Belajar dari Pemuda Lugu dari Afrika

LELAKI kulit hitam keturunan Afrika itu akhirnya tiba juga di Amerika. Dialah satu-satunya orang yang berkesempatan datang ke Amerika dari desa di mana dia tinggal.

Dia berangkat ke Amerika dalam rangka pertukaran pemuda yang dipusatkan di Washington DC. Persiapan bahasa dan materi diskusi seputar pemuda telah dikuasainya. Dia sangat siap berdiskusi tentang potensi besar tak tergarap di negaranya.

Salah satu poin penting yang menjadi kegelisahan batinnya adalah tentang kelompok muda yang tidak pernah diberikan kesempatan tampil dalam peran publik karena arogansi dan ketamakan kaum tua yang tak mau lengser dan tak mau diganti para muda.

Ternyata, persiapannya betul-betul memberi hikmah. Keluguannya menyampaikan fakta apa adanya, termasuk eksploitasi oleh asing di negaranya dan pengibirian potensi lokal mendapat aplaus panjang dari para pakar akademis yang masih setia dengan obyektivitasnya.

Saran pemuda kulit hitam itu cukup mengagetkan: “Berhentikan semua orang tua pembuat kebijakan yang memiliki ikatan kuat dengan masa lalu, gantilah dengan para pemuda yang punya impian masa depan.”

Kesimpulan yang tepat menurut saya. Orang yang masih kuat “ikatan batinnya” dengan masa lalunya, pasti akan selalu membela masa lalunya. Masa depan, terutama masa depan orang lain, tak diperhatikannya.

Jelas sekali pola pandang pemuda berkulit hitam itu bahwa pangkal semua masalah adalah para pejabat tua yang fokusnya hanya pada masa lalu. Sibuk membangkitkan yang lama. Heboh dengan memperbaiki citra jelek masa lampau dan gemuruh nafsu untuk balas dendam. Akal sehatnya hilang, yang muncul adalah nafsu sampai rela menggadaikan kehormatan negara dan bangsa.

Saya kagum dengan pandangan pemuda ini. Saya membaca berita tentangnya sambil tepuk tangan berdiri, “standing applause.”

Salut akan keberaniannya. Lalu saya tersenyum membaca bagian akhir berita itu: “Di Amerika ini ada yang unik. Mereka mentertawakan saya karena saya hitam, berbeda dengan mereka yang semuanya berkulit putih. Sementara saya mentertawakan mereka karena mereka seragam semua, berkulit putih, hanya saya sendiri yang hitam.” Salam.

[KH Ahmad Imam Mawardi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *