Cukuplah Allah Sebagai Penjamin

SAUDARAKU. Ada sebuah kisah dalam hadist riwayat Imam Bukhari, dalam kitab sahihnya no.2291. Bahwa Rasulullah saw pernah menceritakan tentang seorang Iaki-laki dari golongan Bani Israil, yang meminta kepada sebagian Iaki-Iaki Bani Israil yang lain agar diberi pinjaman sebanyak seribu dinar.

Orang yang akan meminjamkan itu berkata, “Datangkanlah saksi untuk aku jadikan saksi!” Orang yang hendak meminjam itu menjawab, “Kafaa billaahi Syahiida (cukuplah Allah yang menjadi saksi).”

Kemudian orang yang akan meminjamkan berkata lagi, “Kalau begitu datangkan orang yang dapat memberikan jaminan!” Lelaki peminjam menjawab, “Kafaa billaahi kahil (cukuplah Allah sebagai Penjamin).”

Orang itu pun berkata, “Engkau benar! Engkau benar!” la ridha, Allah yang menjadi Saksi dan Penjamin. Lalu, dia memberikan pinjaman seribu dinar kepada laki-Iaki itu, hingga waktu yang ditentukan. Dan pergilah laki-laki itu menyeberangi lautan untuk berniaga serta menyelesaikan keperluannya.

Sesudah beberapa waktu, tibalah jatuh tempo untuk mengembalikan uang. Lalu, ia menunggu perahu yang dapat menyampaikannya kembali ke tempat ia meminjam uang. Tetapi ia tidak mendapati perahu yang datang untuk menyeberang. Ia sudah berusaha, tapi tetap tidak ada perahu.

Lalu, pada waktu jatuh tempo itu ia mengambil sebuah kayu. Lalu kayu itu dilubangi, dan dimasukkan uang seribu dinar, beserta sebuah surat untuk saudaranya tadi. Ia tutup rapat lubang kayu, dan dibawanya menuju laut.

Kemudian ia berdoa,”Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku berutang kepada Fulan sebanyak seribu dinar. Lalu ia meminta kepadaku jaminan, dan aku berkata, ‘Cukuplah Engkau sebagai Penjamin ya Allah, dan ia rida dengan itu. Lalu ia pun meminta saksi. dan aku katakan, ‘Cukuplah Engkau sebagai Saksi! dan Engkau tahu ia pun ridha terhadap itu. Engkau saksikan sesungguhnya aku sudah berusaha keras mendapatkan perahu untuk membayar utangku pada waktunya, tapi aku tak mendapatkannya. Maka dari itu, ya Allah, aku titipkan kayu ini kepada-Mu.”

Dengan mengucap basmallah, dilemparlah kayu Itu ke lautan. Setelah itu ia pun kembali ke rumah. Namun ia terus berikhtiar mencari perahu untuk menyeberang, ke negeri tempatnya harus membayar utang.

Di seberang lautan, orang yang meminjam keluar dari rumahnya, menanti orang yang akan membayar pada waktu yang dijanjikan. Tetapi tidak ada yang datang. Dilihatnya di laut ada sebuah kayu yang terombang ambing. Lalu ia mengambilnya, dan dibawanya pulang untuk dijadikan kayu bakar bagi keluarganya. Tatkala ia membelah kayu, ternyata ia melihat ada uang dan surat.

Beberapa waktu kemudian, datanglah orang yang pernah berutang kepadanya dengan membawa uang seribu dinar, dan berkata, “Demi Allah, aku terus berusaha mencari sebuah perahu agar aku bisa membayar utang tepat waktu kepadamu, tapi aku tidak mendapatkannya sebelum perahu yang ini.”

Lalu pemberi utang itu berkata, “Apakah engkau mengirimkan sesuatu untukku?” la kembali menjawab, “Aku telah kabarkan padamu, bahwa aku tidak mendapatkan sebuah perahu pun sebelum perahu yang ini.” (la tidak menceritakan kalau sudah mengirimkan uang menggunakan kayu).

Kemudian, yang memberi utang berkata. “Sesungguhnya Allah sudah menyampaikan pesan yang engkau kirim dengan menggunakan sebuah kayu, maka bawalah uang yang seribu dinar yang ada padamu menuju jalan yang lurus.”

Saudaraku. Kisah itu terjadi di zaman Bani Israil. Setelah Rasulullah SAW datang, atau zaman kita sekarang, dalam hal pinjam-meminjam sudah ada anjuran dan aturan agar tertulis. Sebagaimana disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertransaksi tidak secara tunai hingga waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menulisnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 282)

Jadi, arti penting kisah tersebut bagi kita adalah keyakinan kepada Allah SWT Sebagaimana sabda Nabi Muhammad dalam hadist Qudsi, “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku. (HR.Turmudzi). Bahwa orang yang yakin Allah sebagai Saksi dan Penjamin itu tidak akan pernah dikecewakan. Begitu pun bagi orang yang yakin kepada Allah, juga tidak rumit memahami kisah ini.

Sebab, apa yang rumit bagi Allah? Seluas-luasnya laut, sekencang-kencangnya angin, serta sedahsyat dahsyatnya badai dan gelombang, seluruhnya itu milik Allah dan berada dalam genggaman-Nya. Sama sekali tidak sulit bagi Allah menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan. Keyakinan kepada-Nya amatlah mahal dalam kisah itu.

Sejak awal, orang yang berutang tadi yakin kepada Allah. Hanya takut dan berharap kepada-Nya. Penuh ikhtiar ia mengembalikan pinjamannya sesuai perjanjian. Kalaupun tidak disampaikan, ia yakin Allah pasti mengetahui dan menyaksikannya. Karena itu saat sudah ada perahu, ia tetap datang sendiri melunasi.Tanpa takut rugi membayar dua kali.

Demikian halnya dengan orang yang memberi pinjaman. Kedua orang itu sama-sama yakin Allah Yang Maha Menjamin. Kedua belah pihak tidak ada yang dikecewakan. Justru apa yang terjadi kemudian semakin menambah iman keduanya.

Karena mantapnya keyakinan inilah yang akan menyampaikan. “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, pasti Allah akan mencukupi seluruh keperluannya” (QS. ath-Thalaq [65]: 3)

Yakin kepada Allah adalah orang yang paling top, paling banyak mendapat pertolongan-Nya, dan paling tenang hidupnya. Maka dari itu, ayo perkuat terus keyakinan kita kepada-Nya, dan cukuplah Allah sebagai Penjamin! (*)

[KH Abdullah Gymnastiar]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *