Menguji Kedermawanan Saat Sulit Karena Corona

SUDAH mulai banyak yang menjerit kelaparan karena mata pencaharian tertutup akibat wabah corona ini. Ekonomi berhenti berjalan, sementara yang dimilikinya sudah mulai habis terjual demi kebutuhan vital.

Menawarkan diri untuk bekerja apapun tak ada yang membutuhkan. Kemana-mana tak boleh, tak kemana-mana malah pusing kepala berpikir bisa hidup dengan apa.

Sungguh mulia bahagia orang yang memiliki kekuatan jiwa berderma berbagi bahagia dengan orang lain di masa sulit seperti ini. Mereka para dermawan itu naik pangkat menjadi karyawan Allah yang pasti digaji besar oleh Allah. Namun, masih banyakkah orang yang berserma di masa kini?

Seorang dermawan penasaran ingin tahu jawaban atas pertanyaan itu. Suatu hari dia menyamar menjadi pengemis, berbaju compang-camping dan berlaku persis seperti pengemis. Keliling ke banyak tempat yang diduganya akan memberikan sumbangan. Ternyata tak ada yang memberinya apa-apa. Adanya adalah awaban yang hampir semakna: “Sama-sama butuh, pak.” Dermawan ini semakin yakin bahwa orang yang dermawan seperti dirinya adalah tidak banyak.

Lalu pergilah dia ke pasar tradisional tempat orang-orang biasa berbelanja. Dia mengemis di sana. Lumayan, ada yang memberi sebuah jeruk untuk buka puasa katanya. Ada yang memberi satu buah onde-onde dan segelas es teh. Sang dermawan mulai mengubah kesimpulan, ternyata masih ada orang dermawn, namun bukan dari kalangan kaya raya seperti dirinya, melainkan dari kalangan mayarakan akar rumput.

Sang dermawan terus bejalan melakukan penelitian tingkat kedermawanan masyarakat sekitarnya. Di ujung gang, dia bertemu dengan seorang yang berpakaian mewah sedang naik kuda. Sang dermawan ingin menjadikannya sebagai sampel terakhirnya. Dicegatlah kudanya pas di tengah-tengah jalan. Tanpa diminta, sang penunggang kuda itu memberikan sejumlah uangkepada sang dermawan yang menyamar sebagai pengemia itu. Dia kaget sekali dengan sikap dermawan si penunggang kuda itu. “Ternyata masih ada yang dermawan,” gumam hatinya.

Sang pengemis berkata: “Maaf tuan. Saya sebenarnya bukan pengemis. Saya orang kaya yang menyamar sebagai pengemis demi untuk tahu masih adakah orang kaya yang dermawan di wilayah ini, di musim yang menggelisahkan banyak orang ini. Ternyata masih ada. Andalah orangnya.” Si penunggang kuda menjawab: “Ada salah menilai saudaraku. Saya adalah orang miskin yang menyamar sebagai orang kaya. Saya lakukan ini demi untuk tahu merasakan betapa enaknya menjadi orang kaya yang dermawan.”

Bagaimana respon sang dermawan yang menyamar pengemis itu mendengar jawaban ini? Ah, itu tidak penting. Yang paling penting adalah mari kita berbagi bahagia dengan menjadi karyawan Allah. Salam.

[KH Ahmad Imam Mawardi, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *