Hukrim  

Polisi Tangkap Penjual Obat Kemahalan

penjual obat

LAMANRIAU.COM, JAKARTA – Polisi menangkap penjual obat jenis Oseltamivir di atas harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Penjual obat tersebut berinisial M dan MPP yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, keduanya ditangkap setelah Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya melakukan patroli siber terkait penjualan 11 obat terapi pasien Covid-19.

Baca : Pakai Swab Antigen Palsu, 2 Karyawan Swasta Ditangkap Polisi

Keduanya diketahui menjual obat tersebut seharga Rp8,4 hingga Rp8,5 juta per 10 kotak. Sementara berdasarkan harga acuan yang telah dibuat oleh pemerintah, obat itu hanya dibandrol seharga Rp2,6 juta per 10 kotak.

“Jenis obatnya itu Oseltamivir Phosphate 75 Mg. Mereka menjual harga yang jauh dari HET. Acuan pemerintah itu harganya Rp260 ribu per satu kotak,” kata Yusri, Jumat 9 Juli 2021.

Yusri menyebut, para pelaku menjual obat-obatan tersebut tanpa izin toko obat resmi dari Kementerian Kesehatan. Kendati menjual dalam media sosial, Yusri menjelaskan, kedua tersangka harus memiliki izin pendirian toko obat secara resmi.

Dia sampaikan, Oseltamivir merupakan salah satu jenis obat keras. Karena itu obat tersebut harus dijual sesuai dengan resep dokter. Itu sebabnya, untuk menjual itu, para pengusaha toko obat harus memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK).

“Keduanya sudah kita amankan dan dalami apakah kemungkinan masih ada lagi distributor yang main nakal karena pemerintah sudah menetapkan HET,” ucap Yusri.

Yusri menjelaskan, kasus ini bukanlah pertama kali terjadi. Kemarin, tim penyidik mengungkap R seorang penjual obat di Pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur karena menjual obat jenis Ivermectin di atas HET. R menjual Ivermectin dengan harga Rp475 ribu per kotak. Seharusnya, bila merujuk acuan pemerintah obat itu dijual seharga Rp75 ribu per kotak. Rinciannya, Rp7.500 ribu per tablet.

“Ini yang saya katakan, ini adalah orang-orang yang menari di atas penderitaan orang lain. Kami terus menyelidiki, masih banyak yang akan kita ungkap. Akan kami cari dari hilir sampai ke hulu,” tegas Yusri.

Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 107 Juncto Pasal 29 Undang-undang Nomor 7 Tahun Pedagangan Juncto Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen. Para pelaku juga dijerat dengan Undang-undang ITE.

Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum, Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat menegaskan, pihaknya akan menelusuri dari mana mereka mendapatkan obat tersebut. Sebab, perbuatan para pelaku mengakibatkan kelangkaan di pasaran.

Tubagus mengatakan, pihaknya telah menelusuri semua alur penjualan obat ini. Mulai dari proses pembuatan di pabrik farmasi ke para pedagang besar hingga obat itu didistribusikan ke sejumlah tempat berbeda.

“Kemana saja? Ke RS (rumah sakit), apotek, atau pedagang obat yang berizin. Kami dalami dua tingkat ke atas. Sudah kami dapatkan identitasnya,” tutur Tubagus.

Tubagus menambahkan, setiap penjual obat harus memiliki izin. Izin itu tidak dimiliki oleh para tersangka. Artinya, mereka menjual obat keras tanpa keahliannya. Akibatnya, banyak orang membeli obat tersebut dengan jumlah yang banyak.

“Orang-orang seperti inilah mengakibatkan ketersedian obat pun menjadi sedikit. Karena sudah diborong. Dibeli dan diperdagangkan secara bebas. Ini harus dihentikan,” tandas Tubagus. (rri)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *