Kita dan Hutang Negara

DALAM beberapa perbincangan dan diskusi bersama kawan-kawan, seringkali terjadi perdebatan soal tingginya hutang negara kita, Indonesia. Perbincangan itu, biasanya diakhiri dengan hujatan terhadap lemahnya Presiden atau Pemerintah atas tingginya hutang negara. Sekaligus kritikan akan kuatnya ketergantungan Indonesia dengan negara lain.

Saat ini, sebagaimana klaim Kementrian Keuangan RI, bahwa posisi utang pemerintah mencapai Rp 7.554,25 triliun pada tanggal 30 November 2022, bertambah Rp 57,55 triliun jika dibandingkan posisi utang pada Oktober 2022 yang sebesar Rp 7.496,7 triliun.

Rasio utang negara itu sebenarnya masih berada pada 38,65% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masih jauh dari ketetapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menetapkan bahwa batas rasio utang pemerintah tidak boleh lebih dari 60% terhadap PDB. Karena itulah, Kemenkeu RI, mengklaim posisi utang Indonesia saat ini masih dalam batas wajar.

Bagian dari utang negara itu adalah 88,66% berupa surat berharga negara (SBN) dan 11,34% berupa pinjaman. Jika dijumlahkan nilai SBN kita dalam bentuk domistik sebesar Rp 5.297,81 triliun, yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 4.317,74 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 980,08 triliun. Data ini semua saya ambil dari https://www.cnbcindonesia.com/news/ per tanggal 30 November 2022 yang lalu.

Nah, sebagian dari SBSN itu diperuntukan negara untuk Perguruan Tinggi Islam. Pada tahun 2019, sebesar Rp 1,26 triliun berasal dari dana SBSN untuk membangun Fasilitas PTKIN, yang di dalamnya tentu ada IAIN dan UIN. Menurut laporan Prof Suyitno, pembangunan PTKIN melalui SBSN ini, sejak 2015-2020 telah menelan biaya Rp. 5,893 triliun. Bahkan, mega proyek transformasi IAIN ke UIN, yang sering disebut-sebut sebagai bantuan dari Islamic Development Bank (IDB) itu sesungguhnya hutang negara sebesar Rp 7,3 triliun dan dari Saudi Fund for Development sebesar Rp 2,7 triliun.

Sejujurnya, saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa saat ini kita menjadi bagian dari persoalan utang negara itu sendiri. Apalagi kita berada pada Lembaga negara yang merupakan bagian dari negara atau pemerintah, yang tentu saja tidak lepas dari persoalan utang negara tersebut. Karena itu, sekecil apapun penyalahgunaan dari biaya pinjaman tersebut akan berdampak pada anak cucu kita nantinya.

Lihat misalnya, beberapa Gedung di Kampus kita saat ini “mangkrak”. Itu semua berasal dari SBSN, utang Negara. Bandingkan dengan kampus UIN Lain yang sama-sama menggunakan dana “hutang”, seperti UIN Syahid Jakarta, UIN Bandung, UIN Yogyakarta, UIN Malang, dan lainnya. Di sini, jangan-jangan kita juga ikut berkontribusi dalam mempertinggi hutang negara kita?

Bicara soal anggaran negara ini, ada cerita lucu, ada sebagian pimpinan yang menganggap bahwa anggaran atau dana yang diperuntukkan untuk Lembaga yang dipimpinnya adalah “miliknya” sendiri. Hanya dapat digunakan oleh Lembaga yang dipimpinnya saja. Orang lain tidak boleh menggunakan anggaran. Padahal itu uang negara, untuk kita semua, untuk kesejahteraan bersama, apa lagi uang dari “utang” negara.

Ah… Apa yang akan kita sampaikan ke anak-cucu kita, soal utang kita itu? Wallahu A’lam bi Al-Shawab. ***

Baca: Khalifah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *