Makanan, Berhati-hatilah

Muslim Paripurna

“HAI sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 168-169).

Makan merupakan kebutuhan primer makhluk hidup. Begitu pun manusia. Makanan berfungsi agar menumbuhkan jasmani dan rohani yang sehat dan produktif. Bila tak mendapat asupan yang mengisi perut, ia pun akan tercari-cari. Tapi apakah segala sesuatu dapat dimakan?

Islam memandang hanya sesuatu yang halal lagi baik (halalan thayyiban) yang dapat dikonsumsi. Halal zatnya, halal cara mencarinya atau mendapatkannya, dan halal cara membelanjakannya. Ternyata tidak cukup dengan halal saja namun ditambah dengan baik (thayyiba). Kata halalan dan thayyiban ini selalu berpasangan.

Secara umum, ulama menyebut halal itu adalah barang yang tidak haram, dan mengosumsinya tidak dilarang agama. Keharaman tersebut dapat dibagi dua aspek, yaitu pertama telah haramkan secara zat atau materi oleh syari’at (berdasarkan Alquran dan al-Sunnah). Kedua, menjadi haram dari segi cara mendapatkannya, dan mengolahnya.

Sedangkan kata thayyiba itu sendiri secara harfiah bermakna baik, elok atau indah, suci, bersih.

Raghib al-Isfahani dalam Mu’jam Mufradat li Alfadhil Qur’an, seperti dikutip dari islam.nu.or. id, menyebutkan bahwa thayyib secara umum artinya adalah “sesuatu yang dirasakan enak oleh indra dan jiwa”. Kata ini merupakan derivasi dari kata thâba – yathîbu – thayyiban. Beberapa makna kata ini adalah “suci dan bersih”, “baik dan elok”, “enak”, serta dalam konteks fiqih, thayyib terkadang dimaknai sebagai halal juga.

Maksud kata thayyiban menurut Ibnu Jarir ath-Thabari adalah suci, tidak najis lagi tidak haram. Sementara Ibnu Katsir, bahwa halalan thayyiban itu adalah sesuatu yang baik, tidak membahayakan tubuh dan pikiran. Sedangkan kata thayyib menurut Imam al-Syafi’i adalah sesuatu yang lezat dan layak untuk dikonsumsi.

Makanan ini amat urgen untuk diperhatikan. Nabi Muhammad Saw berpesan bahwa setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka api neraka lebih utama untuknya. (HR. Thabrani)

Abu Bakar ash-Shiddiq, memiliki seorang budak yang setiap hari selalu melayani Abu Bakar (berupa harta atau makanan). Suatu hari, budak tersebut membawa makanan, lalu Abu Bakar pun menyantapnya. Kemudian budak itu berkata,“Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?” Abu Bakar balik bertanya, “Makanan ini (dari mana)?” Budak itu pun menceritakan, “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian (beberapa wakltu lalu) aku bertemu orang tersebut (lagi), dan dia memberikan (hadiah) kepadaku (berupa) makanan yang anda makan ini”. Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangannya ke dalam mulut, lalu ia memuntahkan semua makanan dalam perutnya.” (HR. Bukhari).

Demikian pentingnya urusan makanan yang halal lagi baik tersebut. Selain zatnya yang mesti halal lagi baik, proses mendapatkannya juga seperti itu.. Bahkan ketika mengolah, membelanjakan atau mendistibusikannya juga mesti diperhatikan.

Selain itu, mengosumsi sesuatu mesti memperhatikan tata aturan yang telah digariskan syariat. Jangan makan, minum berlebih-lebihan (QS. Al A’raf: 31), baik porsinya maupun gaya mengosumsinya. Jangan makan dan minum berdiri (HR. Muslim), dan jangan menggunakan tangan kiri (HR Bukhari Muslim). Jangan mubazir (QS. Al Isra: 27). Jangan lupa sebelum makan dan minum membaca ‘basmalah’ (HR Bukhari Muslim), dan membaca ‘hamdalah’ atau tahmid sesudahnya (HR Muslim), serta ketentuan-ketentuan lain yang telah disyariatkan.

Perlu diperhatikan juga bahwa makanan pun mesti hiegenis dan bergizi, di antara misalnya adalah daging ikan itu halal, namun baik atau thayyiba bila sebelum dihidang dan disantap sejatinya dicuci dan dimasak lebih dahulu agar hiegenis dan lain-lain. Selain itu, hargailah makanan tersebut dengan bersikap hormat saat menyantapnya, seperti memakai pakaian bagus, jangan tergesa-gesa, dan selalu mengingat Sang Pemberi rezeki (Al-Razzaq), serta menghargai jasa orang-orang yang terlibat menghasilkan makanan tersebut, seperti petani, nelayan, pengangkut dan pedagang makanan tersebut, kokinya, dan lain sebagainya. Selain itu, sebagian makanan diberikan kepada tetangga dan karib kerabat.

Jangan lupa, jika tak sanggup menyantapnya hingga tuntas, jangan dibuang tak berguna. Sisa makanan berikan secara tulus ikhlas kepada makhluk hidup sekitar, seperti kucing, semut dan lainnya. Kalau tak mampu memberi makanan khusus kepada mereka, sisa makan pun jadilah karena itu merupakan bagian dari kepedulian kepada sesama makhluk.

Prilaku semua itu bukan saja diterapkan secara pribadi tetapi juga diwariskan kepada para zuriat agar kelak menghasilkan generasi yang selalu dalam lindungan-Nya; generasi yang layak dan patut menjadi ‘abdullah dan khalifatullah.

Wallahu a’lam. ***

Baca: CCTV Ilahi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews