Ahli Epidemiologi: Kepala Daerah Bermain Risiko dan Tergesa Ambil Tindakan New Normal

Ahli Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas (FKM Unand), Defriman Djafri Ph.D

LAMANRIAU.COM, PADANG – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) jilid 2 di Sumatera Barat (Sumbar) akan berakhir pada 29 Mei 2020. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar akan segera merampungkan keputusan, apakah akan tetap menerapkan PSBB atau menyiapkan konsep kondisi normal yang baru atau new normal di tengah pandemi Covid-19 ini.

Dari 19 kabupaten dan kota di Sumbar, tiga daerah di antaranya menyatakan secara tegas siap melaksanakan kebijakan new normal setelah penerapan PSBB. Tiga daerah tersebut adalah Kota Bukittinggi, Padang Panjang dan Kabupaten Pesisir Selatan.

Menanggapi hal itu, Ahli Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas (FKM Unand), Defriman Djafri Ph.D mengingatkan agar para wali kota atau bupati jangan buru-buru dalam mengambil tindakan. Sebab, dalam penanganan virus corona atau Covid-19, yang perlu diperhatikan adalah bahwa Covid-19 adalah artinya penularan orang ke orang.

“Bapak bupati jangan buru-buru ambil tindakan. Satu yang perlu saya sampaikan ke bupati dan wali kota. Perlu diperhatikan bahwa Covid-19 adalah artinya penularan orang ke orang. Tentu ini bukan menjadi ketakutan kita, tapi alert bagi kita. Bukan one episode, ke depan kita akan normal, bukan begitu,” kata dia saat diskusi online dengan IJTI Sumbar melalui aplikasi zoom, Rabu (27/5) malam.

Ia mengatakan, sebelum vaksin Covid-19 ditemukan, tentu kita akan memainkan determinan yang ada. Pertama, bicara mobilitas atau pergerakan orang. Defriman mengimbau agar jangan menganggap abai tentang pergerakan orang, baik orang dari luar ke dalam daerah itu, begitu juga sebaliknya.

“Jangan dianggap abai, pergerakan di dalam. Tapi orang luar ke dalam dan sebaliknya. Kedua bahwa bagaimana kesiapan upaya perubahan perilaku individu masyarakat di setiap kabupaaten. Apakah sudah disiplin atau belum? Tidak mudah menjawab itu, perlu kajian. Tentu bapak walikota dan bupati punya data. Berapa persen yang gunakan masker, menjaga jarak dan cuci tangan,” lanjut dia.

Kemudian, kata dia, hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana kapasitas atau ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis, kesiapan rumah sakit jika terjadi lonjakan, dan tempat karantina.

“Jangan nanti ketika terjadi imported cases akan kelabakan. Akhirnya diopor ke provinsi, atau ke Padang. Tidak hanya infrastruktur, tapi SDM, termasuuk pelaporan, ini menjadi acuan new normal. Ketiga adalah early detection dan kontak tracing. Apalagi kita sudah punya labor nomor dua nasional. Kita apresiasi bahwa ini menjadi potensi yang kita punya untuk deteksi cepat,” bebernya.

Di dalam kebijakan yang akan diambil, butuh pertimbangan bagaimana solidaritas antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini juga disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), solidaritas merupakan kunci awal sebelum menuju kehidupan new normal.

“Saya takutnya ketika nanti kepala daerah beranggapan yasudah lah, dima tibo sajo. Itu sama saja kepala daerah ingin bermain risiko. Ini yang harus dipertimbangkan oleh walikota dan bupati. Jangan cepat-cepat katakan zona hijau zona seperti Sijunjung. Sebelumnya sudah saya katakan, tidak akan ada yang namanya zona hijau ini kalau orang terus bergerak,” tegasnya.

Defriman mengatakan, kurva kasus positif Covid-19 di masa lebaran belum bisa dikatakan menurun ataupun meningkat. Perlu waktu setidaknya tiga minggu ke depan untuk melihat kurva kasus Covid-19 di Sumbar ini.

“Tiga minggu ke depan, jika reproduksi efektif atau Rt benar-benar di bawah 1, itu baru bisa dikatakan efektif. Itu adalah salah satu requirement epidemiologi sudah terpenuhi. Kita minta ke gubernur itu tiga minggu, itulah masa obrik dalam lebaran,” jelasnya.

Lalu, bagaimana agar pemerintah bisa menjawab tantangan hidup new normal? Menurutnya, pondasi dasar adalah individu dan perubahan perilaku. Pemerintah Daerah pun diminta untuk bisa menerapkan perubahan perilaku itu kepada masyarakatnya.

“Yang saya katakan determinan tadi, pondasi dasar adalah individu dan perubahan perilaku itu. Apakah nanti Pemda atau masing-masing kabupaten kota bisa membuat itu? Tapi memang kemauan masyarakat itu kebanyakan yang tidak mau. Kalau intervensi (hukuman) itu bisa dilakukan, tidak ada masalah. Tentu risiko ini yang harus kita hitung betul. Apalagi seperti Bukittinggi, merupakan pusat perdagangan. Padang Panjang pusat perlintasan, orang akan berlalu-lalang di situ,” kata dia.

Lebih lanjut kata dia, kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat di masing-masing kabupaten/kota merupakan kunci utama dalam penerapan kehidupan new normal. Seperti item-item apa saja yang telah disiagakan pemerintah dan masyarakat.

“Tentu solidaritas pemerintah dan masyarakat menjadi kunci pondasi besar. Ketiga adalah saya mengingatkan, saya sering menyampaikan agar bedakan risiko dan dampak. Jangan kita bermain risiko dan berbicara dampak ke depan,” ingatnya lagi.

Ketika Pemda ingin terlepas dari kebijakan PSBB, ancaman terbesar adalah kasus impor atau imported case. Sebab, mobilitas orang menjadi kunci dan pertimbangan besar dalam pengendaliannya.

“Penyebaran virus ini yaitu orang ke orang. Jangan kita bermain risiko ketika kita berbicara dampaknya. Masyarakat harus dididik dalam estimasi tiga minggu lagi. Kalau angka reproduksi efektifnya sudah menurun, baru bisa dipertimbangkan. Kita hanya memberikan pertimbangan itu, dan keputusan ada di kepala daerah. Kalau itu sudah siap, determinan bisa kita mainkan,” pungkasnya. (MAC)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *