang baru bertemu. Padahal belum saling kenal. Dan itu kali pertama mereka bertemu.

Satu persatu kendaraan memasuki roro, ia minta izin pada lelaki setengah abad itu. Dia naik ke lantai dua. Ia duduk di kursi paling depan yang diapit dua orang penumpang. Dua orang pengamen siap memasang peralatan sound system. Seorang duduk di atas kotak yang dijadikan gendang. Seorang lagi memetik gitar sambil mendendangkan beberapa lagu nostalgia. Lelaki yang duduk di bangku paling depan itu pun nge-request lagu Tiara yang dipopulerkan Kris, penyanyi Malaysia pada tahun 90-an.

…engkau jauh meniti puncak menara gading/ yang menjanjikan hidup sempurna/ tapi aku hanya tunduk ke bumi… oh Tiara, pedihnya/ dapatkah kau merasakan? Oh Tiara, pedihnya/ Dapatkah kau merasakan…

Para penumpang pun bertepuk tangan seusai lelaki muda itu mendendangkan lagu lama dengan aransemen baru itu. Seorang perempuan muda berkulit putih melempai menawarkan diri untuk menyanyi pula. Suasana semakin nyaman. Semua orang tampak senang. Mereka lupa kalau di luar sana mentari bersinar sangat garang, dan gelombang bertepuk tak berhenti.

Lelaki yang hari itu sesungguhnya berulang tahun tersebut benar-benar menikmati yang sedang terjadi. Hilang sudah penat dan lelah setelah beberapa hari dihimpit tugas-tugas berat. Seorang penumpang berbaju batik dasar hitam pun maju ke depan. Suara merdunya mengalun menyanyikan lagu Demaga Biru yang dipopulerkan Thomas Arya. Penumpang kembali bertepuk riang. Lelaki itu menambah satu lagu lagi. Setelah nyanyi selesai para penumpang pun melihat keluar, karena roro sudah hampir merapat ke dermaga. Dua orang pengamen yang merupakan dua mahasiswa itu pun hendak bergegas. Lelaki yang sedang merenungi hari lahirnya itu mengucapkan terima kasih kepada dua pengamen hebat itu. “Terima kasih ya. Kalian telah menghibur saya saat hari yang bermakna ini,” katanya tersenyum sangat bahagia.

Pengamen yang membawa gitar terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu. “Bapak ulang tahun hari ini?” tanyanya dengan mata menyipit.

Lelaki itu kembali tersenyum senang.

“Oh kalau tahu itu, kami akan menyanyi untuk Bapak.. Mmm, tapi baiklah,” Pengamen itu mengambil kembali gitarnya dengan gegas. Temannya pun kembali memasang peralatan musik mereka. Sebentar kemudian, denting gitar kembali terdengar, lapak lepuk suara gendang pun kembali menghentak. Lagu selamat ulang tahun milik Jamrud pun mengalun, mengantar lelaki 46 tahun hendak meninggalkan dermaga.

Hari ini hari yang kau tunggu. Bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu.
Yang kuberi bukan jam dan cincin. Bukan seikat bunga, atau puisi, juga kalung hati…

Satu persatu penumpang meninggalkan kapal. Demikian juga kendaraan roda dua dan roda empat. Lelaki itu berjalan gontai meninggalkan pelabuhan. Ia daki tebing dermaga dengan kepala menunduk. Tak diperhatikannya gelombang. Tak dilihatnya pepohonan bakau yang berdaun lebat di tepi laut. Hati lelaki itu lindap, seperti matahari yang mulai ditelan awan petang. Orang ramai bergegas mengejar waktu. Namun lelaki itu merasa sendiri. Hati lelaki itu kembali terasa sunyi. Dia sepi. Mungkin setelah itu ia menangis. ***

Baca : Segera Kembali

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews