Menepuk Angin Terpercik Wajah

Ngah Usu

“Menepuk air mendulang angin
Menabur guntur menuai badai
Wajah negeri berpasak cermin
Wujud anugerah saling hargai”

Long AmeeR masih tak percaya. Di kampungnya, tiba-tiba muncul dua perigi. Seluruh kampung heboh. Orang kampung menyebutnya dengan perigi suci. Yang lain lagi, menamainya perigi dosa.

Long AmeeR masih tidak percaya. Di kampungnya ada perigi jadi-jadian. Perigi Suci, airnya hitam. Perigi Dosa, airnya putih. Warna hitam melambangkan kebaikan dan kesucian. Yang warna putih melambangkan kejahatan dan keburukan. Ada ambigu. Ada kontrakdiksi jika diperbandingkan dengan kampung sebelah. Aku tahu, Long AmeeR masih tetap tak percaya. Tapi itu realita.

Budi luhur hati berseri
Kapal belayar tanpa sekoci
Laku lakon penghuni negeri
Belakang bersih wajah suci

Dahulu di zaman orang-orang tua-tua Long AmeeR, tak banyak yang tahu. Begitu pula ketika orang tua ku masih hidup. Keduanya, sezaman dengan keluarga besar Long AmeeR. Di kampung kami, terkenal filosofi yang tak mungkin ditinggalkan sampai kini. Ini menurut ku. Sekarang tak tahulah. Zaman sudah berubah, kata orang.

Menurut khabar, katanya, di kampung kami, orang jujur jarang ditemui. Orang jujur susah dicari. Kebanyakan dari wajahnya saja sudah dapat diketahui. Kata orang-orang, ada tandanya. Jadi wajah dengan kejujuran setali-seikat, tak terpisahkan. Sudah menjadi kredo, nak menyebutkan terasa tak sedap. “Jangankan yang halal, yang haram saja susah”.

Takut tertinggal berlarilah kencang
Mengunyah pisang badan perkasa
Tindakan rasuah menjadi pancang
Tunggu waktu negeri binasa

Jengah Jenguk Cendekia memberi taklimat. Janganlah bermuram durja, gundah gulana. Wajah bukanlah topeng. Angin sepoi-sepoi penghipur lara. Walaupun tepuk tangan, bukan tanda gembira. Raut wajah berona indigo muda. Inilah pertanda, negeri dalam bahaya. Banyak penghuni berdua-rupa.

Rupanya palsu penghias kata
Kata diungkai penulis sejarah
Topeng wajah susah dibeda
Ketika rasuah menjadi darah

Pagi-pagi aku bangun untuk membuktikan anggapan orang-orang kampung. Aku pergi membasuh wajah, kemudian mendekati perigi dosa. Begitu bening, jernih. Wajah nan rupawan bercermin gelombang di perigi dosa. Sebening hasrat, wajah ku seketika berubah. Mulanya kuning. Dua menit kemudian membiru. Lalu tak sampai setengah jam menjadi hijau. Aku wa-was, sambil mencermati perubahan warna wajah. Belum terlalu lama, lima belas menit kemudian, berubah mejadi merah.

Walapun khawatir, aku yakin ini pasti perubahan warna terakhir. Tak mungkin akan berubah lagi. Aku mengamati sekeliling, semua sudah berubah menjadi merah. Ada yang mengatakan itu warna darah. Ada pula yang berpendapat, darah binatang panda. Aku yakin, ini darah naga. Tak mungkin darah cacing.

Buruk muka cermin dibelah, tiada wajah. Meludah ke langit muka juga yang basah, tiada wajah. Menconteng arang di muka, tiada wajah. Talam dua muka, tiada wajah. Tebal kulit muka, tiada wajah. Terpecak peluh di muka, tiada wajah. Muka licin ekor berkedal, tiada wajah.

Wajah bukanlah rupa. Walaupun sesekali wajah menyerupai muka. Wajah menelanjangi pikir. Wajah pula mencermin hati. Wajah pun memantul iba. Wajahnya adalah kami. Wajahnya adalah kita. Wajahanya adalah mereka. Wajahanya adalah engkau. Wajahnya adalah aku. Walaupun aku bukan mereka, bukan kami, bukan kita, apalagi engkau.

Wajah negeri ini adalah wajahmu. Engkau bukan pengubah wajah. Engkau bukan pembentuk wajah. Engkau adalah wajah itu sendiri. Engkau ada di tengah, tapi tak bergerak. Engkau ada di depan, tapi tak menuntun. Engkau ada di belakang, tapi tak menyongsong.

Menepuk angin terpercik wajah
Pudarnya cincin tanpa permata,
Tiadalah negeri menjadi gagah
Tanpa rasuah berjaya kita

Wallahualam. ***

Baca : Diberi Hati, Hendakan Jantung

LamanRiau.com

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *