Khalifah

SEPULANG dari acara 1 Abad NU di Sidoarjo yang lalu, saya disuguhkan oleh kegetiran hati. Bila peserta yang lain mungkin bisa menikmati kegembiraan itu, namun saya sepertinya tidak. Banyak hal yang membuat saya mengalami demikian. Namun demikian, di antara yang menyedihkan adalah “cemoohan” dari beberapa orang terkait dengan penolakan NU atas pendirian Khilafah.

Di antara dasar dari beberapa cemoohan itu adalah keyakinan yang begitu kuat bahwa system khilafah, sebagai sebuah system negara Islam, adalah bagian dari Islam. Adanya negara Islam merupakan bagian dari perintah agama Islam. Karena NU menolak system Khilafah, maka NU telah mengingkari ajaran Islam.

Benarkah demikian?

Memang sangat diakui bahwa di dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang secara tekstual menyebutkan kata khalifah. Kata khalaif, jamak dari kata khalifah terulang empat kali; Al-An’am ayat 165; Yunus ayat 14; Yunus ayat 73 dan Fathir ayat 39. Kemudian kata Khulafa juga jamak dari kata khalifah, terulang sebanyak tiga kali dalam Alquran; al-A’raf ayat 69 dan 74; serta an-Naml ayat 62. Sedangkan kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang sebanyak dua kali, yaitu dalam surat al-Baqarah ayat 30, dan dalam surat Shad ayat 26.

Dari sekian ayat tentang khalifah di atas, sungguh tiada satupun yang menggiring pada makna system negara Islam. Misalnya ayat yang sering dijadikan justifikasi pendirian khilafah adalah ayat “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (QS. Al-Shad:26).

Ayat itu, jika dibaca dengan baik, adalah perintah Allah kepada Nabi Daud untuk memberikan keputusan yang adil dan jangan mengikuti hawa nafsu dalam menyelesaikan masalah di antara manusia yang dipimpinnya. Perintah itu muncul ketika Allah menjadikannya sebagai khalifah, sebagaimana Allah menjadikan Adam sebagai Khalifah (QS. Al-Baqarah:30).

Banyak mufassir yang kemudian memaknai khilafah itu adalah “pengganti” Allah di muka bumi atau orang yang berkuasa dalam memakmurkan bumi. Ibnu Katsir misalnya, menyebutkan bahwa khalifah di sini berarti kaum yang silih berganti, menghuni, berkuasa dan membangun di bumi (Tafsir Ibnu Katsir, 1993:81). Muhammad Ali Al-Shabuni menafsirkan kata khalifah dalam Surah Albaqarah tersebut adalah“…yang telah diciptakan di bumi adalah khalifah yang menggantikan Aku dalam melaksanakan hukum-hukum-Ku di atas bumi yaitu Adam atau suatu kaum yang menggantikan sebagian mereka atas sebagian yang lain, kurun demi kurun dan generasi demi generasi” (Shafwah al-Tafasir, juz.1:36).

Maknanya adalah setiap kita adalah khalifah, dari generasi ke generasi, dari masa ke masa, manusia mempunyai beban sebagai khalifah. Siapa yang mengangkat? Allah langsung. Tugasnya apa? bertangung jawab terhadap pengelolaan alam semesta demi kesejahteraan umat manusia. Karena alam semesta diciptakan Tuhan untuk manusia, maka manusia juga diberi otoritas ketuhanan yakni menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan dan lainnya.

Memang ada yang menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 30 itu merupakan dalil kewajiban mengangkat khalifah. Dia adalah Al-Qurtubi. Ia mengatakan bahwa “Ayat ini merupakan dasar/landasan untuk mengangkat imam atau khalifah.” Namun demikian, jika dibaca secara utuh penggalan tafsir beliau itu, maka tidak akan ditemukan tafsir beliau yang menyebutkan perintah untuk mendirikan khilafah sebagai sebuah system pemerintahan.

“…Ayat ini merupakan dasar/landasan untuk mengangkat imam atau khalifah yang didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat dan melaksanakan hukum-hukum khalifah…..Dan bahwasannya selama umat bisa menunaikan ibadah haji, berjihad, saling bahu membahu di antara mereka, saling mencurahkan kebenaran, membagikan harta rampasan perang, fai dan shadaqah kepada yang berhak, menegakkan hudud terhadap pelaku kejahatan, maka yang demikian itu sudah cukup. Tidak wajib untuk mengangkat seorang imam untuk melaksanakan hal-hal itu. Dalil kami (al-Qurthubi) terkait kewajiban mengangkat pemimpin (khalifah) ialah firman Allah swt (QS. Al-Baqarah: 30), dan (QS. Shad: 26), begitu pula ayat (QS. Al-Nur: 55).”

Nah, jelas sekali, sebagaimana para mufassir dalam memaknai khilafah dalam Alquran, Al-Qurtubi juga memaknai khalifah sebagai “pemimpin” atau “penguasa” dalam makna umum, bukan system pemerintahan. Bahkan Al-Qurtubi juga menegaskan akan kewajiban mengangkat pemimpin itu, telah menjadi kesepakatan para umat dan imam-imam terdahulu.

Jika pun kita akan bersepakat dengan ayat di atas (QS. Al-Baqarah; 30 dan QS. Al-Shad:26) sebagai dalil atas kewajiban mendirikan khilafah, maka pertanyaannya siapakah yang akan mengangkat dan memilihnya? Adam dipilih dan diangkat langsung oleh Allah, begitu juga Daud dalam ayat tersebut. Lalu kita di sini? Mungkinkah Allah akan memilih dan mengangkat saya sebagai khalifah Islamiyah? Saya akan pastikan, Anda semua tidak akan setuju. Iya kan? Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca:  Kita dan NU

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *