Kajian  

Larangan Menarik Kembali Mahar dari Istri

Larangan Menarik Kembali Mahar dari Istri

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Mahar, juga dikenal sebagai shadaq atau maskawin, merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam ikatan pernikahan. Mahar bukan sekadar simbol materi, tetapi juga mencerminkan kesungguhan dan komitmen seorang lelaki dalam menjalani hidup bersama perempuan yang dipilihnya. Lebih dari sekadar nilai materi, mahar mengandung makna penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan yang menjadi pasangan hidupnya. Dengan memberikan mahar, lelaki menyatakan tekadnya untuk bertanggung jawab dan menghormati perempuan sebagai mitra dalam perjalanan kehidupan bersama.

Maskawin yang telah diberikan kepada istri sepenuhnya menjadi milik istri, dan tidak ada hak suami atasnya lagi. Suami tidak diperbolehkan menggunakan maskawin tersebut sesuai keinginannya, seperti menjual cincin atau gelang yang menjadi bagian dari maskawin, tanpa sepengetahuan atau persetujuan istri.

Kecuali dalam situasi mendesak, seperti kebutuhan ekonomi keluarga, di mana dengan izin dan persetujuan istri, keduanya dapat menjual sebagian maskawin untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Suami diharapkan untuk berkomitmen menggantinya setelah situasi ekonomi keluarga kembali stabil. Prinsip ini diperbolehkan, sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang berfirman:

وَاٰ تُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحۡلَةً‌ ؕ فَاِنۡ طِبۡنَ لَـكُمۡ عَنۡ شَىۡءٍ مِّنۡهُ نَفۡسًا فَكُلُوۡهُ هَنِيۡٓــًٔـا مَّرِیۡٓـــٴًﺎ
Wa aatun nisaaa’a sadu qootihinna nihlah; fa in tibna lakum ‘an shai’im minhu nafsan fakuluuhu hanii’am mariii’aa
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (Alquran surat An Nisa ayat 4).

Haram bagi seorang lelaki itu menipu perempuan yang dinikahinya dengan maskawin. Misalnya seorang lelaki menikahi wanita dengan maskawin emas dan kendaraan, namun ia berniat setelah menikah, maskawin itu akan diambilnya kembali. Atau ia hanya berniat mempermainkan perempuan itu dengan menikahinya lalu bisa menyetubuhinya, setelah itu ia mencerai istrinya dan membawa semua maskawinnya, maka perbuatan lelaki itu zalim dan statusnya khusus untuk si laki-laki itu adalah orang yang zina. Sebagaimana hadits:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :مَنْ أَصْدَقَ امْرَأَةً صَدَاقًاوَاللَّهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُرِيْدُ أَدَاءَهُ اِلَيْهَا فَغَرَّهَابِاللَّهِ وَاسْتَحَلَّ فَرْجَهَابِالْبَاطِلِ لَقِىَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ وَهُوَزَانٍ.

Artinya: Rasulullah ﷺ bersabda : Barangsiapa memberikan maskawin kepada perempuan, dan Allah mengetahui bahwa orang itu tidak menginginkan menyerahkan maskawin kepada perempuan tadi. Maka lelaki itu menimpu perempuannya atas nama Allah dan dia menghalalkan kemaluannya perempuan dengan batil, niscaya ia bertemu Allah di hari kiamat dan ia (lelaki) berstatus zina. (HR. Bukhari).***

Editor: Fahrul Rozi/Penulis: M.Amrin Hakim

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews