Berdalih KKPA, PT Padasa Pasok Sawit dari Hutan Lindung Bukit Suligi

Wakil Ketua DPRD Riau Asri Auzar bersama anggota Suhardiman amby dan Mansyur melihatkan peta kordinat kepada manejer operasional PT Padasa Enam Utama, Suryanto Efendi.

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Sejak tahun 2003, PT Padasa Enam Utama kebun Koto Kampar Hulu, Kabupaten Kampar menggarap lahan atas nama masyarakat melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Hal ini dianggap sebagai rekayasa untuk menutupi lahan seluas 3.500 hektar lebih dari kawasan ilegal hutan lindung Bukit Suligi.

Temuan ini dibeberkan mantan Ketua Pansus Monitoring Perizinan Lahan DPRD Riau, Suhardiman Amby saat Sidak ke lokasi perkebunan sawit yang sudah berdiri sejak 20 tahun lalu itu. Ia mengatakan, lokasi KKPA ini masuk di kawasan terlarang, dari pantauan titik kordinat berada persis di kawasan hutan lindung.

“Melihat dari titik kordinat peta yang kami punya, sebanyak 3500 hektar ini masuk kawasan hutan lindung Bukit Suligi. Artinya jelas perusahaan telah melakukan tindak di luar jalur hukum,” sampai Suhardiman, Rabu (24/7).

Karena berusaha di lahan tak berizin, Suhardiman yakin PT Padasa Enam Utama juga tak melakukan pembayaran pajak sesuai dengan luas usaha.

“Jadi kami minta, ini bersama kita ada dari DLHK. Tolong dijadikan temuan, tempuh jalur hukum. Karena mereka berusaha dilahan ilegal jelas melanggar perundang-undangan,” sebutnya.

Temuan ini menurut dia dari laporan masyarakat termasuk Lembaga Adat Kampar yang menguatkan temuan dari Pansus Monitoring sebelumnya, dan terbukti dengan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan ada 1,2 hektar lahan perkebunan sawit di Riau ilegal, punya titik sama.

“Kami minta tinggal dari pemerintah, yang seperti ini harus ditertibkan, jika perlu operasional dihentikan,” tegas dia.

Pihak perusahaan diduga menggarap, merambah, dan memampung hasil dari kawasan ilegal yang mana sesuai UU Republik Indonesia Nomor 41 Tentang Kehutanan dan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Ancamannya tidak main-main, pidana 8 tahun penjara dan denda Rp12 miliar,” kata politisi Hanura itu.

Wakil Ketua DPRD Riau, Asri Auzar, menambahkan bahwa, pola KKPA yang dilakukan PT Padasa Enam Utama tidak sesuai dengan penjelasan undang-undang.

“KKPA itu perlu diketahui ialah usaha dibuat perusahaan untuk masyarakat dimana yang haknya telah diatur oleh undang-undang 20 persen dari luasan lahan HGU milik perusahaan. Tetapi di sini tidak, justru di luar dari HGU. Perusahaan membeli dari masyarakat,” kata Asru didampingi anggota DPRD Riau H Mansyur HS.

Asri Auzar juga meragukan masyarakat yang disebut perusahaan apakah benar adanya. Sebab, jika dilihat dari masa tanam tahun 2003, kawasan Bukit Suligi merupakan hutan yang telah masuk dari kawasan hutan lindung. “Jangan-jangan masyarakat ilegal juga,” sebut dia.

Manejer Operasional PT Padasa Enam Utama, Suryanto Efendi, saat dimintai penjelasan mengatakan, perusahaan yang berkantor di Medan ini memiliki luas lahan HGU sebesar 7700 hektar lebih. Ssdangkan 3500 hektar adalah perkebunan kerjasama pola KKPA.

“KKPA ini dimulai sejak tahun 2000 adalah lahan masyarakat yang diserahkan oleh ninik mamak. Saya tidak tahu persis seperti apa sebelumnya, karena saya baru bertugas 10 tahun di sini,” kilah Suryanto.

Ia juga tidak mengerti kawasan itu masuk dalam kawasan hutan lindung. Tetapi pola kerjasama ini telah berlangsung sejak lama. “Seperti apa coba tanya ke koperasi, saya tidak tahu persis,” pungkas dia. (rul)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *