Ku kira hati jiwa nurani,
Suci seindah wajah terbayang,
Ku kira puji seikhlas budi,
Ku lupa lidah tidak bertulang
Ngah Long bertanya-tanya. Walaupun sempat tak setuju dengan tajuk, Jengah Jenguk Cendekia, “Tak Seindah Pantun”. Ngah Long berpendapat jika tajuk ini walaupun tidak serupa, namun hampir mirip dengan tajuk lagu dari negeri seberang, “Tak Seindah Wajah”. Ngah Long takut tajuk ini termasuk kategori plagiarisme.
Sementara Long Usu berbeda. Tajuk boleh hampir sama, tapi tetap saja tak serupa. Sama namun berbeda substansi, walaupun serumpun. Long Usu tahu kalau tajuknya hampir serupa dengan tajuk lagu SM Salim, “Tak Seindah Wajah”.
Beda pendapat kakak-beradik menanggapi tajuk tersebut menujukkan dinamika kreatif dan inovatif. Perbedaan menjadi pemicu untuk berkreasi maju ke hadapan. Begitulah Pantun yang menjadi wajah sebagaimana potongan lirik lagu yang di dendangkan almarhum biduan veteran dari bumi seberang, Tan Sri S.M. Salim, dalam, “Tak Seindah Wajah”. Yang syair liriknya adalah untaian pantun indah mahligai permata.
Sebelumnya United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada 17 Desember 2020, memutuskan status pantun di jajaran warisan budaya dunia. Lembaga bagian dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ini menetapkan Pantun sebagai warisan budaya takbenda. Pengistiharan Pantun sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO melalui akun Twitter pada Jumat (18/12/2020) sebagaimana dikutip banyak media. Lembaga kebudayaan dunia ini memberikan selamat kepada Indonesia dan Malaysia. Pantun menjadi warisan budaya takbenda merupakan pengusulan bersama-sama dengan Malaysia. Jadi Pantun adalah usulan bersama antara Indonesia dengan Malaysia. Negeri kakak-beradik. Terkenal dengan sebutan “serumpun”.
Pengistiharan melegal-formalkan tidak saja Pantun adalah wajah. Melainkan wajah adalah reduplikasi Pantun sebagai tonggak pengakuan budaya serumpun Malaysia dan Indonesia. Ini bukan dimaknai Pantun tak seindah wajah atau sebaliknya, wajah tak seindah Pantun. Wajah adalah Pantun dan Pantun adalah wajah. Begitulah berulangnya, “wajah dan Patun atau Pantun adalah wajah negeri serumpun.”
Wajah Patun telah bersebati dalam Gurindam. Pantun menyatu dalam Zapin. Pantun juga mengerak-golek dendangan Joget. Tak lupa Pantun mengilhami Ghazal. Dari sini mantra Pantun perlu digagas menjadi obat penglipur lara. Ini agar galauan sahabat Musthamir Thalib dalam, “Dagang Kami Mengkuang Layu” (Lamariau.com, 28/12/2020), tak lagi menjadi kenyataan. Ibarat kain yang buruk, usahlah berikan kami. Limpahkan kepada mereka. Berikan pada kalian yang tak mungkin kita.
Jolok-menjolok, sambut-menyambut, sambung-menyambung berikut lirik lagu memacu dendang dalam berpantun. Siti Nurhaliza dalam Cindai, “Gurindam lagu bergema takbir. Tiung bernyanyi pohonan jati. Bertanam tebu di pinggir bibir. Rebung berduri di hati.”
Duet maut Noordin Ahmad-Latifah Omar dalam Gurindam Jiwa, “Batang selasih permainan budak. Daun sehelai dimakan kuda. Bercerai kasih talak tiada. Seribu tahun kembali juga.”
Sri Barat (Iyeth Bustami) dalam Laksmana Raja di Laut, “Membawa tepak hantaran belanja. Bertata perak indah berseri. Kami bertanda menghidup budaya. Tidak Melayu (aduhai sayang) hilang di bumi.”
Lesti Andryani dalam, Zapin Melayu, “Kilau bersinar emas suasa. Dijari manis elok letaknya. Walau dunia terbelah dua. Seni Ibunda tetap dijaga.
Bertolak ragam pesona nuansa nan indah bergitulah Pantun bermadah dalam lirik lagu nan indah. Untuk selanjutnya syair Pantun akan menggema berpancang-sagang pada agenda regulasi negeri. Riau visinya menjadi, “Pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tengara”. Kepulauan Riau visinya, “sebagai Bunda Tanah Melayu. Tungjungpinang negeri pantun. Kampung Bugis, Kampung Pantun, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Bengkalis negeri Zapin. Tari Zapin di Kampung Zapin, desa (bukan kampung?) Meskom, Bengkalis, Riau.
Lalu apa perbedaan dan persamaan keserumpunan itu? Persamaan jelas berPantun. Untuk perbedaan? Di Malaysia bahasa Melayu tak hilang jejak apalagi nama. Di negeri ini bahasa Melayu kehilangan nuansa, tak terkecuali nama. Negeri Malaysia berbahasa Melayu. Negeri kita berbahasa Indonesia. Tak Melayu hilang di dunia. Begitu kredo Hang Tuah membahana.
Lirik zapin lagu merdu
Gurindam jiwa menyergah asa
Kalau Malaysia bahasa Melayu
Mengapa kita bahasa Indonesia
Berbalas pantun budaya kita
Seperti Nuri terus berkicau
Tak Melayu hilang di Malaysia
Pusat Melayu tak hilang di Riau
Wallahualam bissawab. ***
Baca : Ngah Long Belalang-Kicot