Pulau Barat Sumatera

Terapi Kamar Mandi

Hmm. Sumatera lagi. Kenapa?

PULAU ini menyimpan banyak kekayaan. Di sini pernah berdiri berbagai kerajaan dan kesultanan besar di masa lalu. Di mana kisah dan tapak keagungan mereka masih berdegam kokoh hingga kini. Selain memiliki sumber daya manusia yang tak terbilang, mereka juga merupakan penjelajah semesta, pemahat sejarah di berbagai belahan dunia, sejak dulu hingga kini bahkan mungkin sampai esok-esoknya lagi.

Pulau bernama Perca ini juga memiliki sumber daya alam seperti emas, minyak, timah dan hasil tambang berharga lainnya. Pulau yang pernah bernama Swarna Dwipa ini pun masih menyimpan anak-anak pulau yang jelita. Pulau istimewa ini seperti sekerat surga yang dilayangkan ke bumi. Ya, ke pulau Swarna Bhumi ini. Di antara anak-anak pulau yang molek dan memikat tersebut terdapat di Sumatera Barat.

Suatu ketika di awal bulan Juli 2022, pukul 11.11 menit Pulau Pagang bergelora hebat. Langit biru jernih. Matahari bersinar terik. Pohon kelapa yang berjejer di tepi pantai seperti menari-nari kecil. Air yang kadang berwarna hijau dan sebagian berwarna biru sedang bergolak dahsyat. Kapal-kapal motor yang merapat dihempas hewa kian kemari. Bahkan jangkar salah-satu motorboat harus terendam di pasir laut karena talinya putus akibat terjangan ombak. Kuanca kapal motor bersama beberapa rekannya sibuk menyelam, mencari di mana kira-kira jangkar itu tertimbun. Para pelancong seperti sulit menjejak kaki di pasir putih yang menjadi bibir pulau ini karena setiap akan merapat, perahu seperti ditolak lagi oleh ombak yang turun dari pantai berpasir putih.

Di seberang sana, Pulau Pamutusan tampak sepi sendiri, tapi tidak di hadapannya. Ombak tampak bergejolak liar. Menghempas tebing lalu bertepuk di angkasa. Pemandangan hebat di selat kecil itu seperti mengajak pelancong untuk singgah juga. Namun para tamu sibuk dengan eksotika Pulau Pagang. Sebagian mereka menaiki banana boat, sebaian lain membuat istana pasir atau menikmati pukulan ombak yang bergubal dengan pasir putih yang membentang di sepanjang pulau. Dan, sebagian mereka yang lain, sibuk pula dengan kamera handphone untuk mengabadikan lukisan Ilahi tersebut.

Seorang lelaki kira berumur 45 tahun duduk di belakang sebuah meja rendah di depan gazebo. Mata lelaki itu tak berkedip memandang ke depanan, ia seperti sedang memotret semua lukisan di kanvas pemilik Sang Keabadian itu dengan matanya. Ia seperti tak sabar lagi segera melukiskan kata-kata untuk dirangkai menjadi kalimat tentang apa yang dilihat dan dirasakannya saat itu. Namun semua itu seperti tersendat karena saking banyak dan berjejalnya kata-kata yang akan ditulis. Namun ia harus berusaha.

Lelaki itu membuka tasnya, mengambil laptop. Tak lama kemudian jari jemarinya pun meloncat-loncat di atas tuts mesik ketik elektro itu.

Dua anak lelakinya masih berendam di tepi pantai, membiarkan tubuh mereka dielus dan diterjang ombak. Mereka berbicara berdua, tertawa bersama seolah tak menghiraukan sesuatu yang terjadi di sekeliling mereka. Sementara adik mereka sibuk mengeruk-ngeruk pasir putih. Sesekali ibundanya menghadapkan mata kamera hp ke wajah mungil yang sibuk sendiri itu. Setelah mengeruk pasir, ia pun menggenggam dan melemparkan pasir itu ke langit. Sebagian menimpa kepalanya, sebagian lagi kembali bersatu dengan pasir di sekelilingnya. Lelaki mungil hampir empat tahun yang sedang mandi pasir itu sesekali tampak gembira, sesekali tawa senangnya terdengar.

Matahari sudah mulai redup, kapal motor yang membawa pelancong sudah satu-satu meninggalkan pulau molek yang dulu kabarnya pernah menjadi tempat pembuangan narapidana itu. Sebagian mereka pun menuju ke seberang, sekadar melihat dari bibir pantai Pulau Pamutusan. Pulau mungil yang menyuruk di balik pulau-pulau indah lainnya.

Kapal motor yang dinaiki lelaki itu menuju jalan pulang. Namun tak langsung ke Pulau Bungus. Mereka menyusuri dulu pulau Suwarna Dwipa yang sepi seolah ditinggalkan penduduknya. Ya, kabarnya pulau itu sedang direnovasi. Tapi ia tak tahu, entah apa yang sedang direnovasi itu. Hari itu, tidak ada yang dapat menginjakkan kakinya di pulau itu. Mereka terus menyisiri pantai, tak lama berselang, haluan perahu pun menghala ke seberang. Mereka hendak menuju Pulau Sirandah. Pantai di Sirandah petang itu berombak besar. Nakhoda perahu agak sulit merapatkan kapal motor tersebut ke tepi. Namun tak lama kemdian, motorboat mereka pun terdampar di pantai.

Seorang anaknya dan istrinya pun meloncat ke daratan. Pada jembatan yang menjura ke laut, mereka pun berfoto menikmati pulau itu. Sebagian remaja, yang mungkin pengunjung dan pelancong melakukan lompat indah dari jembatan. Mereka begitu bahagia. Tawa mereka beradu dengan suara ombak yang menerjang pantai. Di sini lelaki yang bersama keluarga kecilnya itu tidak singgah lama.

Motor boat pun terus menyusuri pantai, mereka akan menuju pulau destinasi terakhir. Pulau itu bernama Pasumpahan. Setelah motorboat merapat, keluarga keecil itu pun menikmati Pulau itu bersama para pelaancong yang lain. Mereka duduk-duduk di pantai sementara dua anaknya yang sedang beranjak remaja itu sibuk mencari babycrab (anak kepiting) dan umang-umang. Sedang si kecil kembali mengacau pasir. Lelaki mungil itu tak peduli kalau ia sudah mandi di Pulau Pagang tadi. Jari-jari mungilnya seperti tak pernah letih mengaduk-aduk pasir, kemudian menebarkannnya ke uadara.

Matahari sudah mulai merah dan sebentar lagi akan mandi di laut. Mereka sebentar lagi akan pulang. Sebentar lagi semua itu akan tinggal kenangan. Tapi lelaki empat puluh lima tahun itu tak mau melupakan semua itu. Ia akan abadikan semuanya dalam potret kata-kata yang akan dinikmati oleh orang lain juga. Ia akan menceritakan keindahan luar biasa itu dalam tulisan-tulisannya. Ia juga bertanya; apa benar berita itu?

Ah, tapi sudahlah, bukankah saat ini tidak baik untuk banyak bertanya? Bukankah saat itu ia sedang melancong dan menikmati hari-hari yang indah bersama orang-orang yang ia cinta?

Jika Tuan dan Puan belum pernah dan tak pernah sampai di pulau-pulau cantik di kawasan barat Sumatera itu, maka dengan membaca tulisan ini berarti, dan barangkali tuan dan puan sudah sampai di sana. Sudah menikmatinya walau hanya dalam lukisan kata-kata atau dalam imajinasi yang mungkin tak lebih dahsyat dan lebih mooy daripada alam yang sesungguhnya. Tapi entahlah.

Selamat menikmati. Tabik. ***

Baca : Sinema Riau

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *