Teorema Jauh Panggang

Ngah Usu

“Ku sangka aur di pinggir tebing, Kiranya tebu di pinggir bibir, Ku sangka jujur pancaran batin, Rupanya palsu penghias zahir. Ku kira hati jiwa nurani, Suci seindah wajah terbayang, Ku kira puji seikhlas budi, Ku lupa lidah tidak bertulang.”

LAMANRIAU.COM – Begitulah potongan kata akhir dari lagu yang di dendangkan almarhum biduan veteran dari bumi seberang, Tan Sri S.M. Salim, dalam tajuk, “Tak Seindah Wajah”. Tentu, tak sama dengan luahan perasaan pelantun almarhum biduan veteran melankolis, Broery Marantika dalam tajuk, ”Tinggi Gunung Seribu Janji”, sesuai nukilan lirik, “memang lidah tidak bertulang”.

Ibarat gading yang tak retak, kalau retak bukanlah gading. Begitupun, memang lidah tak betulang, kalau bertulang tak pandai berkata-kata. Tak akan pandai berjanji. Tak akan cekatan bersilat lidah. Yang pasti, tak akan lihai berbohong. Apalagi khianat. Tak tahu lah kalau hati!!?

Tan Sri S.M Salim, dan Broery membawa inspirasi ihwal “lidah tak bertulang”. Jengah Jenguk Cendekia, tak sungguh memulai dengan kata lidah dan tulang, melainkan dari tajuknya, “Teorema Jauh Panggang”. Sebuah pribahasa yang terpenggal, klise tampaknya jika memulainya dengan istilah ,”Jauh Panggang”.

Jauh tentu saja boleh ditafsir sebagai cara memandang. Tak salah juga dimaknai kilauan, silauan, fatamorgana, dan atau apalah namanya. Sementara, panggang tentu saja tak salah jika dimaknai sebagai sesutau yang sedang berharap. Yang dipersonifikasi sebagai alat dalam menggapai harapan. Kepalsuan, ingkar janji, atau bahkan kebohongan tentu saja bukan harapan yang dikehendaki, melainkan dapat dimaknai sebagai hasil. Sederhananya, hasil yang tidak sesuai harapan. Atau hasil yang jauh dari perkiraan. Tak sesuai ekspektasi, begitu generasi milenial menyebutnya.

Oleh karenanya, Jauh Panggang dari Api, tentu saja menjauhkan harapan untuk dicapai. Maka memaknai lidah tak bertulang adalah bukan sebuah perumpaan, melainkan kenyataan yang tidak sesuai. Kata harapan mengilhami untuk tak keluh memberi pandang-pendapat. Dari sinilah bermula, mengapa istilah Cendekia selalu mengemuka.Yang terkini Menjengah Jenguk, “Teorema Jauh Panggang”.

Istilah Teorema populer digunakan dalam lingkup ilmu eksakta, pasnya dalam hukum-hukum pelajaran matematika. Yang kegunaannya membantu cara berpikir logis (atas dasar hukum matematika). Istilah atau kosenp ini juga menjadi popular dalam ilmu sosial.

Teorema secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah pernyataan yang sering digunakan dalam bahasa formal dapat dibuktikan atas dasar realitas keseharian. Ataupun sebuah realitas sosial yang keberadaanya tidak dapat dibantah (menjadi sebuah kebenaran logis), atau yang aksiomatis (realitas yang tak dapat dibantah-gugat).

Dalam logika kita (jika ingin dimaknai sebagai masyarakat), sebuah Teorema adalah pernyataan dalam bahasa formal yang dapat diturunkan dengan mengaplikasikan aksioma dari sebuah sistem deduktif (cara berpikir yang umum menjadi khusus).

Memaknai “Teorema Jauh Panggang” jika ingin diterokai secara mendalam, tentu saja dapat dilakukan. Kata jauh menjadi sesuai realitas yang amat sangat susah untuk dijangkau. Maka, pertanyaannya: mengapa yang jauh, tidak didekatkan saja. Sederhananya, realitas saat ini menyuguhkan sesuatu perbedaan yang amat sangat jauh.

Utamanya Teorema, “jauh negeri dari penghuni. Jauh aur dari tebing. Jauh tebu dari bibir. Jauh batin dari jahir. Jauh hati dari nurani. Jauh pemimpin dari rakyat!!?”

Betul Tan Sri Salim. Aku kira puji seikhlas budi. Aku lupa lidah tidak bertulang.

Wallahualam. ***

Baca : Undur-Undur

 

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *