Adil

“SATU hari seorang pemimpin bertindak adil terhadap rakyatnya adalah lebih utama daripada orang yang beribadah selama 60 tahun”. (Hadits Abu Hurairah. Lihat : Al Sakhawi : Al Maqashid al Hasanah, hlm. 334). Dalam Riwayat yang lain, Rasulullah bersabda, “Lebih utamanya manusia di sisi Allah derajatnya di hari kiamat itu seorang pemimpin yang adil yang lemah lembut (memiliki kasih sayang). Dan seburuk-buruk hamba di sisi Allah derajatnya di hari kiamat yaitu pemimpin yang zalim yang kasar.” (HR Thabarani). 

Begitulah kira-kira janji Allah kepada mereka yang “selangkah lebih dituakan” atau “selangkah lebih ditinggikan”, yaitu sebagai pemimpin. Orang-orang yang mampu berbuat adil Ketika ia berada di dunia, maka Allah akan meninggikan posisinya kelak di akhirat. Mereka akan ditempatkan oleh Allah pada tempat yang penuh dengan cahaya.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Tuhan begitu mengagungkan pemimpin yang adil. Mengapa Allah sangat menyayangi pemimpin yang ketika memimpin ia adil dalam mengeluarkan kebijakan, ketika dia menjadi seorang hakim maka dia adil dalam memutuskan perkara, ketika dia adalah seorang suami dia adil pada istri dan anak-anaknya? 

Pertama, saya mengibaratkan pemimpin itu adalah sosok yang mampu “merubah takdir” bawahannya. Maknanya, ada peran yang cukup signifikan atas “nasib” bawahannya. Setiap kebijakan yang dikeluarkannya, tentu akan berimbas pada kesengsaraan atau kesejahteraan bagi warga yang dipimpinnya.

Dalam teori kepemimpinan modern, seorang pemimpin, sekecil apa pun “kadar” kepemimpinannya, makai ia harus mampu mempengaruhi dan menguasai bawahannya. Mempengaruhi dan menguasai ini lah yang kemudian melibatkan proses tarik-menarik antara “kepentingan” sendiri dengan kemampuan manajerial yang dimiliki. Kebijakan yang ditimbulkan dari proses itu, tentu akan berdampak pada keberlangsungan institusi dan anggota yang dipimpinnya.

Kedua, dalam Alquran, Adam dan keturunannya diciptakan Allah untuk menjadi ‘abd dan khalifah. Titah Allah untuk menjadi khalifah di sini bermakna menjadi “wakil” Allah untuk mengelola dan mensejahterakan alam semesta. Tuhan tidak mungkin “hadir” langsung untuk membantu tetangga kita yang kelaparan itu, kecuali kita sendiri yang mendatanginya dan memberikan makanan padanya. Allah tidak mungkin langsung “datang” melerai orang yang sedang berkelahi, kecuali kita (manusia) yang mendamaikan keduanya. Allah juga tidak mungkin akan “mengambil” duri di jalan raya, kecuali kita (manusia) yang bisa menyingkirkannya.

Maka dari itu, Allah sangat mencintai perilaku manusia yang mensejahterakan dan membahagiakan sesamanya. Karena sesungguhnya “ditangan” (kekuasaan) kita lah, “peran” Tuhan bisa diwujudkan di mukan bumi ini.

Namun demikian, Tuhan juga meminta kepada sesama manusia untuk saling menasehati, baik soal kebenaran maupun kesabaran (QS. Al-‘Asr:3). “Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya” (HR. Muslim).

Nasehat ini, dalam teori komunikasi bisa bermakna kritik, opini, pesan, dan lainnya. Ia merupakan ekspresi dari bentuk kasih-sayang, karena ia tidak mau saudaranya terjatuh pada kesalahan dalam mengambil kebijakan. Dari Abu Darda berkata: “Bila salah seorang temanmu berubah dan berbuat dosa, maka janganlah meninggalkannya dan membuangnya, tapi nasehatilah dengan nasehat yang terbaik, dan bersabarlah karena saudaramu itu terkadang bengkok dan terkadang lurus.” (Hilyatul Auliya)

Karenanya, pada taraf tertentu, memberikan nasehat ini menjadi bentuk jihad, ketika kepemimpinannya sudah melampaui batas. Misalnya, hadits bahwa “Jihad (perjuangan) paling utama adalah menyampaikan pesan kebenaran kepada pemerintah yang zalim”. (Al Munawi, Syarh Al Jami’ al Shaghir, I/81). Dalam riwayat Thariq bin Syihab: “…. menyampaikan pesan keadilan di hadapan penguasa yang zalim”. (Kasyf al Khafa, I/154).

Namun demikian, etika komunikasinya adalah menggunakan kata-kata yang baik, yaitu kata-kata yang penuh kelembutan dan hikmah. Sebagaimana yang diperintahan kepada Musa dan Harun ketika akan memberi nasehat kepada Fir’aun; “Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44).

Sebagaimana Allah sangat menyanjung pemimpin yang adil, sebaliknya Allah juga sangat membenci pemimpin yang tidak adil. Dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad SAW telah bersabda, “Wahai Abu Hurairah, adil sesaat itu lebih utama dari pada ibadah enam puluh tahun. Yaitu bangun pada malamnya dan puasa pada siang harinya. Wahai Abu Hurairah, menyeleweng sesaat dalam memutuskan perkara itu lebih berat dan lebih besar dosanya di sisi Allah Azza wa Jalla dari pada kemaksiatan enam puluh tahun.” (HR Al Ashbihani). Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorang pun yang diserahi urusan umat ini, lalu tidak berlaku adil kepada umat kecuali Allah pasti menjerumuskannya ke dalam neraka.” (HR Thabarani)

Maka dari itu, bila seseorang mendapati dirinya memperoleh amanah menjadi seorang pemimpin, maka wajib baginya untuk berlaku adil. Ia harus berhati-hati, dan mampu membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompok. Ia tidak boleh mementingkan kepentingan kelompok tertentu secara sepihak, harus ada musyawarah di antara mereka. “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” [QS. Asy-Syuura: 38].

Atau ketika dalam diri kita ada kebencian atas seseorang, Allah melarang kita untuk berbuat tidak adil karena kebencian kita atas mereka. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ma’idah:8). Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Tentang Ahli Ibadah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *