Seloroh, Olok-Olok Iye

nama

“Seloroh, bukan olok-olok
Seloroh adalah bercermin air
Cebong-kampret olok-mengolok”

Merujuk pada kkbi (kamus besar bahasa Indonesia), mencermat-telaahi fenomena bernegara belakangan ini, kata seloroh plus olok-olok selalu saja menjadi pilar. Kata seloroh ini dimaknai sebagai lucu, lelucon, senda gurau dan kelakar.

Masih dalam kkbi, seloroh jika berubah menjadi beseloroh dimaknai bersenda gurau, berkelakar, berolok-olok. Mengacu seloroh dan olok-olok yang pilar tentu saja akan muncul-mencuatnya istilah sensi. Betapa tidak, manakala seloroh berubah menjadi berseloroh yang dipadankan dengan berolok-olok tentu perlu diurai-cermati. Mengapa berolok-olok? Mengapa mengolok-olok. Mengapa olok-mengolok. Padahal berseloroh bukan, olok mengolok atau sebaliknya. Berseloroh adalah berguran-senda. Berseloroh adalah bercengkrama. Berseloroh adalah mendingin-riuh suasana. Berseloroh adalah bercermin air.

Klid-klindan fenomena seloroh plus olok-olok viral, Jengah Jenguk Cendekia tidak bermaksud mengolok-olok seloroh atau seloroh yang mengolok olok. Apalagi saling mengolok olok antara sesama anak negeri Kolam Susu. Teristimewa, Kampung Derian, tempat Aku, Long Ngah, dan Ngah Usu diam (diam, dimaksudkan kediaman, bermastautin, tempat tinggal, tempat menetap).

Di negeri Kolam Susu, olok bukan menjadi persoalan jika diperkatakan di depan khalayak. Namun, ketika olok diulang menjadi olok-olok, kata ini berubah menjadi sensi. Banyak cerita seru terkait olok-olok di negeri kolam susu. Yang sangat populer penyebutan cie, cie, cie (kata ini selalu berulang kali diucapkan dalam perbincangan umum). Perbincangan dikedai kopi, restoran, café dan lainnya. Yang tak kalah populer menuyusul adalah iye, iye, iye.

Suatu hari di kampong Derian, tempat kami bermastautin (maksudnya Aku, Long Ngah dan Ngah Usu duduk), sekelompok orang memperdebatkan “cie” dan “iye”: apakah masuk klasifikasi olok-mengolok yang menjurus pada hina-menghina (penghinaan atau ada yang merasa terhina bahkan dihina). Ada yang mengatakan sudah bagian “pelecahan”, penghinaan atau semacaamnya. Ada pula yang berpendapat biasa saja. Tak ketinggalan ada yang mengatakan tidak biasa, tetapi bukan penghinaan, melainkan hanya tidak etis dan tidak tepat.

Sambung-menyambung perdebatan, sempat terjadi perselisihan: khusus siapa dan forum apa istilah cie dan iye perlu diucapkan bahkan dengan berulang-kali (berulang-ulang). Seorang penyanyi dangdut, pop atau rock di pentas untuk mencari simpatik, tentu saja tak masalah iye, iye atau hua, hua, hua, hayo-hayo.

Pertanyaan lumrah boleh jadi agak atau terlalu sensi manakala iye, iye, iye atau cie, cie, cie berulang kali dikumandangkan pada “ceramah yang berbobot (bukan berbau) keagamaan: apakah wajar, boleh, dianjurkan atau tidak etis? Atau ihwal ke iye-iyean, atau cie ciean, hanyalah bagian dari seloroh? Pertanyaan ini hanya sebuah retorik. Istilah ungkapan, “tepuk dada tanya selera”.

Berseloroh bukankah olok-olok. Apalagi mengolok-olok, olok mengolok sesama sendiri. Ibarat cermin berseloroh dengan menyindir yang lumrah dan etis dalam ungkapan, ibarat, pepatah atau pantun jenaka. Berseloroh ibarat cermin dibelah adalah dua rupa yang terkadang sebanding dan berlawanan. Misalnya, pribahasa “Buruk rupa cermin dibelah”.

Penggalan tengah dua dari empat kata, Cermin dibelah merefleksikan suasana haru-ungu, hiruk-pekak, remuk-redam, dan risau-resam perasaan dampak saling olok mengolok antara sesama anak negeri. Berolok-olok menghasilakn dendangan pilu untuk saling membalas, menyakiti dan berakhir “berkelahi”. Seloroh bukanlah olok mengolok sebuah lakon yang tidak mendidik.

Akhir kalam memaknai kata sensi “seloroh adalah bercermin air”, tak ubah, “Buruk rupa cermin dibelah”. Kata sensi merefleksikan logika yang meyakinkan nurani, akan menuntun jika budaya olok mengolok wajib diamputasi. Percayalah para pihak yang nun di sana (pro raja) dan nun di sini (pro perdana menteri), ibarat bertanding catur, bahwa kita sedang menjadi bidak. Para grandmaster adalah pemenangnya. Ingin menang, jadilah seperti Garry Kasparov.

“Elok Budi, elok laku
“Seloroh, bukan olok mengolok
Cebong-kampret bersatu padu”

Semoga. ***

Baca: Menepuk Angin Terpercik Wajah

LamanRiau.com

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *