Ngah RW Versus Umi Duda

Ngah Usu

LAMANRIAU.COM – Long LeeMen baru saja menulis sebuah artikel. Tema dan tajuk terbaru tentang pemilihan kepala desa serentak (Pildes-retak). Aku tak ingin sama dengan Long. Walaupun kami berteman, apa lantas semuanya, termasuk menulis pun harus dengan tema yang sama. Tentu saja tidak.

Baca : Dendam Lung Ameer LeeMen

Jengah Jenguk Cendekia berupaya mengintip-intip secara sembunyi-sembunyi sambil melakukan spionase, begitulah niat-hendaknya. Jujur sebelumnya tak banyak yang tahu. Namanya juga mengintip-intip dengan sembunyi, namun apa boleh buat. Dunia sudah terbuka, sesuatu yang busuk, disimpan-simpan pun terbongkar juga. “Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga”.

Bermula memang ingin menutupi bau busuk. Mohon jangan diartikan bau atau busuknya seperti bangkai. Bau ini hanyalah perumpamaan persaingan antar dua pendukung menjelang pemanasan pemilihan kepala daerah serentak (Pilkada-retak). Persaingan dalam upaya pencitraan melalui lembaga survei sekaligus konsultan politik. Pertarungan antar dua tokoh dengan peran yang sama, namun mendukung pihak yang berbeda.

Perkembangan zaman, tidak selalu berbanding lurus (berhubungan langsung) dengan pertarungan sehat, apalagi objektif dan jujur. Semakin modern menyimak banyak pendapat pakar teknologi bidang kecerdasan (intelijen), justru karakternya semakin berlawanan. Perang era modern tidak langsung berhadap-hadapan yang bertelaga. Yang berperang bersembunyi di belakang. Peperangan menggunakan tangan orang lain. Agar tidak diklaim atau kalau boleh jujur digelar penakut (pengecut), maka dibuatlah istilah perang proxy. Tampak istilahnya kelihatan semakin kren, modern dan intelektual. Padahal esensinya, culas dan penakut.

Pertarungan Ngah RW versus (melawan) Umi Duda baru saja dimulai. Dari namanya, aku tahu Ngah RW adalah panggilan anak kedua dari tiga bersaudara. Terus terang sampai sekarang aku tak tahu nama panjangnya. Yang pasti, Ngah RW adalah tokoh masyarakat yang sedang menjabat sebagai ketua rukun warga (RW). Itu pun sudah cukup. Aku kan hanya penggembira.

Sementara Umi Duda (UD), mengingatkan akan seseorang yang terbiasa berlawanan dari nama plus karakternya. Umi Duda, begitu namanya dipanggil, aku teringat dengan sebutan bapak (Abu-Abi) Janda. Kalau ada bapak janda, kenapa tidak ada ibu duda, gumam ku dalam hati. Aneh dan lucu. Namun, begitulah panggilan itu diberi yang konon khabarnya semua bermula, bukan dari anehnya, melainkan berapanya.

Menjelang pemilihan kepala darah langsung serentak (kadal-retak), bulan Desember mendatang kalau tak salah. Sebagai pemanasan, pertarungan diwakili melalui uji coba lembaga survei. Uji coba ini banyak yang menganggap memiliki hubungan signifikan dengan kemenangan. Pemanasan ini dimaknai juga dengan perlawanan antara tim Ngah RW dengan Umi Duda.

Sebenarnya, sebagai pejabat masyarakat, Ngah RW tidak boleh ikut dalam pertarungan langsung. Begitu pula Umi Duda, tokoh masyarakat sebagai pemilik lembaga survei sekaligus konsultan politik. Semua oraang tahu namanya juga perang proxy (perang pinjam tangan). Tentu saja semua di bawah bayang-bayang kendali tangan orang lain. Ngah RW menyewa lembaga survey yang sekaligus konsultan. Sebenarnya Ngah tak nyaman jika dikatakan menyewa. Ngah RW banyak teman dan jaringan. Tak susah sebenarnya, bukan menyewa melainkan berkolaborasi. Tapi Ngah malu takut kalah.

Bukan saja Ngah, Umi Duda juga amat sangat paham jika Pilkadal-retak adalah bagian kecil saja dari eksprimentasi demokrasi. Ngah dan UD juga paham jika demokrasi adalah instrumentasi kaum globalis [elit global] yang penuh paradoks dan manipulatif [kepalsuan].

Kisah panjang demokrasi yang tak banyak terungkap sebagai sebuah sistem (politik, ekonomi, sosial, hukum) dan lainnya, tanpa sadar ditunggangi istilah pencitraan. Praktik manipulasi terbaru tentu saja telentanya yang direpresentasi seorang penguasa [yang berkuasa] dan atau yang akan berkuasa.

Esensi citra sebagai pakem demokrasi yang didukung media [massa, televisi, elektronik dan sosial] sebagai pilar demokrasi keempat [setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif], rupanya menurut Ngah dan UD, sampai sejauh ini perjalanannya tidak banyak yang tahu. Baru-baru ini saja pengalaman sudah membuktikan jika pencitaraan dapat menanipulasi opini publik. Pelaksanaan survei mau diakui atau tidak adalah upaya ke arah manipulasi juga. Hanya saja bahasa komunikasinya, agar tampak intelek d isebut dengan pemasaran (marketing).

Menurut Ngah dan Umi, walaupun, mereka, keduanya berkompetisi, namun tidak kelihatan. Namanya juga pertarungan proxy. Oleh karena itu, mereka berdua ketika diajak berdikusi tampak lebih objektif. Ngah dan Umi mengakui jika ada dukungan pemodal [cukong lokal dan nasional), citra menjadi esensi promosi yang manipulatif. Kemampuan [capabilitiy], calon pemimpin dalam Pilkadal-retak menjadi tidak penting. Dari sinilah banyak orang awam menyebutnya rekruitmen seorang pemimpin dapat direkayasa dan dikendalikan yang mestinya, mustahil dalam prinsip demokrasi.

Mencermati hasil diskusi bersama Ngah RW dan Umi Duda, Aku semakin yakin jika istilah pemimpin boneka yang banyak menjadi gunjing-gunjang versi milenial, tidak terlepas dari pakem citra yang didukung kaum yang bersubahat dengan para penopang modal, berkolaborasi dengan para kandidat Pilkadal-retak.

Esensi demokrasi langsung yang diheboh-hebohkan, tidak senikmat yang dirasakan. Ini disebabkan, demokrasi langsung (Pilkadal-retak) memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Amat sangat disayangkan jika modal Pilkadal-retak bersumber dari utang luar negeri. Inilah yang oleh Ngah RW dan Umi Duda berpendapat secara subjektif jika demokrasi dalam konteks ini subtansinya palsu.

Begitulah kesimpulan kami ihwal Pilkadal-retak. Walaupun Ngah RW dan Umi Duda bersaing dalam pertarungan, mantapnya mereka sepakat kritis terhadap praktik demokrasi langsung di negeri Kolam Susu yang tercinta.

Siapa yang menang. Yang menang belum tentu yang Beruang. Boleh jadi yang menang adalah yang ber-Pelanduk. Seperti sebuah nasihat, “Gajah, Harimau dan Singa bertarung, jangan sampai pelanduk mati di antaranya”. ***

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *