Hukrim  

Sesmenpora Ngaku Pernah Diminta Mundur oleh Imam Nahrawi

Gatot Dewa Broto/NET

LAMANRIAU.COM, JAKARTA  Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto mengaku pernah diminta mundur dari jabatannya oleh mantan Menpora Imam Nahrawi.

Pengakuan ini disampaikan Gatot saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dengan terdakwa Miftahul Ulum, asisten pribadi Imam Nahrawi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Gatot masih mengingat peristiwa yang terjadi pada 2 Oktober 2018 siang. Sesaat setelah Presiden Jokowi mengukuhkan kontingen Indonesia di Istana Negara, Gatot menerima pesan singkat WA dari Ulum yang memintanya untuk mundur.

“Intinya pak Ulum mengabarkan kepada saya, mengirimkan caption-nya WA antara pak Menteri dan pak Ulum yang intinya saya diminta mengundurkan diri,” kata Gatot dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Jaksa Penuntut KPK, Ronald Worotikan kemudian mendalami pernyataan Gatot tersebut. Ronald ingin memastikan, pesan itu diterima Gatot dari Ulum.

“Jadi terdakwa ngirim WA?,” tanya Jaksa Ronald

“Iya WAnya antara dia (Miftahul Ulum) sama pak Menteri, di forward ke saya,” jawab Gatot.

Untuk menegaskan pernyataan Gatot, Jaksa kemudian kembali mengonfirmasi soal permintaan pengunduran dirinya. Hal ini pun dibenarkan oleh Gatot. “Pak Imam meminta saudara mengundurkan diri?,” tanya Jaksa Ronald.

“Iya,” jawab singkat Gatot.

Jaksa kemudian mendalami alasan Imam yang tiba-tiba meminta Gatot untuk mundur sebagai Sesmenpora. Menjadwab hal ini, Gatot mengatakan Imam menilai dirinya telah gagal karena tidak menghadirkan Imam dalam kegiatan pengukuhan kontingen Indonesia.

“Karena pada saat pengukuhan kontingen itu, saya dianggap gagal, tidak bisa menghadirkan pak Imam, yang juga paling tidak itu melaporkan kepada presiden atau juga menerima pataka dari Presiden dan saya dianggap bodoh dianggap tolol,” jelas Gatot.

Diketahui, Jaksa Penuntut KPK mendakwa Miftahul Ulum telah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai total sekitar Rp 20 miliar. Perbuatan ini dilakukan Miftahul bersama-sama dengan Imam Nahrawi.

Jaksa membeberkan, Miftahul dan atasannya itu menerima suap dengan nilai sekitar Rp 11,5 miliar untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Suap tersebut diterima Ulum dan Imam Nahrawi dari Ending Fuad Hamidy selaku Sekretaris Jenderal KONI dan Johnny E Awuy selaku Bendahara Umum KONI.

Terdapat dua proposal kegiatan KONI yang menjadi bancakan Ulum dan Imam Nahrawi untuk menerima suap.

Kedua proposal itu yakni, proposal bantuan dana hibah Kempora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Gemes 2018.

Selain itu, proposal terkait dukungan KONI pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun Kegiatan 2018.

Selain suap pengurusan dana hibah KONI, Ulum bersama-sama Imam Nahrawi juga didakwa menerima gratifikasi terkait jabatan Imam Nahrawi selaku Menpora dengan nilai sekitar Rp 8,6 miliar. Gratifikasi itu diterima Ulum dan Imam Nahrawi dari sejumlah pihak.

Dibeberkan Jaksa, Ulum dan Imam menerima gratifikasi dengan nilai Rp 300 juta dari Ending selaku Sekjen KONI.

Jaksa menyebut gratifikasi tersebut diberikan Ending atas permintaan Sekretaris Kempora (Sesmenpora) saat itu, Alfitra Salam lantaran diminta Ulum untuk kepentingan Imam Nahrawi yang sedang mengikuti Muktamar NU di Jombang tahun 2015.

Ulum dan Miftahul juga disebut menerima uang sekitar Rp 4,9 miliar dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kempora periode tahun 2015 sampai dengan 2016.

Uang itu disebut sebagai uang tambahan operasional Imam Nahrawi selaku Menpora periode. Ulum dan Imam Nahrawi juga menerima uang Rp 2 miliar dari Lina Nurhasanah.

Sebagian dari uang itu untuk membayar jasa konsultan arsitek kantor Budipradono Architecs yang merancang rumah pribadi Imam Nahrawi di kawasan Cipayung, Jakarta Timur.

Kemudian, Ulum dan Imam juga menerima uang senilai Rp 1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak PRIMA Kemenpora RI Tahun Anggaran 2016-2017 yang bersumber dari uang anggaran Satlak PRIMA.

Uang itu diterima Imam Nahrawi melalui mantan pebulutangkis Taufik Hidayat. Terakhir, Ulum dan Imam menerima uang sejumlah Rp 400 juta dari Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode 2017-2018 yang berasal dari pinjaman KONI Pusat.

Atas perbuatannya, Ulum didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Ulum juga didakwa melanggar Pasal 12B ayat (1) Juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. (BSC)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *