Blokir Ponsel Ilegal, Aturan Validasi IMEI Ditandatangani 17 Agustus

LAMANRIAU.COM, JAKARTA – Pemerintah tengah menggodok regulasi mengenai validasi IMEI (International Mobile Equipment Identification) untuk memonitor keberadaan ponsel ilegal. Nantinya apabila IMEI dari sebuah perangkat tidak teregistrasi karena merupakan ponsel ilegal atau black market, layanan telekomunikasi seluler dari perangkat tersebut akan diblokir.

IMEI sendiri merupakan kode unik dari setiap perangkat ponsel yang berlaku secara internasional. Kode IMEI yang diterbitkan oleh GSMA terdiri dari 14 hingga 16 digit. Nomor IMEI ini juga bukan sekadar identifikasi perangkat untuk keperluan dagang, tapi juga untuk keamanan ponsel yang dipakai.

Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail menerangkan, regulasi mengenai validasi IMEI tersebut nantinya akan tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) yang akan dikeluarkan oleh tiga kementerian yaitu Kementerian Perindustrian (Kemperin), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), dan Kementerian Perdagangan (Kemdag). Permen tersebut rencananya akan ditandatangani pada 17 Agustus 2019.

“Agustus nanti akan ditandatangani tiga Peraturan Menteri. Bukan SK bersama, tetapi masing-masing menteri mengeluarkan Permen sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya. Tetapi di tingkat tim, kami juga melakukan harmonisasi agar masing-masing peraturan ini tidak tumpang tindih,” kata Ismail saat ditemui di kantornya di gedung Sapta Pesona, Jakarta, Jumat (12/7/2019).

17 Agustus 2019 tersebut menurutnya baru merupakan timeframepenandatanganan Permen. Mengenai kapan berlakunya aturan tersebut masih dalam pembahasan intensif.

“Pemberlakuan isi dari Permen tersebut belum diputuskan. Bisa saja sejak Permen tersebut ditandatangani, atau beberapa waktu kemudian, misalnya mulai 1 Januari 2020. Ada tujuh hal yang masih harus diselesaikan sebelum menetapkan kapan aturan ini diberlakukan,” terang Ismail.

Hal pertama yang harus diselesaikan adalah terkait kesiapan sistem yang dilakukan oleh tim di Kementerian Perindustrian. Sistem tersebut untuk sementara waktu dinamakan Sibina atau Sistem Informasi Basis Data IMEI Nasional. Kemudian sistem ini juga harus dilengkapi database IMEI yang solid.

“Sistem ini juga sudah harus dites. Tidak mungkin kita membuat peraturan tanpa didahului ujicoba. Lalu sistem ini juga sudah disinkronisasi dengan data-data di operator seluler. Hal penting lainnya adalah sosialisasi, kesiapan SDM, serta adanya SOP dari tiga kementerian tersebut dan juga operator seluler. Biasanya ini dilakukan di level yang lebih bawah dan berlaku internal, misalanya berbentuk Peraturan Dirjen,” terang Ismail.

Rugi Rp 2,8 Triliun 

Sebelumnya, Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) mengungkapkan, sebanyak 20% dari total penjualan ponsel yang beredar di Indonesia adalah ilegal. Ketua APSI Hasan Aula menyebutkan, 45 – 50 juta ponsel terjual setiap tahunnya di Indonesia. Jika 20% di antaranya adalah ilegal, maka jumlahnya sekitar 9 juta unit per tahun. Bila rata-rata harga ponsel itu sekitar Rp 2,5 juta, maka nilai total mencapai Rp 22,5 Triliun.

Akibat dari maraknya ponsel ilegal tersebut, negara menjadi kehilangan potensi pemasukan. Karena Kementerian Keuangan (Kemkeu) tidak bisa memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% + PPH 2.5% dari ponsel ilegal tersebut. “Total potensi pajak yang hilang sekitar Rp 2,8 triliun per tahun,” ujar Hasan Aula.

Sementara itu menurut Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin, Janu Suryanto, sistem kontrol IMEI sangat penting untuk melindungi industri dan konsumen di dalam negeri. Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi, registrasi, dan pemblokiran perangkat telekomunikasi seluler yang tidak memenuhi ketentuan.

Teknologi yang akan dipakai untuk memonitor IMEI tersebut adalah Device Identification, Registration, and Blocking System (DIRBS) yang dikembangkan oleh Qualcomm.

Cara kerja dari sistem kontrol DIRBS ini adalah akan memproses database IMEI yang didapatkan dari berbagai pemangku kepentingan. Di antaranya adalah database GSMA selaku penerbit IMEI, sertifikasi Postel dari Kemkominfo, data TKDN dari Kemenperin, data impor dari Kemendag, data IMEI yang tersimpan operator, data dari individual misalnya jika membeli dari luar negeri, hingga laporan perangkat yang hilang atau dicuri. Selanjutnya, data tersebut dapat diolah untuk menghasilkan informasi atas daftar IMEI yang valid berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. (bsc)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *