Hikmah  

Nasihat Rasulullah Mengenai Tiga Keadaan

Nasihat Rasulullah Mengenai Tiga Keadaan

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Abdul Wahab asy-Sya’roni (898-977 H) merupakan seorang ulama yang berjulukan quthbul ‘ilm. Di sepanjang hayatnya, alim dari abad ke-10 Hijriyah ini telah menghasilkan puluhan buku sebagai bentuk dakwah bil qalam-nya. Salah satu karya pakar tasawuf tersebut ialah Wasiyat al-Musthofa.

Kitab ini berisi pelbagai nasihat singkat mengenai akhlak yang baik. Setiap bait disusun secara ringkas, bernas dan ritmis sehingga mudah dihafalkan oleh khalayak pembaca. Di antara banyak petuah yang ada di dalamnya, terdapat sejumlah wasiat dari Nabi Muhammad SAW.

Abdul Wahab asy-Sya’roni menuturkan, pada suatu ketika Rasulullah SAW menyampaikan pesan-pesan penuh hikmah kepada keponakannya, Ali bin Abi Thalib. Nasihat itu mengenai tiga pihak dengan nasib berbeda-beda, yakni mereka yang terhina, yang celaka, dan yang selamat.

“Wahai Ali,” ujar Nabi SAW, “bagi orang yang terhina itu ada tiga tanda, (yakni) sering berbohong, bersumpah palsu, dan menyampaikan keinginannya (suka meminta-minta) kepada manusia.”

“Wahai Ali!,” kata Rasulullah SAW lagi, “orang yang celaka memiliki tiga tanda, yaitu makanannya haram, menjauhi ulama, dan senantiasa shalat sendirian.”

Mendengar itu, Ali bin Abi Thalib pun bertanya, “Kalau demikian, seperti apakah tanda-tanda mereka yang selamat dari kehinaan dan celaka?”

Menjawabnya, Rasulullah SAW mengingatkan Ali tentang firman Allah, yakni surah an-Nur ayat ke-52. Artinya, “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” Jelaslah bahwa mereka yang terhindar dari kehinaan dan celaka merupakan orang-orang yang selalu berupaya meningkatkan keimanan serta ketakwaan kepada Tuhannya.

Tahan godaan

Nasihat Rasulullah SAW itu mengisyaratkan bahwa seorang Mukmin hendaknya tahan bujuk rayu duniawi. Betapa pun banyaknya harta dan setinggi apa pun kedudukan yang dimiliki seseorang, tidak akan bermakna bila perangainya justru mengindikasikan tanda-tanda kehinaan.

Ambil contoh, kebiasaan gemar berdusta. Terlebih lagi bagi seorang pemimpin–atau calon pemimpin. Untuk mencapai suatu posisi atau jabatan, mereka yang berhasrat besar ini dengan entengnya berucap janji dan bersumpah “Demi Allah.” Padahal, jika melanggar sumpahnya, sungguh dirinya telah melakukan sebuah dosa besar.

Nasihat Nabi SAW yang diceritakan asy-Sya’roni juga mengingatkan kita agar tidak gampang mengemis. Termasuk di sini, meminta-minta jabatan. Ingat sabda al-Musthafa kepada sahabat Abu Dzar al-Ghifari. Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?”

Kemudian, Nabi SAW menepuk bahu sahabatnya itu dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini (jabatan) adalah amanah. Ia (jabatan) adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)” (HR Muslim).

Kisah singkat di atas pun mengingatkan kita agar selalu hati-hati dalam mencari rezeki. Jangan sampai sedikit pun mengonsumsi sesuatu yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara memperolehnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menjelaskan, doa orang yang mengonsumsi barang-barang haram tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT. Selain itu, pelakunya juga akan dilemparkan ke dalam api neraka.

Kecelakaan juga bagi mereka yang tidak mau mendengarkan perkataan orang-orang berilmu. Apalagi, mereka yang secara terbuka membenci ulama. “Ulama adalah pewaris para nabi,” demikian pesan Rasulullah SAW. Nasihat yang disebut Syekh asy-Sya’roni dalam karyanya itu juga mengimbau Muslimin untuk berupaya rutin shalat berjamaah.

Bukan hanya soal besarnya pahala bila dibanding shalat sendirian. Dengan rutin shalat berjamaah, seorang Mukmin otomatis sedang memakmurkan masjid. “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS at-Taubah: 18).

Sudah kita ketahui tentang siapa saja yang terhina dan celaka. Lantas, seperti apakah orang-orang yang selamat itu? Mereka adalah yang selalu berupaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhannya.

Takwa begitu penting untuk seseorang mencapai keselamatan di dunia dan akhirat. Itu tidak hanya berarti rasa takut kepada Allah. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, di dalam takwa terkandung banyak hal: cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, dan sabar. Pengejawantahan dari iman dan amal saleh, itu pun berarti takwa.

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews