Puisi-puisi Muhammad Husein Heikal

Debaran

mestinya kobaran ini kutenggak saja tak lama lagi
toh kelam sudah bersendawa membagi pertanda

tapi dendam tak habis-habis, licik betul ia menjelma
kutegakkan huruf-huruf ini jadi ayat pengabul impi

yang kumulai, entah berapa demi aku hendak akhiri
tapi dendam tak habis-habis, berulang-alik padanya

kutelan mentah-mentah, kukunyah bersusah payah
tapi justru jadi kobaran, menyentak dan berontak

mestinya kuhabisi saja segala jerih selama ini
toh pusaran masih menghitam mengelilingi durja

tapi dendam tak habis-habis, kutilik-tilik jelaga
sesat mana yang menuntunku padanya?

2019

Seperti

kami berdua seperti sepi yang bungkam
menata kata seperti membangun gereja
sebuah peradaban seperti lari pagi

umur yang beranjak seperti hening
tepekur di belokan yang seperti kiri

ukiran hidup seperti lingkaran siklus
kami berduka seperti tawa yang pudar
jahitan ibu seperti belitan masa lalu

nisan yang kami beli seperti beku
menatapi kami seperti penekur sepi

Lau, 2019

Andai

diriku andai dirimu
seberkas cahaya andai jutaan tahun
genggam tanganmu andai benturan batu
jejeran kursi andai menyatukan rindu
sekapan gigil andai jalar harapan

dirimu andai diriku
maria callas andai runtuhan plaza
dibelokan ketujuh andai sepotong merah
berjaga sepanjang masa andai kau tahu
pintu keluar andai gerbang sebuah bank

Mwalk, 2019

Nasihat Hidup

Alfredo lahir disebuah pagi yang kehilangan gusar: tak ada kata berangkat sekolah, macet lampu merah, desakan waktu, makian klakson, atau kemarahaan ibu guru.

Alfredo tertawa melihat sekeliling, ia tahu ibunya Maria Callas yang bermata biru. Putri bangsawan yang beberapa kali ingin bunuh diri tapi selalu hidup kembali. “Hidup memang keparat anakku, tapi tak juga cukup cuma begitu.”

Bisikian itu seperti tamparan seorang rekan kerja yang dipecat. Matanya dua dan dari mulutnya terlihat merah duka. Resi yang bekerja mencatatkan diri beserta tinta yang pudar.

Alfredo tahu dibalik tawa ada penjara yang mampu menyekap diri manusia selama bertahun-tahun. “Percayalah, peradaban cuma pura-pura sibuk. Sesungguhnya mereka tak punya pekerjaan.”

“Ah beruntunglah aku tak mempunyai diri”, Alfredo berucap dalam nyawanya yang melayang kesana-kemari. Menyapa satu-satu, termasuk Maria Callas yang kini adalah seorang ibu baginya.

Mwalk, 2019

Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 1997. Menyelesaikan studi di Universitas Sumatera Utara. Menulis untuk Horison, Kompas, Koran Tempo, Utusan Malaysia, The Jakarta Post, Media Indonesia dan terangkum dalam beberapa antologi. Saat ini tengah menggarap kumpulan cerpen pertamanya Ular yang Berdiang dalam Kepala Sylvia. Puisi-puisi disadur dari biem.co.***

Baca : Puisi Alejandra Pizarnik, Penyair dari Argentina

*** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected] [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *