Panggil Aja Su Sampah

nama

NAMA adalah sebuah doa. Begitulah aksiomatisnya. Repleksi terhadap makna kelahiran dengan acara sukuran. Setulus niat baik terpendam jauh dalam lubuk hati yang sangat dalam. Dengan begitu: pertanyaan apakah arti sebuah nama, tentu menjadi tidak elegan.

Istilah nama adalah doa memang sangat dipegang, tidak hanya dari kalangan tertentu saja. Zaman dulu, orang tua memberi nama berdasarkan bahasa tertentu. Tidak dapat ditolak pula bahasa Sansekerta menjadi pilihan tak terhindarkan. Niat hati berharap dengan doa, anaknya kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan negara. Tak terkecuali, yang bernama depan ‘Su’. Nama ini diambil dari bahasa Sansekerta. ‘Su’ artinya sangat, lebih, selalu, paling, unggul dan terbaik. Pohonnya (sebagai pengganti, pokoknya), Su adalah yang ter.

Sebagai missal, pratiknya di masyarakat yang “bergenre” unisex (tidak lelaki saja, perempuan juga ada bernama depan Su). Misalnya, mohon maaf, ada yang bernama Subagya yang diambil dari Su yang berarti paling, dan Bagya yang dimaknai bahagia. Subagya memilik makna “orang yang paling bahagia”.

Bukan seperti yang lain. Pengecualian, bukan sebuah yang aneh. Boleh saja orang banyak berbeda pendapat. Namun Bagi “Su Sampah”, keanehan adalah sebuah keniscayaan. Hal ini hanya oleh karena, nama belakang yang disandangnya.

Su Sampah belum tahu jika nama belakangnya menjadi trending (istilah di medsos viral) bela-belakangan ini. Kalau hanya sebuah nama menjadi viral tentu saja, bukan sebuah keniscayaan, melainkan keanehan. Respon masyarakat di sekitar kediaman keluarga besar Su Sampah, tetiba saja berubah aneh. Nama belakangnya menjadi sorotan. Nama yang jelas akhir-akhir ini populer pada sebuah kota. Tergantung dari sudut mana menjangkaunya.

Rupanya tidak hanya masyarakat di sekitarnya, kaum akademisi, para peneliti, kumpulan penulis, dan golongan satrawaan penyair juga heboh. “Su”, begitu selalu dipangil (maklum nama depan yang dimaknai selalu, unggul, terbaik), tidak terbukti dalam kenyataannya. Su meyakini, nama belakangnya yang menyebabkan seluruh kota seolah-olah menganggapnya sebagai seorang musuh. Su tidak sensi, marah apalagi sedih. Sebaliknya Su, selalu tersenyum menaggapi respon negatif mereka semua.

Bayangkan, kaum akademisi yang juga mengklaim peneliti, tak pernah berpandangan positif terhadapnya. Nama belakangnya yang selalu dijadikan objek penelitian identik dengan musuh masyarakat. Pusat penyakit. Kira-kira inilah kesimpulan hasil penelitian yang umum.

Tidak kaum intelektual saja, sekumpulan penulis dan sastrawan penyair sama saja. Bahkan bakat kemampuan keahlian yang dimiliki dipergunakan sekadar untuk memojokan eksistensi nama belakangnya. Pantun, sajak-puisi, prosa, cerpen serta karya lainnya dimanfaatkan semata-mata dinilai nama belakang Su adalah musuh bersama yang wajib diperangi. Bahkan Su sempat terkejut, sentilan yang menggunakan istilah intoleran dan radikal jika berkawan apatah lagi bersahabat dengan Su.

Yang paling tak menyenangkan, justru pihak berwenang penyelanggara dan usahawan pengelola sampah. Walaupun agak berbeda, tetap saja memandang Su sebagai objek. Walaupun Su meyakini jika dirinya bukan satu-satunya objek (artinya masih ada yang lain untuk di-objek-an), tetap saja Su merasa tak nyaman. Su tidak ingin tahu apa yang dilakkan terhadap dirinya. Apalagi di akhir setiap tahun penghujung Desember. Ingin berkolaborasi, berkoordinasi, bermanipuliasi atau semua yang serba si. Silakan saja. Bukan masalah.

Diam-diam seperti biasa karakter Su yang selalu rajin senyum mengulum, Su sangat bersimpatik pada sebuah kelompok masyarakat tertentu. Berdasarkan prestasi kelompok inilah Su menjadi bangga. Sebab, Su tidak lagi menjadi objek, melainkan sosok subjek. Kelompok MKMU inilah yang membuat Su dapat bereksistensi diri. Su menjadi mengenal-tahu siapa dirinya.

Sungguh tak terbayangkan sebelumnya oleh Su. Kelompok inilah yang berkreasi, berinovasi sekaligus memotivasi sehingga Su berguna. Esensinya, berguna tidak hanya pada orang lain, tetapi dirinya sendiri. Su kini telah berubah menjadi Bank. Berkat inovasi, Su juga menjadi barang-barang produksi yang bernilai tinggi. Tak enak, takut ria jika Su, menceritakan semua keberhasilanya via kelompok tersebut.

Menjadi akhir, Su hanya ingin kalau dikatakan menasihati, takut ada pihak yang tersinggung. “Hanya sebatas mengingatkan, boleh kan?” Sebelum terjadi sesuatu, istimewa kepada pihak berwenang dan pemilik usaha kelola sampah.

“Jujurlah dalam bernegosiasi. “Dalam hati dan pikiran siapa yang tahu.”

“Kalau pun tertangkap, panggil saja, Su Sampah!!”

Wallahualam. ***

Baca : Tangsangkapura Nenek Kuntil

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *