Kita dan NU

Pemuda

DULU, saya tidak tahu menahu apa itu Nahdhatul Ulama, maupun organisasi Islam lainnya. Namun, Bapak saya selalu menyebut “bintang Sembilan” dan “bola dunia” warna hijau ini disela-sela istirahat lepas Isya.

Kebiasaan bapak saya pada saat itu, sambil rebahan beliau mendengarkan radio BBC Indonesia, kemudian meminta saya dan adik saya untuk memijat tubuhnya. Bukan memijat sebenarnya, tapi “menginjak-injak” bagian tubuh tertentu Bapak saya, biasanya bagian kaki dan punggung.

Di sela-sela itulah biasanya Bapak bercerita tentang NU dan lainnya. Bapak saya juga meminta kami, anak-anaknya untuk terus menghidupkan atau membiasakan doa-doa dan amaliah-amaliah ala NU. Seperti membaca al-fatehah, tahlilan, dzibaan, mauludan, baca al-Barjanzi, dan seterusnya. Bahkan dalam pengakuan Bapak saya, dan itu kemudian di amini oleh Mak, Al-barjanzi itu di hapal dengan baik oleh Bapak saya.

Dari pembicaraan ini sesungguhnya saya mulai menjadi bagian dari NU. Tradisi dan kebiasaan ibadah sehari-hari pun tanpa sadar, baik di rumah maupun di sekolah, adalah ala NU.

Menjadi NU dalam pandangan Bapak saya ya sesederhana itu. Ia tidak perlu harus memiliki kartu anggota NU atau menjadi pengurus NU. Yang terpenting baginya adalah mengamalkan amaliah-amaliah Ahlussunah wal Jamaah. Dan memang, dalam keseharian, amaliah-amaliah NU itu, mampu menjadi pembeda antara warga NU dan anggota ormas lainnya. Amaliah ini juga yang terus menjadikan NU mampu tumbuh besar dan mampu melewati perubahan zaman dan peradaban.

NU kemudian merasuk keberbagai relung dalam kehidupan saya. Saya lalu menjadi “Warga NU” yang ternyata hari ini telah memasuki usia 1 abad. Meskipun status “kewargaan” saya saat ini, hanya sebatas rasa senang dalam menjalankan amaliah NU.

Tidak hanya itu, lalu saya mencoba membaca sejarah bagaimana NU dalam bentangan sejarah Bangsa Indonesia. Ternyata NU telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan panjang kemerdekaan negara ini. Mulai dari proses pengusiran kolonialisme, pembentukan negara Indonesia, bahkan hari ini, NU berperan penting dalam mempertahankan identitas kebangsaan Indonesia.

Warga negara Indonesia harus mampu menpertahankan “identitas” dirinya sendiri agar berdaulat. Bahkan keber-Islaman kita saat ini, semestinya selaras dengan “identitas” kebangsaan Indonesia itu sendiri.

Dari sini, saya harus mengakui bahwa telah banyak yang diberikan NU pada kita, namun amat sedikit yang saya berikan kepada NU. Padahal, memberi NU sama halnya dengan memberi diri kita sendiri, berbuat untuk NU, berarti telah berbuat untuk Bangsa ini, menghidup-suburkan NU sama dengan menghidupkan diri kita.

Kata kawan saya yang dari Desa Tangkil Sari-Malang, “Kalau NU tiada siapa yang akan mentahlili kita, klo NU tiada siapa yang paling getol menjaga kerekatan bangsa di tengah perbedaan”. Ya… jika kita mau bicara soal perbedaan, kebangsaan, NKRI, NU selalu terdepan dalam hal itu.

Kini 1 Abad sudah NU. Semoga NU tetap berkomitmen untuk bergerak dalam lingkaran kebangsaan, sehingga Lagu Indonesia Raya tetap berkumandang hingga berabad-abad mendatang. Jangan sampai seperti lagu Bang Haji, “kalo sudah tiada nanti baru terasa”, sebagaimana kepergian Bapak ke Alam Sana, sungguh terasa di hati kami sekeluarga. “Trimakasih Bapak telah menuntun kami ke NU”…. Wa llahu a’lam bi Al-Showab. ***

Baca: Adil

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews