Dewan Pendidikan-PGRI Bahas Persoalan Guru di Riau

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Sejumlah persoalan berkaitan dengan profesi guru di Provinsi Riau dibahas dalam kegiatan Bincang Pagi (Coffee Morning) Dewan Pendidikan Provinsi Riau bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Riau periode 2019-2024, di salah satu kedai kopi di Pekanbaru, Jumat 27 Desember 2019.

Kegiatan yang diselenggarakan Dewan Pendidikan ini dihadiri unsur pengurus Dewan Pendidikan diantaranya H. Zulkarnaen Noerdin, SH., M.H, Dr. Fakhri Ras, M.Ed, Muhammad Herwan, S.E, Drs. H. Werkanis, M.Pd, H. Khaidir Akmalmas, dan Drs. H. Almunir Syafii.

Sedangkan dari PGRI Riau hadir dua Wakil Ketua Dr. Neneng Suryani, M.Pd dan Eko Wibowo, serta Bendahara Hj. Mahdalena.

Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Riau H. Zulkarnaen Noerdin, SH., M.H mengawali Bincang Pagi mengucapkan selamat kepada Dr. Muhamad Syafii, M,Si yang baru terpilih sebagai Ketua PGRI Provinsi Riau periode 2019-2024.

“Kami berharap pengurus baru PGRI Riau yang juga berasal dari kalangan muda yang masih enerjik bisa melakukan lompatan-lompatan dan responsif,” kata Zulkarnaen.

Menurut Zulkarnaen, tidak semua kebijakan dan lompatan jauh tersebut disenangi semua orang karena setiap kebijakan yang mengusik zona aman dapat dipastikan ada persoalan.

“Kita punya harapan besar sekaligus tantangan adanya perubahan-perubahan. Misalkan untuk guru yang ada hari ini, dengan wacana dan lompatan yang dilakukan bisa serta merta menjadi lebih baik,” ujar Zulkarnaen.

Wakil Ketua PGRI Riau Dr. Neneng Suryani, M.Pd memaparkan sejumlah persoalan guru di Provinsi Riau. Neneng menilai kesiapan pemerintah baik di daerah maupun di pusat tidak berbarengan.

“Jika dulu orang mungkin berbicara mengenai kelebihan guru, sekarang akan terjadi kekurangan guru,” terangnya.

Menurut Neneng, dari sisi kualitas guru-guru yang hadir di ruang kelas hari ini adalah juga guru kelas yang dididik di zaman tahun 1960-an sampai tahun 1980-an. “Kalau berbicara di zaman tersebut tentu orientasi cara pandang yang membentuk cara berpikir guru dibandingkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sekarang tentu berbeda atau tidak nyambung,” timpalnya.

“Pendidikan itu dinamis berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman dipengaruhi oleh teknologi. Guru-guru yang kuliah di tahun 1970-an atau 1980-an dulu apa-apa yang sudah mereka perolehi dengan yang terjadi inovasi-inovasi hari ini tentu sudah sedikit usang, basi, dan tertinggal, bahkan mungkin tidak menjawab lagi dengan tuntutan ilmu pengetahuan saat ini,” ujarnya.

Neneng mengatakan kesiapan secara mental dan ilmu guru cenderung tidak siap menghadapi tantangan. Ketidaksiapan ini tentu karena adanya faktor motivasi untuk menangkap ilmu. Zona nyaman bagi guru memang benar-benar terjadi.

Dia menambahkan, pengangkatan guru kontrak dengan pemberian tunjangan tentu harus dibarengi dengan kinerja yang sesuai, memperhatikan standar kompetensi pendidikan salah satunya adalah standar isi.

“Guru harus menguasai standar kompotensi pendidikan yang jika hal ini tidak dikuasai dan hanya mengandalkan ilmu yang diperoleh zaman kuliah dulu, tentu pendidikan tidak akan berjalan baik. Tugas berat kita mungkin di PGRI dan juga Dewan Pendidikan bagaimana kedepan kita saling bisa membantu dan bisa mewujudkan guru-guru yang siap menghadapi tantangan masa depan, menguasai informasi dan teknologi, dan juga siap berdiri di depan kelas bukan hanya dengan penyampaian ilmu tetapi juga dengan sentuhan karakternya dan guru harus bisa menjadi tauladan dulu,” ujar Neneng.

Dia berharap ketika murid dituntut untuk berkarakter sebagaimana standar kelulusan sementara guru sendiri tidak mencerminkan hal ini. Sikap mental membutuh pembiasan. “Mungkin kita berada di daerah Riau yang kental dengan budaya Melayu tentu sedikit berbeda dengan orang yang berada di Jakarta, di Bandung dan lainnya,” ulas dia.

Sekretaris Dr. Fakhri Ras, M.Ed mengutip pandangan pakar pendidikan Prof. Dr. Jakub Isman yang ketika ditanya mengenai bagaimana kondisi guru sekarang, menjawab diplomatis dan memberi ilustrasi orang yang pergi ke pasar dimana hanya satu pertanyaan yang perlu yaitu sudah berisikah keranjang orang itu tanpa boleh bertanya apa isi keranjang.

Menurut Fakhri, Undang Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah menanyakan mengenai isi keranjang. UU ini juga yang menyarankan untuk menengok isi keranjang.

“Di situ persoalan besar timbul karena dituntut isinya ada empat kompetensi yaitu paedagogik, keahlian, sosial dan kepribadian dimana mulai guru kita gelagapan. Dari satu segi tugas sesuai dengan empat kompetensi, tetapi dari segi lain mereka menerima tunjangan sertifikasi guru yaitu sebesar satu kali gaji pokok,” terang Fakhri.

Fakhri mengatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya Muhadjir Effendy mengumumkan standar Kemendikbud Uji Kompetensi Guru (UKG) di angka rata-rata nilai 8,00 dan ini untung tidak terjadi. Jika terjadi maka akan banyak guru yang tidak akan menerima tunjangan sertifikasi.

“Hasil UKG di Riau baru pada nilai 5,4. Angka ini kalau angka ujian nasional (UN) juga 5,4 maka pas. Jika anak 3,0 hasil UN-nya itu logis saja karena guru masuk ke dalam kelas UKG-nya nilai 5,4. Ini PR besar bagi kita Dewan Pendidikan Provinsi Riau dan PGRI,” kata Fakhri.

Apa yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan nilai UKG dan ini memerlukan sejumlah formulasi dari PGRI Riau dan Dewan Pendidikan Provinsi Riau kepada pengambil keputusan.

“Pada Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ada peluang kita mengajukan adanya PKB [Pendidikan Kompetensi Berkelanjutan] ini yang lemah sekarang,” tambahnya.

Fakhri menyebutkan kerja sama antara PGRI Riau dengan Dewan Pendidikan Provinsi Riau dan Komisi V DPRD Riau tahun 2018 telah melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan sebagai acuan kerja. “Pada Perda ini kita meminta adanya badan yang menangani mutu pendidikan,” tutup Fakhri. (zul azhar)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *