Kaleidoskop Ramadhan

kambing covid

Sesal dahulu pendapatan
sesal kemudian tiada berguna

Air keruh dapat diraba
air tenang menghanyutkan

KESADARAN pertaubatan tidak semestinya datang di akhir bulan. Begitu pun penyesalan, seharusnya tidak datang kemudian. Pepatah klasik mengatakan, “Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tiada berguna”. Akhir bulan Ramadhan menyambut awal Syawal, secara berkelanjutan merupakan kehidupan yang berulang dalam remik-ritme ibadah, terkadang senda-gurau, senang-susah, galau-bahagia hanyalah episode penantian menunggu akhir pada sebuah bulan yang penuh kemuliaan.

Bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan.  Bulan yang akan menunggu hasil dalam jalinan maaf-memaafkan dalam diri yang fitri (kembali ke fitrahnya) manusia yang suci bersih.

Bertumpu-pijak pada kesadaran tersebut mahfum diakui jika Kaleidoskop Ramadhan adalah representasinya. Sesuai rujukan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kaleidoskop dimaknai dua hal. Pertama, alat optik yang bentuk luarnya seperti keker (teropong), dilengkapi dengan dua kaca persegi panjang yang dipasang pada lapisan dalam pada salah satu ujungnya. Sehingga dapat memperlihatkan pelbagai gambaran yang indah dan simetris dari kepingan barang berwarna yang diletakkan di antaranya apabila dilihat dari ujung yang lain.  Kedua, aneka peristiwa yang telah terjadi disajikan secara singkat.

Sebuah kaleidoskop adalah ulas-kaji gambaran indah (elok nan nyaman) dan simetris (kesejalanan, tanpa benturan) pelbagai peristiwa kejadian dalam kesatuan waktu tertentu. Satu bulan adalah waktu yang bersatu itu.  Yang dalam realitas ulas-kaji sesungguhnya tidak harus indah nan elok serta sejalan (simetris). Ulas-kaji meneropoang-deteksi, perlahan-pasti terkait semua dinamika haru-kelabu, duka-sedih, zalim-menzalimi terkadang penyebab alergi hati.

Berpancang-sagang kaleidoskop masa lalu itu, walaupun tak sama berbeda ada, bulan suci Ramadhan merefleksi sandaran identfikasi amal kebajikan dalam hubungan personal dan publik yang dapat merefleksi masa depan setelah perdetik-menit-jam, hari yang lalu.

Berulang-kali selama sebulan melodrama kehidupan terekam pada kemera zaman. Dalam hubungan ini, percaya atau tidak adalah sebuah kalkulasi transenden jika azab berdampak kolektif walaupun orang per orang (personal) yang berlakon mungkar (tindakan zalim) kepada orang per orang atau sekelompk orang. Implikasi lakon mungkar, tidak salah jika ada yang berpendapat hanya berpedoman pada hukum positif. Tidak melanggar hukum dimaknai tidak berbuat kemungkaran dalam kezaliman. Itulah realitasnya minimal dalam perspektif mereka yang sedang berkuasa.

Refleksi Ramadhan sebagai sebuah kaleidoskop awal Syawal memberikan cara pandang antisipatif terhadap datangnya azab (sebuah bala balasan) akibat berlangsungnya terus menerus kemungkaran. Dalam Kaleidsokop Ramadhan, minimal terdapat tiga sandaran hukum yang berdimensi masa (waktu) kejadian. Sandaran ini terimplementasi dari lakon sedetik masa lalu, belum semenit masa depan: antara detik-menit.

Pertama, Hukum Aksi Plus Reaksi. Boleh jadi banyak yang belum jika enggan mengatakan tidak tahu apabila kemungkaran (akan) menghasilkan perlawanan. Kemungkaran yang terelaborasi menjadi bagian penting dari lakon zalim mendatangkan perlawanan secara langsung (hukum responsif). Apabila diformulasi menjadi pengetahuan lakon yang dapat disebut dengan kemungkaran memproduksi perlawanan. Esensi hukum ini dalam hubungan dengan Kaleidoskop Ramadhan memberikan iktibar kepada penyelenggara negara untuk tidak melakukan tindakan kezaliman. Hukum ini mentesisikan, “jika kezaliman diteruskan hanya akan menghasilkan perlawawan.”

Kedua, Hukum Aksi Minus Reaksi. Samahalnya dengan Aksi Plus Reaksi, hukum ini merupakan tindak lajut yang dikenal dengan perlawanan diam. Pepatah lama selalu mengatakan, “Air yang tenang menghanyutkan”. Diam jangan dianggap tidak melawan (merespon balik). Dalam hubungan “Aksi Minus Reaksi” lakon kezaliman (mungkar), akan menghasilkan perlawawan melalui doa-doa panjang selama tujuh belas rakaat sehari semalam plus amalan lainnya di bulan Ramadhan. Esensi ini memperingatkan jangan sampai kezalim-mungkaran “memaksa” orang-orang tertindas (Mustadh’afin) si empunya hak langsung untuk “melawan”. Kaum ini mendapatkan keistimewaan (dalam makam doa) untuk menghancurkan para penzalim.

Ketiga, Hukum Kolektif ke-Azab-an. Kalau aksi plus reaksi memberikan perlawanan langsung. Aksi Minus Reaksi perlawanan diam dalam doa. Sementara Hukum Kolektif ke-Azab-an adalah pemberi peringatan (warning). Akumulasi manakala terus dizalimi dalam perlawanan dan doa yang dinilai belum berhasil. Tunggulah azabnya. Referensi Qurani menceritakan yang dapat dinilai sebagai nubuwah, kezaliman akan tumbang. Kisah Namrud dan Firaun seorang penguasa zalim adalah referensi yang berdimensi ke-nubuwah-an. Enggan beriktibar? Silakan.

Ulas-catat terakhir, terserah untuk dimaknai sebagai apa: nasihat, peringatan atau apapun namanya (hanya sebagai Jengah dan Jenguk, Menjengah dan Menjenguk). Silakan.

Di penghujung Ramadhan ini, Saya menyusun jari, mengulur tangan bersandar kalam akhir: mohon maaf lahir dan bathin atas semua khilaf dalam niat, pikir dan tulis.

Semoga Allah Swt memaafkan.

Merangkai rotan seperti kayu
rotan diubah menjadi kursi
Bulan ramadhan segera  berlalu
selamat menyambut Syawal nanfitri

Kalau api tetaplah api
jangan gunakan untuk melukis
Selamat menyambut Syawal nanfitri
memohon ampun jika khilaf menulis

Wallahualam. ***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *