Marhaban ya Ramadhan

Pemuda

DUA atau tiga hari kedepan, kita akan menjalankan Ibadah Puasa selama satu bulan penuh, yaitu selama bulan Ramadhan. Selama satu bulan penuh, umat Islam di seluruh dunia, akan menjalankan kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Sebagian besar umat Islam, menyambut kedatangan bulan mulia ini dengan penuh kegembiraan. Berbagai acara seremonial pun di gelar, untuk mengekspresikan kegembiraan itu.

Dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, ibadah puasa ini, mempunyai sisi yang unik. Jika ibadah-ibadah lain bisa “dipertontonkan”, tetapi ibadah puasa tidak bisa. Sholat misalnya, merupakan ibadah yang memang siapa saja bisa melihatnya. Apalagi membayar zakat atau pergi Haji, satu kampung bisa lihat semua. Namun, puasa tidak bisa.

Maka, saya biasanya menyebut ibadah puasa merupakan ibadah substantif. Sebuah ritual yang membutuhkan kedalaman makna dan laku. Karena memang puasa sesungguhnya hanya ada “Aku” dan “Dia”. Sehingga tiada satupun dari kita yang bisa “berbohong”. Seseorang yang ingin berpuasa dengan sungguh-sungguh, sudah bisa dipastikan ia akan “jujur” dengan sendirinya, bahwa ia selalu diawasi Allah.

Nah, kesadaran ini yang menjadi pembeda puasa dengan ibadah lainnya. Meskipun sesungguhnya hasil ahir dari setiap ibadah itu totalitas kepasrahan atas Tuhannya, yang ditandai dengan adanya kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir dalam hidupnya.

Inilah hakikat taqwa sesungguhnya. Cak Nur mendefinisikan taqwa dengan kesadaran bahwa Allah selalu hadir dalam setiap jejak-langkah hidupnya. Taqwa merupakan wujud dari kesadaran bahwa Allah mengawasi, mengetahui, melindungi, menaungi, setiap kegiatan yang kita lakukan sehari-hari. Jika kesadaran ini melekat pada diri setiap Muslim, maka ia akan terbimbing untuk senantiasa berbuat baik, ber-akhlak al-karimah.

Di sinilah makna bahwa puasa akan menghantarkan kita semua kepada taqwa. Karena, selama satu bulan penuh kita diajarkan bahkan dikondisikan oleh Allah, untuk senantiasa sadar bahwa Allah mengawasi kita. Selama satu bulan penuh, Allah “mengkondisikan” setiap amal berlipat ganda, Allah menyajikan berbagai “menu” pahala, agar kita bisa belajar, bahwa Allah senantiasa hadir mengawasi segala aktifitas kita.

Namun demikian, terkadang kita belum mampu masuk kedalam ruang terdalam dari ibadah puasa itu. Puasa yang kita lakukan masih sekedarnya saja. Puasa kita masih menyisakan kealpaan bahwa Allah selalu hadir bersama kita. Akibatnya, kita masih menyakiti hati lainnya, menggunjing, berkata jelek, memfitnah, mengadu domba, menebarkan permusuhan, dan menzalimi orang lain.

Puasa kita masih menyisakan ketinggian hati bahwa diri kita lah yang paling baik, paling benar dibandingkan orang lain, sehingga merendahkan orang lain yang tidak berpuasa bahkan dibarengi tindakan kekerasan kepada mereka yang tidak berpuasa.

Puasa kita masih meninggalkan jejak sebagaimana yang kita lakukan selama puasa, yakni berusaha “balas dendam” dengan membeli dan menghidangkan makanan sebanyak mungkin ketika tiba saat berbuka.

Semoga dalam satu bulan Ramadhan tahun ini, kita bisa meneladani makna puasa itu sendiri yang pada akhirnya mampu mengibarkan bendera “taqwa” selepas berpuasa. Marhaban ya Ramadhan. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Menuju Green Kampus

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews