Hubungan Harta dengan Kemuliaan dan Kehinaan Diri

Ilustrasi/NET

LAMANRIAU.COM – Banyak yang merasa bangga dan jumawa karena berpangkat dan berharta dengan meyakini dirinya adalah manusia paling disayang Tuhan.

Pun ada yang merasa hina serta terhina bahkan tak disayang Allah karena keterpurukan dirinya dalam hal harta, yakni miskin.

Benarkah sayang dan benci Allah serta mulia dan hina bisa diukur dengan kepemilikan harta?

Sepanjang perjalanan panjang melelahkan, hal ini mendominasi pikiran saya, merenungkan beberapa ayat dan hadits yang berkaitan dengan harta yang dimiliki manusia.

Lalu hati saya berkata menyimpulkan semua perenungan itu: “Dimanjanya dirimu dengan tumpukan harta belum pasti berarti dirimu disayang Allah. Terbatasnya kepemilikan dirimu akan harta pun tak mesti bermakna dirimu dibenci Allah. Sayang dan cinta Allah kepadamu ditentukan oleh kesesuaian kepemilikan hartamu dan penggunaannya dengan syari’at Allah.”

Kalaulah orang yang disayang dan dimuliakan Allah harus diukur dengan kepemilikan harta, maka tak mungkin ada satupun nabi yang hidup dalam kemiskinan.

Kalaulah orang yang hina dan dihinakan itu adalah mereka yang miskin, maka tak akan ada orang kaya yang dihina dan dicaci maki banyak orang.

Mari kita jujur pada fakta. Begitu banyak orang miskin yang kemuliaannya dicatat dalam sejarah dan dijamin oleh Rasulullah sebagai manusia surga.

Pun begitu banyak orang kaya yang dihinakan dalam al-Qur’an serta dicemooh di tengah-tengah masyarakat.

Miskin harta bukanlah aib. Miskin agama itulah kehinaan yang sesungguhnya.

Tak usah takabbur dengan tumpukan harta yang dimiliki, juga tak usah berkecil hati karena kini masih dalam kondisi ekonomi terjepit.

Jalani hidup dengan senyum dan penuh syukur. Teruslah berharap untuk mendapatkan anugerah ridha Allah SWT.

[KH Ahmad Imam Mawardi, Pengasuh Pondok Pesantren Alif Laam Miim]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *