Mancing Hiu Dapat Bilis

Ngah Usu

NGAH Usu tak henti-henti, tak habis-habisnya menggerutu, menggumam, dan komat-kamit. Bibirnya menggeletar. Menanggapi lawan berbicara pun kelihatan emosi.  Ngah masih marah, nampaknya. Khabarnya, Ngah merasa entah ditipu atau tertipu. Yang sebenarnya, Nagh bukan ditipu. Ndumelnya Ngah hanya persoalan sudut pandang saja. Perubahan penyebutan. Perubahan nama. Atau orang-orang menamakannya yang berbeda.

Betulkah? Ngah baru saja memenangkan perlombaan memancing. Ngah menjadi juara jawaranya. Katanya lomba ditaja sebuah kawasan pemancingan terkenal. Top markotop. Pemancingan miliki seorang usahawan nasional.

Walaupun menang, tampakya Ngah tetap menyesal. Ngah bingung. Hanya saja, mulutnya tidak berguman serta menggerutu lagi. Ngah Usu bukan mempersoalkan hadiah uang yang diterima sebagai juara lomba. Sertifikat penghargaan plus kelengkapan peralatan pancingnya. Ditambah tiga bulan gratis memancing, tanpa dipungut bayaran. Ngah baru tahu jika ikan yang dipancing di bawah pulang ke rumah. Mengapa namanya berubah?

Sebelum mengikuti perlombaan di papan pengumuman tempat pemancingan tertulis besar-besar. Lomba memancing. Siapa yang mendapat ikan paling besar serta paling berat timbangnnya, dialah pemenangnya. Semakin berat ikan yang dipancing menandakan semakin baik. Semua orang pun tahu, tanpa ditimbang, dilihat dari bentuknya,  Ngah memperoleh Hiu. Tak usah pun ditimbang lagi, berdasarkan bentuknya saja sudah tahu, Ngah dapat Hiu.

Ciri-ciri dan karakter Hiu jelas. Bentuk tubuh seperti cerutu (torpedo).

Tubuhnya menggelembung pada bagian tengah dan di kedua ujungnya meruncing. “Apakah bentuk tubuh dengan ciri-ciri yang jelas ini, bukan Hiu? Apakah Hiu bukan ikan?” Ngah mempertanyakan.

Penasaran, Ngah menelusur laman internet. Penelusuran terus dilakukan. Benar. Baru ketemu. Laman sebuah lembaga penelitian khusus tentang ikan langka, jenis ikan dan pengklasifikasian serta lingkungan tempat habitat hidupnya. Dalam penelusuran, setelah diamati dengan saksama berdasarkan bentuknya, benar. Sesuai ciri-ciri dan karakternya. Yang diperoleh Ngah dalam lomba memancing benar adalah Hiu. Namun Ngah masih tetap ragu. “Mengapa berbeda?” Apakah ciri dan karakter sama, bukan Hiu? Apakah Hiu bukan ikan?” Gumamnya dalam hati.

Untuk meyakinkan hati yang terus galau, terkadang juga kehilangan jati dirinya. Sebagai pembanding, berbagai informasi dari hasil laman media terkenal tak luput juga menjadi tumpuan penelusurannya. Bahkan ada bebeapa laman media yang menyediakan rubrik reportase tentang dunia ikan. Hanya saja, jenis Hiu tidak ditemukan. Padahal suda seharian Ngah menjolokan mata menelusuri laman media tersebut.

Di negeri Kolam Susu, Kampung Drian, tempat Ngah Usu duduk (ada juga yang menyebutnya dengan istilah diam), masyrakat sekitar,  mengenal ikan yang dimaksud Ngah dengan nama Bilis. Sejak zaman nenek moyang, terun-temurun orang-orang kampung menyebutnya (Ikan?) Bilis.

Ngah tahu rupanya mengapa ikan jenis-bentuk ini orang-orang kampung Drian menamainya dengan Bilis. Walaupun tidak disebutkan, bisik-bisik Ngah Usu mendengar jika ikan ini membawa petaka. Masyarakat kampung segan mengatakan dengan jujur. Padahal mereka tahu dengan kedatangan Nagh bersama Bilisnya adalah pertanda buruk.

Guna menghilangkan kebingungan, kebimbangan, keraguan segala yang berkecamuk dalam pikiran, Ngah rasanya (terbersik dalam hati) ingin menuntut pihak pelaksana perlombaan. Namun dengan sabar sembari sambil mengingat-ingat kembali peristiwa dua hari berlalu. Rupanya Ngah baru ingat jika di papan pengumuman dijelaskan bahwa “semua yang berhubungan dengan perlombaan tidak dapat diganggu gugat.” Hak memutuskan ada pada penitia. Termasuk menentukan pemenangnya. Walapun tidak yakin, Ngah tetap gelisah. Muncul pertanyaan dalam hati, “Apakah nama ikan yang salah penyebutan, nama yang tidak sesuai juga tanggungjawab panitia?”

Pertanyaan ini membuat kepala Ngah nak pecah. Wajar. Perbedaan nama tidak masalah. Hadiah penghargaan, dan lainnya juga tidak masalah. Masalah besar adalah mengapa nama boleh berubah. Nama di lokasi pemancingan dengan nama di kampung. Bentuk, struktur, ciri-ciri sama. Mengapa namanya berbeda. Kalau di negeri seberang, bukankah perubahan nama diri, nama perusahaan atau yang berbau nama wajib memenuhi prosedur hukum.

Di lapangan Ngah tetap menghadapi dilemma. Walaupun sudah beberapa hari perlombaan usai, warga kampung Drian  tetap saja terheran-heran. Bagaimana mungkin Bilis yang dibawa Ngah ke kampung dinamai dengan Hiu. Perubahan nama tergantung tempat adalah mustahil. Jarak Kampung Drian dengan lokasi pemancingan tidak begitu jauh. Perubahan nama jikalau berhubungan dengan kepentingan politik, kekuasaan, ekonomi, sosial, kerukunan atau apalah namanya mungkin-mungkin saja. Ini jarak berdekatan, mustahil nama juga berubah-ubah.

Mau tak mau, walaupun sangat sulit. Ngah wajib mempunyai pendirian. Kata orang, Ngah wajib konsisten. Ngah wajib memilih salah satu. Mana mungkin kedua-duanya. Kalau kedua-duanya, namanya menjadi Hiu-Bilis. Salah menyebut jadi Hiu-Iblis pula. Berbahaya. Tak boleh terjadi.

Sementara kalau mengikut versi lokasi pemancingan, Ngah sebagai pemenang lomba, jelas Hiu. Manakala di kampung nya, menjadi Bilis. Kalau digabung Bilis-Hiu. Salah-salah menyebut pas mengantuk jadi Iblis-Hiu.

Ibarat simalakama. Begitulah posisi Ngah. Hanya yang diperlukan tetap konsistensi. Untuk konsisten memang susah. Bayangkan,  Hiu harus disebut Bilis. Sementara, Bilis sebaliknya dikatakan Hiu. Yang masalah lagi jika tidak punya pendirian. Memang betul-betul simalakama. Ihwal nama ini telah terjadi keterbelahan masyarakat negeri Kolam Susu. Ikut pengelola negeri justru tak masuk akal. Sisi lainnya, ikut warga kampung Drian khawatir tak dapat akses fasilitas yang sudah diperoleh.

Dalam keterbelahan pilihan, Ngah tetap wajib bersikap. Walaupun hasilnya pahit. Gelar orang aneh atau tidak boleh memancing lagi yang menjadi hobi adalah pilihan sulit. Lebih parah justru tidak punya pendiriaan, mencla-mencle.

Ngah mengambil keputusan. Lebih arif nan bijak bersikap. Ngah memilih untuk menamakan ikannya  adalah Hiu. Walaupun berbeda dengan masyarakat. Ngah ambil resiko. Beberapa waktu lalu, mengapa jatuh pilihan pada nama Hiu? Selain karena bisik-bisik masyarakat, Ngah mengantisipasi khawatir terpeleset lidah menyebutnya menjadi Iblis.

Wallahualam bissawab. ***

Baca : Ngah Long Ustadz

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *